Di tengah hamparan luas padang rumput, sekelompok penyihir agung mendirikan banyak menara tinggi menembus langit tempat di mana mereka dan para muridnya tinggal. Di sana mereka meneliti segala hal yang berkaitan dengan sihir, termasuk berbagai alat sihir yang dapat meningkatkan taraf hidup manusia.
Pedagang yang mencium aroma bisnis bermunculan dan secara alami orang-orang mulai berdatangan. Hingga pada akhirnya terbentuklah sebuah kota yang dikenal sebagai rumah para penyihir, Kota Zariya.
Sepuluh penyihir agung sebagai pendiri membentuk dewan untuk memerintah kota. Selain itu, di bentuk juga asosiasi penyihir serta akademi sihir.
Sebagai penyihir stereotip, para penyihir agung hanya berfokus pada penelitian dan sebagian besar waktu mengabaikan pemerintahan sehingga kota ini juga terkenal dengan angka kejahatan yang tinggi.
Kesampingkan semua itu untuk saat ini.
Di Kota ini, pada sisi gelap kota metropolitan, berdiri sebuah rumah mungil jika di bandingkan dengan tetangganya. Letaknya terpelosok di apit gedung-gedung tinggi. Tinggal di dalamnya adalah sosok gadis yang tidak kalah mungilnya beserta ayah tercinta.
Sang ayah merupakan seorang petualang merangkap dokter. Tiap bulan ia akan pergi selama beberapa hari, meninggalkan putrinya yang sakit-sakitan sendirian. Ia sebenarnya tak rela, tapi apa mau di kata, ini juga demi kesembuhan anak tercinta.
Sang putri adalah orang yang cerdas. Ia mengerti dilema ayahnya sehingga ia meyakinkan sang ayah kalau ia baik-baik saja di tinggal sendiri, walau merasa sangat kesepian, sih.
"Berjanjilah segera kembali, oke? Oh, dan juga jangan lupa bawa oleh-oleh," ujar sang putri sambil tersenyum pengertian.
Dia terlahir dengan kondisi lemah. Lebih parah lagi, tubuhnya akan semakin lemah jika terlalu lama terpapar sinar matahari. Selama hampir seluruh hidupnya ia habiskan dalam sangkar yang nyaman bernama rumah ini. Dan mungkin, selama sisa hidupnya juga demikian.
Suatu ketika, sama seperti biasanya sang ayah berpamitan untuk pergi. Bedanya, kali ini tidak ada kabar tentangnya setelah berhari-hari hingga berminggu-minggu kepergiannya. Putrinya menjadi sangat khawatir, tapi ia dengan teguh percaya bahwa ayahnya akan segera kembali.
Satu minggu.
Dua minggu.
Satu bulan.
Dua bulan.
Waktu terus mengalir, namun masih juga belum ada kabar sekembalinya sang ayah.
Tubuh sang putri memburuk dan obatnya juga sudah habis. Hanya untuk menggerakkan jemari mungilnya saja membutuhkan usaha besar.
Hari silih berganti.
Hujan rintik-rintik seolah menggambarkan suasana hati sang gadis. Pikiran-pikiran buruk yang sebelumnya ia tekan kini membanjiri batinnya. Ia ingin percaya, tapi kenyataan berkata lain. Di mulai dari Keraguan berkembang menjadi kecemasan hingga akhirnya, keputusasaan.
Dalam keputusasaannya ia merasakan kedatangan seseorang. Entah dari mana datangnya sensasi itu maupun siapa itu. Tapi ini sudah lebih dari cukup untuk memberinya secercah harapan.
Ia mengerahkan segenap tenaga yang tersisa untuk menggerakkan tubuhnya. Dengan hati-hati ia membuka jendela dan melihat ke arah teras rumahnya.
Di sana, di tengah rintik hujan, berdiri sesosok mirip kelinci, namun ia secara tidak sadar menolak pemikiran itu. Sosok itu berdiri dengan santainya mengabaikan hujan, atau mungkin hujan yang menghindarinya?
Rasa kecewa membanjiri hatinya. Namun perasaan itu segera digantikan dengan rasa penasaran.
Siapa gerangan dia?
Sistem keamanan rumah yang seharusnya mengusir tamu tak di undang sama sekali tidak aktif.
Sosok itu berlarian ke sana-kemari, seperti anak kecil bermain hujan-hujanan. Gadis itu menatapnya dengan penuh tanda tanya dan juga, iri. Ia juga ingin bisa bermain-main seperti itu. Tindakan makhluk itu seolah sedang memperolok si gadis.
Lalu, sosok itu berhenti dan menatap ke arah sang gadis. Kedua mata mereka saling bertemu.
Merasa tertangkap basah karena mengintip si gadis segera menjauh dari jendela. Namun rasa penasaran kembali membanjirinya.
Tarik napas. Keluarkan.
Tarik napas. Keluarkan.
Setelah melakukan sepersekian kalinya akhirnya si gadis memiliki keberanian untuk kembali mengintip keluar.
Makhluk misterius itu masih berada di tempatnya semula, diam membisu di terpa angin hujan.
"Si-siapa kamu?"
Tidak ada jawaban. Mungkin suaranya terlalu kecil untuk di dengar. Jadi ia kembali mengucapkan pertanyaan dengan lebih mengerahkan tenaganya.
"Siapa kamu?"
Masih tidak ada jawaban. Mungkin rintik hujan menggangu suaranya untuk mencapai sang penerima. Jadi ia memaksimalkan kapasitas paru-parunya dan sekali lagi bertanya,
"Siapa kamu!"
Pada percobaan ketiga akhirnya datang sebuah balasan. Namun, bukan jawaban atas pertanyaan sang gadis.
Sebuah suara terdengar dengan sangat jelas seolah mengabaikan segala rintangan dan langsung mencapai telinga gadis itu.
"Mau main bareng?"
"...."
Beberapa bulan kemudian.
Di jalan menuju kota Perbatasan Denia, sebuah kereta yang ditarik oleh sepasang kuda hitam besar berlari tidak cepat maupun lambat. Di dalam kereta terdapat wadah berisi batu-batu dengan kilau pelangi.
Dua sosok mengisi kursi pengemudi. Salah satunya adalah seorang pria paruh baya bertubuh gempal. Dengan kumis tipis di wajahnya. Tampilan luarnya adalah Gambaran sempurna dari seorang saudagar jahat.
Duduk di sampingnya adalah seorang gadis kecil memakai jubah putih bercorak biru, Clarina Amaryllis Pragdina, sering dipanggil Clara. Kulitnya sangat pucat dan ada bercak merah di sekujur tubuhnya.
kontras keduanya menciptakan sebuah kombinasi yang unik.
Saat mereka berdua sedang asik bercakap-cakap siluet bangunan mulai menampakkan dirinya.
"Ah, sepertinya kita akan sampai sebentar lagi."
"Hm. Mungkin kita akan sampai saat matahari terbenam," terka pria paruh baya itu sambil menggaruk dagunya. "Apa harus kutingkatkan kecepatan, ya? Aku ingin sampai sesegera mungkin."
Clara ingat bahwa pamannya yang satu ini adalah maniak kebersihan. Tidak mandi selama seharian pasti membuatnya menderita.
"Ngomong-ngomong, terima kasih ya~ atas tumpangannya, Paman." ucap Clara seraya menundukkan kepala mungilnya.
"Bicara apa kamu ini, Carla. Jika kamu benar-benar ingin berterima kasih maka pulanglah ke Zariya. Tentu saja aku yang akan mengurus semua kebutuhan hidupmu. Jadi pulang saja, oke?" bujuk Paman.
Clara berpura-pura tuli dan menatap ke depan tanpa ada niatan untuk menanggapi lebih lanjut.
Dia tahu kalau Pamannya ini, yang merupakan teman baik Ayahnya, sangat peduli pada dirinya. Apa yang ingin dilakukan Clara adalah sesuatu yang berbahaya. Meski demikian, Clara sudah membulatkan tekadnya.
Melihat ini Paman hanya dapat menghela napas lelah.
Perjalan bisnis yang seharusnya berjalan dengan baik telah hancur bahkan sebelum sampai tempat tujuan.
Alasannya adalah penemuan seorang penumpang gelap, Clara, dengan perlengkapan petualang dan ransel raksasa di punggungnya di pertengahan jalan.
Setelah interogasi singkat diketahui bahwa Clara kebetulan mendengar tujuan perjalanan bisnisnya dan memutuskan untuk menumpang.
Karena penemuan yang terlambat, tidak mungkin untuk memulangkannya saat itu juga. Jadi Paman memutuskan untuk membawanya.
"Katakan, Clara, kenapa kamu ingin menjadi petualang?"
"Hm?" Clara memiringkan kepalanya sejenak lalu menjawab, "Jadi petualang itu keren, ya~ kan? Sama seperti ayah dan ibu."
Paman menghela napas sekali lagi setelah mendengat jawaban menghindar Clara.
Mengesampingkan bahaya, prospek masa depan seorang petualang sangat tidak menentu. Malahan tidak sedikit yang melakukan banyak pengeluaran tanpa mendapat pengembalian. Itulah sebabnya banyak yang menyebutkan menjadi petualang bukanlah pekerjaan, melainkan sebuah hobi.
Meski begitu tidak sedikit juga yang mendaftar menjadi anggota Aliansi Petualang setiap tahunnya. Setiap orang memiliki alasan yang berbeda untuk menjadi petualang. Contohnya dalam sebuah buku biografi, ada seorang petualang yang mengatakan kalau alasan dia menjadi petualang karena dia ketagihan dengan sensasi membantai monster.
Paman sangat menentang keputusan Clara. Mengingat usianya yang masih belia. Juga, jika dia hanya ingin mengeksplorasi dunia maka akan jauh lebih baik untuk bergabung dengan militer divisi penjelajahan.
Meski begitu, ini adalah kehidupan Clara, keputusannya. Paman merasa tidak berhak untuk memaksakan keinginannya.
Paman melihat ke arah Clara yang tampak ayu dan berpotensi tinggi untuk menjadi seorang pembunuh laki-laki di kemudian hari, lalu bergumam, "Kuharap kau tidak akan berakhir sama seperti orang tuamu."
Di balut cahaya senja, struktur kota akhirnya terlihat dengan sangat jelas. Tidak akan lama sebelum mereka akan sampai ketempat tujuan, Kota Pahlawan, Denia.