Chereads / INDIGAY / Chapter 6 - 6. Adik Rama

Chapter 6 - 6. Adik Rama

"nggak segitunya juga kali" ketus Rama melepas kacamata dan topi flat cap yang kupakai.

Di minggu pagi yang cerah ini. Aku sudah rapi dibalut dengan flanel abu-abu dan celana hitam yang kukenakan. Aku juga memakai topi flat cap dan kacamata berlensa bening. Tak lupa Aku membawa kaca pembesar di tanganku. Inilah yang membuat Rama geram dan memarahiku.

"berlebihan" ujarnya membuatku terkekeh.

"kan mau jadi detektif" balasku memeluk Rama yang melempar topi, kacamata dan juga kaca pembesar ke atas kasur yang tentunya semalam kami gunakan untuk memadu cinta.

Hujan sabtu kemarin tidak kunjung berhenti hingga semalam, karena tidak bisa kemana-mana, kuputuskan untuk mengulang desahan Rama dengan berbagai posisi baru yang Kami coba.

"gini aja udah ganteng, Aku nggak suka Kamu makin ganteng, nanti banyak yang naksir" ucap Rama membuatku tersenyum penuh cinta dan berbunga-bunga.

"My Ghost cemburu?" godaku memeluknya kian erat. Entah harus bagaimana lagi Aku menunjukkan perasaanku yang sangat mencintai Rama, "nggak usah khawatir, Aku udah nggak doyan ama manusia".

"Aku nggak cemburu kamu digaet manusia, Aku cemburu kalo kamu digaet mba kunkun, miss wewe atau suster ngepot" canda Rama ikut memelukku erat.

Huh!!

Rasanya Aku ingin seperti ini terus bersama Rama. Aku tak masalah dengan dunia kami yang berbeda. Aku bahagia. Tidak ada salahnya juga mencintai hantu, iblis, setan. Toh, manusia sekarang sifatnya sudah menyerupai. Sepertinya termasuk Aku.

"mau lagi" bisikku manja ditelinga Rama.

Rama mencubit pinggangku, "dasar hyper, Kamu nggak cocok jadi detektif, cocoknya jadi pemain bokep, sana daftar di fuckermate!"

"ayolah!, satu rounde aja" Aku mengiba, "nggak sakit kok, ujungnya aja deh"

"omongan kamu kayak Om-om hidung belang ngegodain anak perawan" Rama mendorong tubuhku hingga jatuh terduduk di tepi ranjang.

"aghh... jangan apa-apain Aku" ujarku berakting.

"apaan, jangan diapa-apain tapi buka resleting" gerutu Rama.

Aku menarik tangan Rama dan menggiringnya memegang penisku, "Mood Aku lagi jelek, coba diemut, biar moodnya bagus lagi".

"huh" Rama mengeluh, "mimpi apa Aku, kok bisa dapet pacar manusia hyper kayak gini" ujar Rama membelai batangku yang sudah menegang.

"salahnya Kamu enak" timpalku menarik Rama kedalam pelukanku dan mencium bibirnya. Bibir ranum pucat yang dingin, tapi Aku menggilainya.

Aku menciumi leher Rama dan menyusuri setiap lekukan tubuhnya.

"aghh..." Rama mendesah, "Big, kita mau kekossan"

Aku melepas tubuh Rama dari pelukanku, hampir saja lupa. Aku banyak urusan hari ini, belum lagi ke Artist Fitness, bisa-bisanya Aku kalah dengan nafsu.

"hehehe, maaf ya" Aku berdiri dan memperbaiki resleting celanaku.

"udah semaleman masih kurang, dua malem ini lho padahal Aku dibikin teriak teriak diatas ranjang, coba Aku manusia, teriakanku udah nyampe bogor kali" seloroh Rama membuatku tertawa.

"ayo detektif, kita berangkat!" ujar Rama bersemangat menggenggam jemariku.

Rama sudah tidak bugil lagi, Ia sudah bisa mengenakan pakaian. Dan kubiarkan Rama memilih pakaian yang Ia inginkan, beruntung Rama memiliki tubuh kekar, jadi pakaianku juga ngepas di badan Rama.

"Detektif Indigay siap beraksi" seruku membuat Rama tertawa.

"janji ya, kita bakal usut kasus ini sampai tuntas, Aku nggak mau ada korban lagi" Rama menampilkan wajah khawatir dan sedih.

"Aku janji" ujarku memberi tatapan dan ekspresi wajah penuh keyakinan.

"Aku cinta Kamu" Rama mengecup pipi kananku.

Aku menunjuk pipi kiriku, "satu lagi dong, nanti yang sebelah iri"

"Aku cinta Kamu" Rama mengecup pipi kiriku.

"terus yang ini" Aku menunjuk bibirku.

"ambil kesempatan, ganjen" dengus Rama.

Tapi Rama mengulang kecupannya, dari pipi kanan, kening, pipi kiri dan berakhir di bibirku. Rama melumat bibirku sebentar.

"yang ini" Aku menunjuk selangkanganku.

"bodo amat!!" ketus Rama menarik tanganku untuk keluar dari kamar.

* * *

Mobilku tiba di sebuah rumah kecil yang memiliki pintu pagar sebatas pinggangku. Rama yang mengarahkan jalan. Aku pikir rumah kost menurut cerita Rama adalah satu kamar. Ternyata yang Ia maksud adalah rumah kontrakan. Ia mengatakan jika rumah itu adalah rumah kontrakan yang ia tempati bersama adiknya. Adik Rama namanya Vian. Adiknya masih kuliah semester akhir dan bekerja paruh waktu di sebuah Coffeshop di salah satu mall besar. Coffeeshop yang harga segelas kopinya 50 rb.

Aku tidak menyangka, ternyata Rama membiayai kuliah Adiknya. Sedangkan Rama sendiri tidak kuliah, Ia tidak mau Adiknya tidak sesukses dirinya. Kebaikan Rama membuatku semakin mencintainya. Sekali lagi Aku berharap bertemu Rama sebelum dia seperti saat ini. Rama banyak bercerita tentang adiknya, untuk mempermudahku saat bertemu nanti. Rama menceritakan bahwa Adiknya tidak percaya hal-hal mistis. Semoga saja akan berhasil semudah meyakinkan Daffa.

Aku keluar dari mobil bersama Rama, membuka pagar dan berjalan menuju pintu rumah, kuberikan ketukan pelan dengan buku jariku dan mengucapkan salam.

"iya... sebentar"

Tak lama pintu terbuka, seorang pemuda mirip sekali dengan Rama berdiri didepanku. Hampir tak ada bedanya dengan Rama. Tubuhnya maskulin, wajahnya tampan seperti Rama, hanya saja rambut laki-laki ini dibiarkan panjang sebahu. Tapi sama sekali tidak menutupi kemiripannya dengan Rama. Adiknya Rama bisa dikatakan sebagai Rama versi gondrong.

"Rama" lirihku pelan.

"saya Vian mas, udah biasa sih, banyak yang bilang mirip kak Rama, padahal kita beda dua tahun" celoteh Vian tersenyum ramah, "oh iya, mas cari kak Rama?" tanya Vian lagi.

"Saya Agung, Saya temennya Rama" ujarku mengulurkan tangan.

"Viandra, panggil Vian aja" Vian menjabat uluran tanganku, "masuk dulu aja mas" Vian mempersilahkanku.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruang tamu yang kecil. Tak seluas ruang tamu rumahku, tapi walau sederhana, rumah kontrakan ini tampak rapi dan bersih. Aku melihat figura yang terpajang foto Rama dan Vian saat kecil hingga mereka seperti saat ini, mereka berdua benar-benar mirip, padahal tidak kembar.

"Mas Agung duduk dulu aja, saya bikinin minum dulu ya" Vian pergi meninggalkanku ke dalam ruangan, belum sempat kucegah. Padahal Aku tidak ingin merepotkan.

Aku menghempaskan tubuh di kursi plastik yang ada di ruang tamu.

"awas, jangan godain Vian!" celetuk Rama memelukku dari belakang kursi.

"biarpun mirip, Aku cintanya sama Kamu, lagian Aku nggak suka cowok gondrong" ujarku memegang tangan Rama yang melingkar.

"tapi jembew kamu gondrong"

"jembew apaan?" tanyaku kebingungan.

"itu... bulu yang ada di bagian bawah" Rama menunjuk selangkanganku.

Aku tertawa kecil, "itu jembrut, lupa cukur"

Vian keluar dari ruangan lain. Menghampiriku dengan membawa nampan yang berisikan segelas teh manis. Vian meletakkannya diatas meja plastik didepanku dan ikut duduk di kursi yang ada didepanku juga.

"silahkan diminum mas, maaf cuma ini adanya" Vian mempersilahkan dengan Ramah. Sesekali Ia menyisir rambutnya dengan tangan karena mengganggu pandangan matanya.

Aku menyeruput teh buatan Vian, sambil mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan, "kamu nggak kuliah?" tanyaku berbasa-basi.

"udah tinggal sidang lagi mas, lagian ini juga kan hari minggu" jawab Vian sopan.

"oh iya, lupa" Aku menyengirkan senyum dan meletakkan gelas teh yang kupegang, "maklum, udah tua".

"kok mas Agung tau saya kuliah?" Vian melempar pertanyaan, "kak Rama cerita ya?" tanya Vian lagi.

"apa mas Agung tau kak Rama dimana?" Raut wajah vian berubah murung, "udah hampir dua minggu kak Rama nggak pulang, Saya khawatir dengan keadaan kak Rama, Saya udah cari ke tempat kerjanya, tapi kak Rama katanya udah nggak masuk kerja, tanya kak Daffa waktu itu, dia bilang nggak tau karena kak Daffa nyariin kak Rama juga, Saya takut kak Rama kenapa-kenapa"

Vian terisak, Ia berusaha untuk tidak menangis, tapi pertahanannya kalah.

Rama menepuk bahuku, Ia memberi kode untukku memeluk Vian. Aku mendelik tidak mau melakukannya, tapi Rama memberi kode memohon. Dengan berat hati Aku beranjak dari kursi dan memeluk kepala Vian.

"sabar ya Vi" ujarku membelai kepala Vian. Kulirik Rama, Ia memberiku dua jempolnya. "Rama ada disini Vi" ujarku.

Vian yang terisak di dadaku sontak menarik wajahnya. Matanya menyiratkan ketidak percayaan atas yang Aku ucapkan.

"maksud mas Agung apa?" tanya Vian

"Rama udah nggak ada Vi" jawabku lirih.

Vian berdiri, bunyi deritan kursi dan lantai terdengar, "nggak mungkin, lu bohong kan!!" Vian membentakku kasar.

"gua nggak boong, Kakak lu udah nggak ada" ujarku menatap Vian serius.

"kalo emang kak Rama udah mati, dimana jenazahnya? kenapa nggak ada yang bawa kesini, kenapa nggak ada yang ngasih tahu gua, kenapa!!?" Vian menumpahkan tangisnya.

Vian terduduk, bersimpuh di lantai ruang tamu, Ia menangis sambil terus mengatakan "nggak mungkin, lu pasti bohong". Berkali-kali Vian mengatakan itu.

"kenyataannya memang gitu Vi, lu harus sabar" ujarku lagi.

Rama yang sejak tadi memperhatikan ikut menangis. Rama memeluk tubuh Vian, tapi sayangnya Rama menembus Vian, dan Vian pun tidak merasakan kehadiran Rama. Kedua kakak adik itu menangis bersamaan.

"bawa gua ke kuburan kak Rama!" Vian mendongak melihat kearahku.

"Rama belum dikubur" Aku menggaruk kepala, bingung ingin menjelaskannya.

"apa maksud lu, kalo kak Rama belum dikubur?" Vian berdiri memandangku tajam, "terus mana jenazahnya?" tanya Vian menghardikku.

Aku hanya diam.

"lu kenapa diem? karena lu boong ya kan?, jawab!!"

Aku memegang kedua pundak Vian, menatapnya tajam, "Vi, gua Indigo, gua bisa liat Rama, Rama ada disini, tapi jasadnya nggak tau dimana, gua lagi nyari jasad Rama dibantu kepolisian"

"lu pikir gua percaya, pasti lu kan yang ngumpetin kak Rama, buktinya lu tau semua tentang gua" Vian menepis tanganku dari pundaknya, "bilang sama gua, dimana kak Rama!!" Vian membentakku lagi.

"sayang, lakuin sesuatu" Aku mengalihkan pandangan ke Rama yang mulai menghentikan tangisnya.

Rama berusaha menggapai gelas tehku tapi Rama menembusnya, "nggak bisa! aku harus musatin pikiran, hatiku lagi nggak karuan big" keluh Rama penuh penyesalan.

"hei bung, lu ngomong ama siapa?, nggak usah ngalihin pembicaraan" Vian menatapku nanar.

"gua beneran bisa liat Rama, dan gua pacar arwah kakak lu" Aku kembali menjelaskan.

"pacar arwah, lu udah gila?, lu pikir gua percaya? sekarang bilang dimana kak Rama!!?, lu pasti umpetin, terus lu sengaja kesini, buat apa!!?, buat ambil keuntungan dari orang susah, buat apa!!?" Vian meneriakiku, emosinya tidak stabil.

Tanpa persiapan, Vian memukul pipiku, lalu menarik kerah bajuku dan melemparku ke pintu. Rama dengan panik menghampiriku yang terpental di atas lantai rumahnya.

"Vian..dengerin kakak!!" teriak Rama, tapi percuma saja. Vian tidak bisa mendengar Rama.

"udah sayang, Aku nggak apa-apa" ujarku memegang tangan Rama.

"pergi lu dari sini!!" bentak Vian lagi, "tunggu aja, gua akan lapor polisi karena lu udah ngumpetin kakak gua!"

"kakak lu namanya Ramadandra, dia punya goresan bekas luka di pahanya, tapi itu nggak ngurangin kemulusan Rama" ujarku berusaha bangkit.

Tapi Vian malah menendangku membuatku kembali terjatuh, "lu gila!!, lu psikopat, Gay. Bahkan lu tau letak goresan luka kakak gua, anjing lu!!"

Vian menarik kerah bajuku lagi dan Aku merasakan pukulannya lagi. Aku bisa saja melawan. Tapi Aku diam saja, karena Aku tidak mau menyakiti Rama. Maksudku wajah yang mirip Rama.

Tubuhku bergetar, Aku kehilangan kesadaran dan tak tau apa yang terjadi setelahnya.

* * *

Aku terbangun dari tidurku. Apa mungkin Aku pingsan, ujung bibirku sakit karena pukulan Vian. Aku berusaha mengerjapkan mata, kepalaku pusing. Aku melihat kesekeliling. Ini bukan kamarku. Ini juga bukan kasurku. Aku melihat foto di dinding kamar. Foto Rama. Tidak, laki-laki di foto itu gondrong, itu pasti Vian.

Pintu kamar terbuka, Vian membawa baskom dan kain. Vian duduk di samping ranjangku. Raut wajahnya penuh penyesalan.

"maafin gua ya mas" Vian kembali ramah seperti awal bertemu, "gua udah nyurigain lu, gua juga udah bikin lu babak belur" Vian tertunduk malu, Ia tidak berani menatapku.

"nggak apa-apa, gua paham kok" ujarku membelai kepala Vian. Vian tersenyum Ia mulai berani lagi menatapku.

"gua kenapa? kok bisa disini?" tanyaku kebingungan.

"kak Rama udah jelasin semuanya, tadi dia masuk ke tubuh lu, makanya lu pingsan" jelas Vian, "maafin gua ya mas, gua nggak enak sumpah dah" Vian menunjukkan wajah penyesalan.

"iya gua maafin, lupain aja yang tadi, yang penting, lu mau bantuin gua kan nyari tubuh Rama?"

Vian mengangguk berkali-kali, rambut panjangnya sampai menutupi wajahnya, "tapi sebelumnya, gua kompres memar di pipi sama bibir lu dulu ya mas" Vian meminta ijin.

Aku mengangguk memberinya ijin.

Vian membasahi kain yang berisikan air dingin. Pelan-pelan Ia menyentuh kain basah ke pipiku. Aku mengaduh sebentar, berusaha memalingkan wajah, namun Vian menahan wajahku. Mata Vian bertemu tatap dengan mataku. Dia betul-betul menyerupai Rama. Tak ada yang beda dari kedua wajah adik kakak itu. Aku tadinya menyangka Vian adalah kembaran Rama.

"lu ganteng mas, pantes kak Rama cinta sama lu, biar kata dia hantu" celetuk Vian terkekeh. Aku tersenyum memperlihatkan gigiku. Hatiku jadi berdegup kencang, sama seperti saat Aku bertemu Rama.

Tapi tidak boleh. Rama tetaplah Rama, Vian tetaplah Vian, sekalipun mirip mereka berdua adalah orang yang berbeda.

"lu ngegym vi?" Aku melempar pertanyaan supaya suasana tidak canggung.

"iya, tapi lagi berhenti karena fokus sama skripsi, kak Rama pengen gua cepet lulus" Vian kembali memasang raut wajah murung saat mengingat Rama, "padahal...gua pengen kak Rama hadir di wisuda gua, tapi takdir malah bikin Kak Rama ninggalin gua" Vian kembali menangis, tangannya lepas dari wajahku.

"hei...lu pasti bisa, lu jangan sedih" Aku menenangkan Vian, Ia memelukku erat, membenamkan wajahnya di pundakku. "Rama nggak bakal mau lu terus-terusan sedih" Aku membelai rambut panjang Vian.

"iya mas, makasih udah bikin kak Rama jadi arwah yang paling bahagia" Vian semakin mempererat pelukannya.

Tak ada lagi yang kubicarakan ke Vian, kami berdua bungkam, hanya isak tangis Vian yang terdengar. Aku tetap membelai rambut Vian berusaha menenangkan. Rama muncul tiba-tiba di samping Vian. Aku ingin melepas pelukan Vian.

"ssttt...nggak apa-apa, biarin, dia butuh kamu, big" ujar Rama tersenyum.

Aku mengangguk dan terus membelai Vian didalam pelukanku. Hingga tangisnya reda, dan Vian tertidur pulas membenamkan wajah di dadaku.

Ku pandangi wajah Rama yang tersenyum-senyum sendiri, "sayang, adik kamu tidur" ujarku ingin melepas pelukan Vian.

"ya udah biarin aja, kamu ikut tidur aja sana!" perintah Rama.

Rama naik keatas kasur, Ia membantuku berbaring terlentang. Aku tetap menahan tubuh Vian dipelukanku.

Kudengar dengkuran kecil Vian yang tidur di dada sebelah kiriku, tanganku terhimpit tubuhnya, terpaksa kulingkarkan ke kepala Vian agar posisiku tidak kesulitan.

"Aku mau disini" ujar Rama ikut berbaring di sebelah kananku, Aku dengan senang hati memeluk dan membelai rambut Rama. Kuarahkan kepalaku ke Rama dan mencium ubun-ubunnya.

Kedua kakak beradik yang mirip ini ada didalam pelukanku. Tapi perihal cinta, Aku tetap mencintai Rama, sekalipun Vian mirip dengan Rama.

"Big, Aku biasanya usap rambut Vian kalo dia tidur, bantu usapin" ujar Rama menatapku dengan wajah memelas.

Aku mendengus, tapi mana bisa Aku menolak permintaan pacarku. Aku membelai keduanya. Pelukan Vian hangat. Pelukan Rama dingin. Dua hawa yang berbeda. Tapi aku lebih menyukai dingin.

"big, gimana? dapet pelukan dari adik kakak yang sama gantengnya" Rama terkekeh. Aku balas mencium ubun-ubunnya lagi.

"ini kalo bukan Kamu yang minta, Aku nggak mau ya. Karena Aku bucin sama hantu, jadinya semua permintaan Kamu Aku turuti" ujarku membelai rambut Rama dan Vian bergerak seirama.

"bener, apapun permintaan Aku" Rama mendelik menagih perkataanku.

"apapun, demi pacar hantu yang paling kucintai"

Rama menggumam sebentar, "cium Vian, ucapin selamat tidur"

"nggak mau, jangan aneh-aneh!" tolakku tegas.

"kamu kali yang aneh-aneh, itu kebiasaan Aku kalau Aku pulang dan liat Vian udah tidur, kalo Aku bisa lakuin sendiri,  Aku bakal lakuin sendiri" sungut Rama, Ia ngambek melepas pelukanku.

"iya..iya" Aku mencium kepala Vian. Ah, rambut panjang Vian ternyata wangi. Aku pikir seperti laki-laki rambut panjang yang lain. "udah kan, sini My Ghost peluk Big lagi".

Aku memeluk Rama lagi. Mimpi apa Aku bisa punya cerita hidup semenarik ini. Tidur diatas ranjang dengan memeluk dua laki-laki maskulin sesuai tipikalku.

"Aku udah pingsan berapa lama sayang?" tanyaku ke Rama.

"sekarang jam sembilan malem, Kamu hitung sendiri aja dari siang" jawab Rama memainkan jarinya di perutku. Ia membentuk jari tengah dan telunjuknya seolah kaki yang sedang berlari diperutku.

"Kamu sih main masukin aja" sungutku berpura-pura marah.

"baru juga dimasukin raganya, lah kamu masukin bokong Aku berkali-kali"

Jawaban Rama membuatku terkekeh.

"Kamu kok bisa masuk, hebat" pujiku, jujur Aku memang takjub. Itu artinya Aku kesurupan dong.

"spontanitas, Aku juga nggak ngerti, nggak bisa diulang lagi" ujar Rama masih memainkan jari diperutku.

"emang ngapain mau masukin orang lagi, mending Aku masukin hehehe"

"Aku mau masuk ke Vian, biar Kamu bisa cobain main ama manusia, jangan ama Hantu terus" ujar Rama serius menatapku, "kalo sama Vian, Aku rela" Rama menambahkan.

"apaan coba ngomong gitu, Aku sukanya bokong hantu, titik!!" Aku menekankan ucapanku. "terus ke artist Fitness gimana?" tanyaku ke Rama.

"udah nggak apa-apa, tidur disini dulu aja ya" pinta Rama.

Aku memejamkan mata, rasa nyaman menyelimutiku.

"Goodnight sayang" ucapku ke Rama.

"Goodnight too sayang"

Aku ingin melotot, tapi Aku lelah. Karena jawaban itu tidak hanya dari Rama seorang. Ada dua suara dikiri dan dikananku bersamaan mengatakan kalimat itu.