Satria dan Rea menoleh saat pintu kamar rawat inap diketuk. Tidak lama dari itu sebuah kepala milik Nicko menyembul.
"Mom, Dad. Are you okay? Aku nggak dengar suara ribut dari luar," ujar anak itu.
Rea menggeleng melihat tingkah anak sulungnya. "Kelihatannya kamu bahagia banget kalau lihat orang tua ribut-ribut."
"Bahagia? Yang ada kepalaku pusing, Mom. Aku boleh masuk?" tanya Nicko.
"Tentu saja boleh, Nak. Come on," sahut Satria melambaikan tangan.
Nicko lantas mendorong pintu, dan masuk kamar. Dia membawa Karla turut serta.
"Oh, ternyata kamu nggak sendiri." Rea mengulum senyum melihat Karla di belakang Nicko.
"Selamat Sore, Tante, Om," sapa Karla tersenyum lebar. "Om, apa sudah baikan? Ini Karla bawakan Om buah. Dimakan ya, Om." Gadis itu meletakkan parsel buah ke atas meja.
"Harusnya kamu nggak perlu repot-repot, Sayang," balas Rea dengan mata berbinar.
"Nggak repot kok, Tante."
"By the way kalian habis dari mana? Dating?" tanya Satria melihat berganti antara Nick dan Karla. Bisa dilihatnya pipi Karla merona karena pertanyaan Satria.
"No, Dad. Don't talk nonsense. Karla insists on visiting you," sahut Nicko cepat. Dia tidak suka mendengar pertanyaan ayahnya.
Satria mengedik. "Siapa tahu kan? Kalian berdua sedang masa puber. Seumuran kalian Dad juga dating sama sama pacar Dad dulu."
"Eham!" Kontan Rea berdeham yang mana langsung membuat Satria menutup mulut.
Laki-laki itu meringis. "Kamu juga sama kan dulu, Sayang?"
"Enggak. Seumuran Nicko aku sedang belajar giat biar dapat undangan dari universitas negeri. Memangnya kamu." Rea tersenyum sinis. "Ternyata memang dari dulu kamu sudah jadi fuckboy."
Mata Satria melebar. "Astaga, Re. Bisa-bisanya kamu bicara begitu di depan anak-anak."
"Biarkan saja. Biar Nicko tahu ayahnya dulu seperti apa." Rea menatap anak sulungnya. "Nick, jangan jadi seperti ayahmu, ya. Mom nggak suka. Jadilah lelaki yang baik."
Satria berdecak. "Kamu bicara seolah aku ini bukan laki-laki baik."
"Kalau kamu laki-laki baik nggak mungkin wanita kamu berceceran di mana-mana," balas Rea sengit.
Nicko mengembuskan napas lelah. "Kalian serius mau adu mulut di depan Karla?"
Karla meringis mendengar perdebatan kecil antara Satria dan Rea itu.
Rea yang merasa tak enak kontan tersenyum. "Duh, maafkan Tante, sudah bikin kamu nggak nyaman, Karla."
Karla menggeleng. "Nggak apa-apa, Tante. Lanjutkan saja," sahut Karla membuat Satria dan Rea melongo. Astaga.
"Kenapa kamu nggak bawa adik-adikmu ke sini, Nick? Dad rindu mereka," tanya Satria.
"Mom melarangku membawa mereka," jawab Nicko seraya duduk di sofa.
"Banyak kuman di sini. Rumah sakit nggak baik buat anak-anak," sambar Rea cepat tidak mau keduluan Satria.
Sebuah ketukan terdengar kembali. Rea pikir itu hanya perawat atau dokter yang akan memeriksa kondisi suaminya. Namun, ternyata ketukan kedua bunyi kembali. Tidak mungkin perawat kalau yang sampai mengetuk pintu dua kali. Rea pun beranjak menuju pintu. Dan, tampaklah sosok Abi begitu dia membuka pintu.
"Selamat malam sore, Bu," sapa Abi.
"Sore, Bi. Kamu ... ya sudah masuk dulu saja." Rea yang hendak bertanya urung dan menyuruh laki-laki itu masuk.
"Maaf, Pak Satria. Saya mengganggu waktu Anda," ujar Abi mengangguk sejenak kepada Satria.
Satria yang tidak menyukai kedatangan laki-laki itu membuang muka ke arah jendela.
"Oh, ya, ada apa ya, Bi?" tanya Rea.
"Maaf, Bu. Ini ada berkas penting yang harus Ibu tandatangani. Lumayan urgent, jadi saya mendatangi Ibu. Maaf sekali lagi." Abi merasa tak enak berada di ruangan ini.
"Tidak apa-apa, Bi. Mana sini berkasnya."
Abi segera menyodorkan berkas yang dia bawa.
Rea beranjak duduk di sebelah Nicko dan bergerak membuka lembaran demi lembaran kertas di hadapannya.
"Mom, jangan asal tanda tangan. Dibaca dulu," ujar Nicko.
Rea tersenyum. "Jangan khawatir, Mama seratus persen percaya sama Abi. Dia pasti sudah membaca isinya dengan baik." Rea melirik Abi yang tengah tersenyum padanya.
Nicko mendengus. Sejak pertemuannya dengan Abi di museum siang tadi, dia kehilangan respek pada pria yang menjadi sekretaris gadungan ibunya itu.
"Ada yang lain lagi?" tanya Rea setelah membubuhi tanda tangan terakhir.
"Tidak ada, Bu. Itu saja."
"Oke, ini sudah ditandatangani semua." Rea menyerahkan kembali berkas itu.
"Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya permisi. Dan, semoga Pak Satria segera sehat kembali."
"Terima kasih, Bi."
Lelaki yang masih Rea anggap sekretarisnya itu lantas keluar ruang rawat inap Satria.
Karla yang dari tadi melihat Abi tiba-tiba menyenggol lengan Nicko dan berbisik, "itu orang tadi siang di museum, 'kan?" tanya Karla.
"Iya, itu dia."
"Sikapnya bertolak belakang banget dari yang kita lihat di sana," bisik Karla lagi.
Nicko tahu soal itu. Dia menggeser tatapannya kepada sang ayah yang masih betah menghadap jendela.
"You better fire that secretary, Mom," ucap Nicko membuat Rea dan Satria menoleh.
Satria menyeringai lebar. "I agree, Son."
"Ada apa dengan kalian? Nggak mungkin aku memecat pegawai sekompeten Abi." Rea mengangkat tangan. "Nick, kamu sebaiknya belajar yang benar, Sayang."
"Aku berkata serius, Mom."
Rea menggeleng, dan beranjak duduk di kursi tunggal yang dekat dengan ranjang Satria.
"Dia bahaya," imbuh Nicko.
Rea mengernyitkan kening menatap putranya, lantas menatap suaminya. "Kalian beneran kompak."
Nicko menghela napas. Dia tahu betul sifat ibunya yang satu ini, ngeyel.
"Aku sudah memperingatkan. Kalau Mom nggak mau dengar, ya, terserah." Nicko mengedikkan bahu. Dia lantas menoleh kepada Karla. "Ayo, gue antar pulang."
Serta merta Karla menggapai lengan Nicko yang sudah lebih dulu berdiri. "Tante, Om, Karla pamit, ya. Semoga Om Satria cepat pulih."
"Terima kasih, Cantik, kamu sudah menjenguk Om,"Satria mengerling.
"Hati-hati di jalan. Jangan ngebut bawa mobilnya," ucap Rea memperingatkan.
"Dengar apa kata anakmu, Sayang. Abi itu bahaya," ujar Satria begitu Nick dan Karla menghilang dari balik pintu.
"Kalian berdua terlalu berlebihan. Abi nggak sebahaya itu." Rea tetap pada pendapatnya. Demi Tuhan, Rea tahu Abi bukan orang sembarangan, tapi dia tetap tidak yakin jika Abi itu bahaya.
Satria hanya menggeleng dan lebih memilih meraih ponsel untuk menghubungi Ruben.
"Ada kabar sesuatu?" tanya Satria kepada Ruben begitu panggilannya terhubung.
"Saya dapat laporan kalau Abi Permana menemui istri Kapten," ujar Ruben di ujung sana.
"Dea?"
"Iya, Pak."
"Ada apa mereka?"
"Itu yang masih kami selidiki."
Satria mengangguk. "Oke, cari tau lebih banyak lagi. Bagaimana pekerjaan?"
"Aman, Pak."
Satria menatap kembali istrinya setelah panggilannya berakhir. "Ada hubungan apa sekretarismu dengan Dea?" tanya Satria.
Rea yang dari tadi lebih tertarik dengan gadgetnya mendongak. Bibirnya berkerut. "Mereka memang saling kenal. Tapi aku nggak tau lebih banyak dari itu."
Satria mengusap dagu. "Apa mereka pernah pacaran ya? Atau pernah punya hubungan tanpa kapten tau."
Rea mengibaskan tangan. "Itu nggak mungkin, Bang. Kamu kan tau betul gimana cintanya Dea sama suaminya itu."
Satria mengedikkan bahu. "Siapa tahu. Kapten itu terlalu tua buat Dea."
"Yang penting kan mereka saling cinta. Menikah juga karena cinta. Nggak kayak kita."
Satria kontan menatap Rea tak suka. "Memangnya kita kayak apa? Kita kan juga saling cinta. Saking cintanya buah cinta kita sampai enam." Satria tak terima.
"Iya, tapi bangun cinta sama kamu itu benar-benar menguras jiwa, tenaga, dan pikiran. Apa lagi menghadapi wanita-wanita yang pernah kamu kencani? Kalau ingat itu rasanya pengin ngulek kamu banget." Rea berbicara penuh emosi, tetapi Satria yang mendengar malah tersenyum simpul.
"Memangnya mencintai kamu nggak berat juga? Ada Boni, Ardan, dan si sinting Axel yang nyaris bikin aku gila. Cobaanku lebih berat dari kamu. Berpisah selama tiga tahun dari kamu itu cobaan terberatku. Belum cukup sampai di sana, saat kamu kembali aku pun harus perjuangin kamu lagi padahal kamu itu masih istriku. Kurang berat apa lagi coba?"
Rea mengerjap. Kalau dipikir-pikir perjuangan Satria memang lebih berat. Dia sempat terkena fitnah dan harus berpisah dari Rea. Lelaki itu dipaksa untuk tidak membersamai kelahiran anak pertamanya. Belum lagi menghadapi sikap Rea yang angin-anginan. Namun, laki-laki itu tetap sabar dan anehnya masih tetap mau bertahan di sisi Rea. Bahkan tidak ada niat mendua meski ada banyak peluang untuk melakukannya. Satria di usia kepala empat malah makin tampan di mata Rea. Kemungkinan juga di mata wanita lain yang berniat menjadikannya sugar daddy. Ah tidak. Rea tidak bisa membayangkan itu.
_____________________
PS. Maaf ya kalo banyak typo. No edit.
Ramaikan Satria Rea Gaes. Kamu kangen sama mereka? aku lebih" kangen lagi untuk nulis kisah mereka. Gila sih hanya pasangan Satria-Rea yg bikin aku gak bosen buat bikin alur baru lagi. Terima kasih untuk yg masih selalu dukung mereka di sini. I love you all, big hugs ,*\0/*