"Mas, Vian nggak pede"
Aku menoleh ke suara Vian yang ada dibelakangku. Baiklah, Aku tidak menapik jika dengan rambut Vian yang dipotong pendek seperti ini, mereka super mirip. Bagai sempak side A Side B. Ngomong-ngomong sempak, tititku keselimpet didalam sempakku, jadi kurubah posisinya. Entahlah, Aku lebih nyaman jika mengarahkan titit ke samping, kalau ke bawah sakit ketekuk, kalau keatas, keluar dari lingkar pinggang. Tapi kadang kalau menyamping, banyak yang curi-curi pandang.
"heh! kok malah benerin titit" sergah Rama yang ada disebelahku.
"nyelip" jawabku cengengesan.
"makanya jangan kepanjangan" gerutu Rama.
"cuma 19,5 kok" timpalku
"jadi kita mau bahas titit mas Agung yang 19,5 itu atau mau bahas strategi ngejebak si ojan apa si ujan itu" Vian ikut menimpali.
"kakak lu nih, malah bahas titit" Aku melempar kesalahan ke Rama.
"emut depan umum nih, biar dikira gila!" ancam Rama mendelik.
"jadi gimana mas 19,5? apa rencananya?" tanya Vian tertawa. Hmm... bahkan tawanya mirip Rama.
"kenapa coba nggak digenepin 19 atau 20, kenapa harus ada koma lima" cibir Rama.
Mana Aku tahu, memang panjangnya 19,5.
Aku diam sejenak, berusaha mengatur strategi brilian, tapi otakku buntu. Sepertinya tidak perlu yang briliant, langsung gas sajalah, Aku tidak sabar ingin menghabisi si Ojan sialan, penjahat kelamin, psikopat kampret, babi air, monyet rawa, kadal congek, semua yang jelek jelek pokoknya pantas untuk si Ojan itu.
"kita ke Artist Fitness aja, kita tunggu sampe si Ojan dateng dan ngelancarin Aksinya, nanti kamu nongol aja, nama lengkapnya Fauzan Rahardi" ujarku disambut anggukan kepala dua kembar beda tahun lahir yang berdiri sejajar.
Huh!!
Bahkan tinggi dan postur badan maskulin mereka sama.
Aku segera melajukan mobilku menuju Artis Fitness, bukan ibukota namanya jika tidak macet. Perjalanan kami terhambat oleh kemacetan jalanan ibukota di senja senja tai anjing ini.
"Mas, Kak Rama disini nggak?" tanya Vian yang duduk di belakang.
"ada disamping, masih duduk anteng dan ganteng kayak sekuteng belum mateng" jawabku melirik Vian melalui kaca bagian dalam.
"gua penasaran deh mas, kok lu bisa cinta sama kak Rama, kan dunia kalian beda?" tanya Vian penasaran.
Aku memandangi Rama dengan penuh rasa cinta membara bagai kobaran api lilin babi ngepet, Ramaku tersenyum mesam mesem, ingin kugigit pipinya yang menggemaskan.
"jujur aja, gua jatuh cinta sama bentuk pantatnya Rama, montok, menggugah selera. Tapi, setelah tau sifatnya, gua udah nggak perduli bentuk Rama akan seperti apa, gua cinta Rama karena hatinya"
Apa yang kuutarakan serius. Aku semakin mencintai Rama karena kebaikan hatinya, Rama rela berkorban demi adiknya, Rama menyayangi sahabatnya, Rama juga sangat perhatian kepadaku. Itu yang membuatku mencintai Rama dengan segala keramahannya, sekalipun Rama hanyalah arwah, Aku tidak perduli.
"kamu ngapain sih dijawab, malu tau" Rama menutupi wajahnya yang memerah.
Aku menggaet dagu Rama, kudaratkan kecupan hangat di bibir Rama, "Aku cinta sama kamu Ram, tidak perduli dunia manusia memakiku, tidak perduli dunia arwah mengutukku, Aku akan selalu cinta sama Kamu"
"kalo orang nggak tau, Mas Agung kayak nyium angin" celetuk Vian tertawa. "kak Rama, Vian berharap Kakak cuma koma dan balik lagi ke tubuh kakak" ujar Vian tampak serius.
"gua juga Vi, gua punya harapan yang sama" Aku menimpali.
"udah, jangan sedih-sedihan, fokus dulu ke kasus Ojan" ujar Rama menengahi.
Kemacetan sudah berhasil kami lewati, Aku melajukan mobilku kencang menembus jalanan dan tiba di Artist Fitness tepat pukul 7 malam. Aku melihat mobil yang biasa di pakai Ojan terparkir tak jauh dari mobilku. Aku geram, ingin rasanya Aku turun dan mengobrak abrik mobil beserta pemiliknya.
Aku dan Vian masih mengawasi mobil Ojan dari kejauhan, dan juga mengawasi pintu masuk Artist Fitnes sambil menunggu Erik mengabariku. Lama menunggu tak ada gerak gerik mencurigakan. Perlahan, satu persatu orang mulai meninggalkan tempat Fitness. jam di hpku sudah menunjukkan pukul 11 malam. Suasana parkiran ataupun keadaan didalam sepertinya sudah sepi, hanya menyisakan mobil Ojan yang terparkir. Tidak salah lagi, Ojan ada didalam.
Hapeku berdering ketika memandangi layarnya, panggilan masuk dari Erik.
"Gung, tolongin gua, Fauzan ngamuk, dia mau bunuh gua" belum sempat Aku mengucap hallo, Erik sudah menjelaskan ketakutan.
"lu dimana?" tanyaku.
"gua ditempat kemaren lu masuk, pintu gua kunci, tapi Fauzan bawa linggis. Fauzan pelakunya Gung" Erik panik, Aku mendengar suara dentuman pintu yang dipukul keras.
"lu ngumpet, gua kesana sekarang!" ujarku segera membuka pintu mobil.
"Lu tunggu sini aja Vi, telpon polisi"
"iya mas" jawab Vian.
Aku dan Rama segera berlari ke dalam Artist Fitnes. Erik tidak boleh terluka. Erik sudah sangat berjasa menguak semua ini. Aku berlari menaiki anak tangga, karena ruangan kerja Erik kemarin ada di lantai 5, lantai paling atas gedung Artist Fitness.
"aaakkkk"
Aku mendengar teriakan orang kesakitan. Erik, batinku. Aku sudah menjanjikan Erik untuk baik baik saja.
"Eriik..." Aku berteriak ketika sampai di ruangan kerja Erik.
Aku terperangah melihat Erik dicekik Fauzan, pintu kerjanya sudah hancur.
"Ojan!!, lepasin Erik!!" Aku berteriak dengan memandang nanar Ojan.
"jadi maneh gung yang kerjasama ngejebak urang" Ojan tersenyum sinis.
Erik kesulitan bernafas tapi untunglah Erik tidak terluka.
"Jan, kenapa? kenapa maneh tega ngelakuin ini?" Aku bertanya dengan memelankan nada suaraku, berharap Ojan tidak berbuat nekat.
Ojan mencengkram leher Erik semakin kuat dan melempar tubuh Erik sehingga kepala Erik menabrak lemari kaca hingga pecah. Erik langsung tak sadarkan diri.
"erik!!"
"hampura atuh Gung, Maneh udah tau, jadi maneh juga harus mati" Ojan menunjukku dengan linggis yang Ia bawa.
"maneh kalo berani, tangan kosong Jan" tantangku.
Jelas, Aku tidak takut dengan Ojan, sekalipun Ojan pernah menjadi atlit beladiri, setidaknya Aku pernah jadi Atlit tawuran antar sekolah. Disaat mendesak seperti ini tidak akan sempat mengeluarkan jurus jurus.
Terobos aja anying!!
Ojan melempar linggis yang Ia bawa kesamping. Tapi dengan curang mengeluarkan pisau belatinya dari dalam saku celana. Rama berusaha menahan Ojan namun sayangnya Rama tidak bisa memegang Ojan. Rama tembus pandang.
Aku perlahan mundur menghindari Ojan.
"maju gung, nggak usah sok jagoan lu!"
"kenapa? lu takut mati? bukannya bagus, kalo lu mati, lu bisa nyusul pacar hantu lu" Ojan meledekku.
Aku masih perlahan mundur. Mencari tempat yang lapang untuk menghajar Ojan. Rama masih berusaha memusatkan konsentrasinya untuk merasuki Erik. Aku yang semakin mundur akhirnya sampai ke ruangan besar yang sepertinya digunakan untuk kelas Yoga karena masih ada matras yang dibentangkan di lantai.
"gua nggak takut mati jan, tapi seengaknya, sebelum gua mati, orang kayak lu mati lebih dulu" ujarku berdiri sigap menatap bajingan didepanku.
"kenapa lu lakuin ini Jan? kenapa lu setega ini?" tanyaku berusaha mengalihkan perhatian Ojan.
"demi cinta, kenapa? nggak boleh, lu aja ngelakuin ini demi cinta, sama hantu lagi, goblok!!" Ojan berteriak menggema di seluruh ruangan.
"Jan, gua sahabat lu, kalo ada apa-apa, harusnya lu kasih tau gua, bukannya nekat kayak gini"
"nggak usah banyak bacot!!" maki Ojan, "gua butuh duit, mau nikahin pacar gua, mau lari dari indonesia, makanya gua jual tuh mayat mayat utuh" Ojan tersenyum sinis.
Ojan menjual mayat, apa artinya mayat Rama juga dijual oleh Ojan. Mataku nanar, Aku tidak bisa memaafkan perbuatan Ojan. Aku ingin menghajaranya sampai mati. Segera kulayangkan tendangan ke pergelangan tangan Ojan yang memegang belati. Belati terpental jauh.
Aku menggunakan kesempatanku untuk menendang dagu Ojan. Ojan meringis kesakitan, kulayangkan tendangan lagi ke tulang kering Ojan, Ojan bersimpuh kesakitan.
Kucengkram kerah baju Ojan, "dimana Rama!!" teriakku dimuka Ojan. Ojan tersenyum sinis.
Kulayangkan lagi pukulan bertubi-tubi ke wajah Ojan. Bayangan Rama hadir di kepalaku. Ramaku benar sudah mati, Aku tidak terima Ramaku mati. Aku tidak terima mayatnya diperjual belikan. Aku, ah Ramaku.
Aku menghajar Ojan sampai babak belur, tak dapat kutahan lagi air mataku mengingat Rama, wajah Ojan penuh lebam.
"dimana Rama, Ojan bangsat!!"
Aku ingin melayangkan pukulan lagi tapi lampu gedung tiba-tiba mati. Untungnya gedung Artist Fitness terbuat dari kaca sehingga Cahaya lampu ruko yang ada disebelah gedung masih menembus kaca. Seseorang masuk kedalam ruangan. Aku yang tidak siap terkena lemparan benda keras persis di pelipisku.
"arghh, sialan!!" makiku.
Aku memegangi pelipisku yang berdarah, menghindari lemparan kedua, tapi kepala bagian belakangku tersantuk ke tiang ruangan yang ada di tengah-tengah. Siapa juga yang membangun tiang beton ditengah tengah seperti ini, bodoh!!.
Kepalaku pusing karena lemparan benda keras itu, Aku melihat arah jatuhnya benda itu, ternyata sebuah barbel kecil. Aku mengenal barbel itu mempunyai berat 2Kg. Dalam remang remang seseorang yang menyerangku menghampiri Ojan yang terkapar tak berdaya.
"Syukurlah lu mati, tolol!" ujar orang itu menendang tubuh Ojan.
Cahaya lampu menerpa wajahnya, Aku mengenal dia dengan jelas.
Rama..
Maksudku Vian.
Bagaimana mungkin Vian dalang dibalik semua ini. Dan Vian menusuk leher Ojan yang terkapar tak berdaya sehingga Ojan mati seketika.
"Vii...Vian" lirihku
Pelipisku sakit, darah semakin mengalir deras, pandangan mataku berkunang, ditambah lagi benturan di belakang kepalaku.
"heh!! Indigo sialan!!" bentak Vian padaku, "ngapain lu harus ikut campur masalah gua!!"
Bagaimana bisa seorang Vian dalang dari semua ini, dan menjadikan Fauzan sebagai wayangnya. Berbagai pertanyaan berputar di kepalaku. Membuat kepalaku semakin terasa sakit.
"Vian, kenapa Lu lakuin ini!!?" Aku menahan sakit dipelipisku. Barbel melayang sialan.
"Gua ini miskin!!" teriak Vian, "gua capek idup miskin, lu nggak akan ngerti karena lu orang kaya!!"
"dan kakak gua itu goblok!!, dia seneng hidup miskin, tolol!!"
Vian dan Rama memang mirip. Tapi Vian memang tetaplah Vian. Dan Rama tetaplah Rama, Aku beruntung jatuh cinta dengan Rama bukan dengan Vian.
"Dan yang paling gua benci, Rama nggak perduli kalo gua udah disodomi bapak kandung gua, Rama nggak percaya saat gua bilang itu ke Rama, bertahun-tahun gua dientot ama laki-laki tua homo yang harus gua panggil bapak, tapi Rama sialan nggak pernah mau percaya dengan cerita gua!!" Vian berteriak memaki nama kakaknya sendiri.
"Fauzan goblok ini naksir Rama, ngeliat gua yang mirip Rama, gampang banget bikin mantan polisi ini jadi berpaling, dan gobloknya lagi, mantan polisi ini mau-mauan aja diboongi buat diajak nikah diluar negeri dengan cara ngejual mayat, tolol!" Vian menyeringai jahat, "homo kayak kalian itu memang udah sepantesnya mati, gua jijik sama homo, homo anjing!!"
Tubuhku lemas seketika. Vian ternyata membalaskan dendamnya pada laki-laki Gay karena Ia mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari ayahnya. Aku teringat saat Vian mengatakan Ia pernah ngegym dan berhenti, jadi Vian berhenti karena tahu kedok dibalik Artist Fitness. Setelah tahu disini perkumpulan Gay, Vian memutuskan untuk menghabisi orang-orang disini satu persatu. Aku juga teringat ucapan Rama yang sering mendapatkan salam dari Fauzan. Fauzan menyukai Rama, dan ketika melihat Vian mirip dengan Rama, Fauzan berpaling karena Rama tidak menggubrisnya.
"arghh" Aku kembali menjerit kesakitan saat sebilah pisau belati menancap diantara dada dan bahuku.
Vian melempar belati itu, lenganku nyeri, belati menancap sangat kuat.
"udah tau kan lu alasan gua, gua emang sengaja ngabisin orang orang homo kayak lu semua, semua homo doyannya ngentot doang, najis!!" maki Vian lagi.
"lu salah Vi, nggak semua homo kayak gitu, nggak semua homo kayak bapak lu, homo juga punya hati, bisa ngerasain cinta, nggak semua homo di otaknya cuma sex, nggak semua homo cuma mentingin nafsunya" sambil menahan sakit tubuhku dan getir hati yang kurasakan aku tetap berusaha menjelaskan pada Vian, "gua cinta sama Rama, bahkan dengan kondisi Rama yang bukan seorang manusia, karena apa? karena homo yang lu benci punya hati, yang lebih bisa nerima perbedaan walaupun selalu dikucilkan!!"
Aku menatap Vian, Aku yakin Vian melihatku sekalipun hanya dengan pantulan cahaya.
"dan lu..." Aku diam sejenak, tubuhku lemas karena darah terus mengalir dari pelipis dan dadaku, "lu cinta sama gua Vi, jangan munafik, lu juga homo, karena lu jatuh cinta sama homo".
Vian terisak dan menangis, Ia bersimpuh dan meraung raung. Ya, Aku tahu jelas, malam itu kuucapkan selamat malam dan rasa cintaku pada Rama. Tapi Vian ikut menimpali ucapan cintaku. Vian juga dengan mudah mau merelakan kehilangan rambut panjangnya saat kuajak Vian agar bisa mirip dengan Rama. Aku melihat itu semua dari sorot matanya.
"iya terus kenapa!?, gua suka sama lu, tapi lu tetap ngejar hantu dibanding gua, gua kurang mirip apalagi sama Rama!!" Vian semakin terisak, "kenapa harus Rama yang selalu ngedapetin bahagia, dicintai orang banyak, dan gua...gua selalu nggak dianggap, bahkan saat Rama udah mati"
"daripada gua nggak bisa dapetin lu, mending lu nyusul Rama!" Vian mengusap air matanya.
Ia berjalan dan mengeluarkan sebilah pisau lagi, Aku sudah tidak bisa bergerak lagi, bibirku kering, mataku berkunang-kunang, Aku rela harus mati malam ini, harapanku hanya satu, semoga Aku bisa bertemu Rama, tidak perduli di neraka sekalipun. Aku ingin selalu bersama Rama.
Dalam kesamaran penglihatanku, Aku memejamkan mata dan bersiap menerima kematianku. Aku lupa apa yang terjadi selanjutnya. Mungkin Aku sudah benar-benar mati.
* * *
Aku terbangun, membuka mataku. Mendapati diriku ada di ruangan kerjaku. Apa Aku bermimpi? tapi ruangan kerjaku tampak seperti bercahaya.
"Big"
Aku menoleh ke suara itu. Hantu bugilku muncul tiba-tiba disampingku. Ia bugil seperti saat Aku pertama kali melihatnya. Aku memeluk Rama erat dengan tangis yang tak bisa kubendung.
"apa Aku udah mati?, Aku bersyukur mati ketemu Kamu sayang" Aku memeluk Rama semakin erat.
"Kamu masih hidup Big, Kamu pulang, dan Aku harus pergi"
"nggak Ram, Aku nggak mau Kamu pergi, Aku mau Kamu tetap sama Aku, disampingku, Aku nggak perduli apapun Kamu, Aku cinta sama Kamu Ram"
"nggak bisa big" Rama menggeleng, Ia menangis, "kita udah beda, kita nggak bisa hidup berdampingan".
"kalo gitu bawa Aku Ram, Aku mau terus sama Kamu, jangan pernah tinggalin Aku, Aku mohon"
"Kamu belum saatnya Big, Kamu harus tetap hidup, dan jalani sebagaimana mestinya hidup Kamu" Rama merengkuh pipiku, Ia berusaha menyeka air mataku. "Big, Aku selalu ada disini" Rama menunjuk dadaku, "dan kamu juga selalu ada dihatiku"
"Ram, Aku mohon, Aku ikut"
Rama menggeleng lagi, "kita akan ketemu lagi dilain waktu dan dilain kesempatan. Big, Aku cinta sama Kamu"
Rama melepas pelukanku, tapi entah kenapa Aku tidak bisa bergerak melarang Rama saat Ia berbalik dan meninggalkanku. Aku memanggil nama Rama, terisak pilu, tapi Rama tidak mendengarku, dan Rama menghilang menjadi cahaya dari pandanganku.
"Rama, Rama...Jangan pergi!, Rama..."
Aku terbangun lagi. Kali ini Aku ada di ranjang rumah sakit, dengan perban yang ada di kepalaku dan juga di pundakku, Pelipisku masih sakit. Begitu juga kepala dan pundakku. Tapi Aku tidak perduli, Rama tidak ada di sampingku dan Aku ingin Rama saat ini.
"My Ghost.., Kamu ada disini kan, Kamu nggak pergi kan, Rama, Aku udah siuman, Kamu dimana Ram?"
"Rama, jawab Aku Ram!!, Kamu dimana, Aku nggak mau Kamu pergi Rama, Aku cinta sama Kamu Ram, Kamu juga cinta kan sama Aku, Kamu dimana Ram?"
Rama tak juga muncul, Aku menangisi nasibku. Kenapa tuhan malah membiarkan Aku hidup. Kenapa tuhan tidak membiarkanku mati saja agar Aku bisa bersama Rama.
Dalam kepiluanku, pintu terbuka.
"Rama.."
"Agung, syukurlah lu udah sadar" ternyata Erik.
"Rik, Rama mana? lu bisa liat Rama kan, buktinya lu sadar, pasti karena Rama kan? Rama mana rik?" tangisku semakin pecah. Kemana Ramaku.
Erik menghampiriku di ranjang pasien, matanya merah sehabis menangis, dan Ia kembali menangis sama sepertiku.
"lu yang sabar Gung, Rama udah pergi. Terakhir kali, Rama yang bantu nyadarin gua dari pingsan, Rama yang nyadarin gua, Rama juga yang nyuruh gua mukul kepala adiknya sendiri pake linggis Fauzan. Gua udah lapor polisi, polisi udah nemuin mayat yang diawetkan di pergudangan belakang PT Genta Jaya, polisi udah ngebongkar paksa. Ada mayat Rama dan juga Daffa disana" Erik menjelaskan panjang lebar.
"Rama emang udah mati, tapi arwahnya Rama seharusnya ada disamping gua Rik, nggak mungkin arwah Rama pergi"
"Rama...Kamu disini kan sayang, erik boong, Kamu masih disini kan sayang, Aku mohon muncul Ram"
Tapi Rama tak juga muncul.
"udah gung, kalo lu gini Rama nggak akan tenang disana" Erik berusaha menenangkanku.
"biarin, biar Rama tetep jadi Arwah penasaran dan Rama tetep ada disamping gua Rik" Aku tak bisa menghentikan tangisku, Aku ingin Rama, "lu nggak bisa liat Rama, cuma gua yang bisa, jadi lu nggak akan paham rasa cinta gua terhadap Rama".
"gua ngerti gung, Karena gua juga Indigo!" Erik sedikit meninggikan suaranya. "apa lu pikir cuma lu yang kehilangan, gua juga, gua kehilangan Rama temen gua, dan juga Daffa, pacar gua. Arwah Daffa juga udah nggak ada di samping gua Ram, mereka udah pergi dengan tenang, mereka udah dikubur dengan layak, ikhlasin Ram"
"rik, gua mau Rama"
"gua mau Rama"
"gua mau Rama"
Aku tidak tahu harus berkata apalagi, Aku hanya ingin Rama. Hanya Rama saja.
"gua mau mati aja Rik, biar ketemu Rama"
"lu gila!!" bentak Erik, "apa lu pikir dengan lu mengakhiri hidup lu, Rama akan seneng, nggak gung!!"
Rama, Aku tahu akan kehilangan Rama. Tapi kenapa secepat ini, Aku belum siap.
"anter gua ke kuburan Rama rik" pintaku dalam kesedihan ini.