Chereads / Emergency Marriage 2 : On My Heart / Chapter 26 - Rea Garang

Chapter 26 - Rea Garang

Permintaan Satria benar-benar tidak masuk akal. Masa dia meminta Rea untuk membelikan lasagna di Mega Kuningan? Yang benar saja! Mana mintanya maksa pula, sudah seperti orang lagi ngidam.

Diantar oleh supir, dia menemui Ruben yang sudah lebih dulu di hotel bintang lima tempat restoran itu berada. Tangan kanan Satria itu langsung menemui Rea di lobi hotel, sementara restoran tersebut terletak di lantai lima gedung.

"Kenapa enggak kamu aja sih yang anter ke rumah sakit?" gerutu Rea begitu sampai di hadapan lelaki beranak satu itu.

"Maaf, Bu."

Lagi-lagi cuma kata maaf. Rea memutar bola mata. "Mana makanannya?" tanya Rea.

"Belum saya pesan, Bu. Biar ibu saja yang pesan bagaimana? Saya harus menemui seseorang di sini."

Mata Rea terpejam seraya menggeram. Akhir-akhir ini asisten Satria yang satu ini sering bikin ubun-ubun-nya mendidih. Tanpa banyak berkata lagi, Rea pun beranjak menuju lantai empat gedung.

Rea langsung disambut pegawai restoran yang menanyakan reservasi. Reservasi apaan? Siapa juga yang mau makan di sini.

"Saya mau bertemu dengan Chef Yudhi," ucap Rea.

Pegawai hotel itu sontak terperangah. "Bu Rea?"

"Iya."

"Mari, Bu. Saya antar." Pegawai itu lantas mengantar Rea menuju kitchen restoran itu untuk menemui Chef Yudhi. Gila memang Satria. Mau lasagna saja harus Chef bernama Yudhi itu yang bikin. Merepotkan saja. Kalau tidak sedang sakit, Rea tidak mau melakukan ini. Jauh-jauh ke Mega Kuningan.

Mata Rea yang tak sengaja mengedar ketika melewati meja para pengunjung resto tiba-tiba menemukan keberadaan sekretarisnya bersama seorang perempuan. Rea memelankan langkah seraya memperhatikan Abi dari jauh. Siapa tahu dia salah mengenali seseorang. Namun, yang dia lihat itu memang beneran Abi. Lantas, siapa perempuan yang bersamanya?

Ketika Rea menggerakkan kaki maju lebih masuk ke dalam resto, dia bisa melihat jelas siapa perempuan itu. Matanya membulat seketika karena ternyata perempuan yang bersama Abi itu si Dea. Astaga, sedang apa Dea bersama Abi?

"Mari, Bu. Sudah ditunggu, Chef Yudhi," pegawai itu bersuara. Ah, ternyata tadi itu dia tertinggal. Rea bergegas menemui Chef Yudhi sebelum mencari tahu apa yang Dea lakukan bersama Abi.

Setelah Rea mendapat lasagna itu, dia bergegas kembali ke ke depan resto. Namun, dia tidak menemukan Dea dan Abi di meja tadi. Ah, sial. Dia kehilangan jejak. Berharap belum terlalu jauh, Rea menyusul keluar hotel. Kepalanya celingukan mencari keberadaan mereka. Kurang puas, dia memutar badan. Dan, akhirnya dia bisa menangkap keberadaan mereka di koridor sebelah barat tengah akan memasuki lift. Rea buru-buru mengejar mereka. Namun, pintu lift sudah tertutup. Dia sempat melihat angka lantai yang akan mereka tuju di atas pintu, sebelum bergeser masuk ke lift sebelahnya.

Astaga. Kepalanya sekarang dipenuhi tanda tanya. Bagaimana bisa Dea melakukan ini kepada kapten? Rea sudah menduga mereka ada sesuatu. Tapi dia pikir itu sudah menjadi masa lalu. Jujur, kali ini Rea benar-benar cemas dan waswas. Ucapan Nicko yang mengatakan Abi bahaya sore tadi kembali terngiang.

Pintu lift terbuka. Rea bergegas keluar. Namun, dia bingung harus mengambil jalur sebelah mana. Abi dan Dea masalahnya sudah tidak tampak lagi. Ya Tuhan, bagaimana ini? Rea mengusap wajah gusar.

Di tengah kebingungannya, dia melihat seorang room boy yang tengah mendorong troly.

"Mas, Mas, tadi liat enggak pasangan cowok-cewek. Yang ceweknya pake dress krem, rambutnya kucir kuda. Nah, kalau yang cowok pake blazer navy sama celana jin." tanya Rea kepada room boy itu.

Room boy dengan gaya rambut yang sepertinya habis dicukur itu tampak berpikir. "Ooh. Lihat, Bu. Mereka ke koridor presiden suite. Kalau nggak salah mereka masuk ke kamar... Maaf, Bu. Saya nggak bisa menyebutkan nomor kamarnya, itu privasi."

Ya ampun! Rea mengembuskan napas kasar. Bagaimana ini? tapi tiba-tiba dia....

"Kalau saya kasih ini, Mas mau ngasih tau ke kamar mana mereka masuk?" tanya Rea mengiming-imingi room boy tersebut dengan uang pecahan seratus ribuan sebanyak lima lembar.

"Ya Tuhan, 408, Bu," jawab room boy itu kontan.

Rea memberi lelaki itu sogokan tidak tanggung-tanggung. Padahal cuma sekadar info nomor kamar, tetapi uang lima ratus ribu melayang. Dulu mungkin uang segitu sangat berarti untuknya, saat dia menjadi mahasiswa kere di Jogja sana. Namun, sekarang uang lima lembar itu tidak ada apa-apanya dibandingkan laba dari perusahaan tiap bulan.

Setelah tahu nomor kamar itu, Rea bergegas mencarinya. Dia tidak boleh terlambat. Pikirannya sudah beredar ke mana-mana.

"Ah! Ini dia." Rea segera menekan bel pintu kamar tersebut. Dia menekannya berulang-ulang, tak sabar. Kepalanya sudah mengebul ingin melabrak mereka.

Pintu terbuka dan sosok Abi muncul dengan hanya menggunakan jubah mandi. Tadinya lelaki itu sudah akan marah karena merasa terganggu dengan bunyi bel itu. Namun, begitu melihat wajah Rea yang muncul, mukanya yang menegang mendadak mengendur kembali.

"Bu Rea?"

Rea melotot. "Mana Dea?!" Dia mendorong kasar tubuh Abi hingga laki-laki terhuyung lantas menerjang masuk ke kamar.

"Bu Rea, tunggu!"

Rea tidak peduli seruan Abi. Dia terus masuk menuju kamar mewah itu. Ke ruang tamu, dia lantas menuju master suite. Dia buka pintunya dengan kasar sampai-sampai Dea di dalamnya terkejut. Wanita itu tengah mengenakan jubah mandi yang sama dengan Abi.

"Kak Rea?" Sontak wajahnya pias melihat Rea ada di sana.

Dengan cepat, Rea menggapai tangan Dea, dan menyeret keluar wanita itu. "Pulang!"

"Kak Rea, tunggu, aku—"

Abi tampak masuk, dan menghampiri mereka. "Rea, tunggu. Kamu nggak bisa bawa De—"

Plak!!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Abi. Dea tampak terperanjat dengan apa yang kakak iparnya lakukan itu.

"Lo tau siapa perempuan yang lo ajak ngamar ini, heh?! Dia itu perempuan yang udah punya suami!" teriak Rea. "Pulang, Dea!" Rea kembali berjalan dengan terus menyeret paksa lengan Dea keluar suite.

"Rea, tunggu. Aku bisa jelasin. Aku—"

"Diam lo! Urusan kita belum beres, ya!" Rea mengacungkan jari tengah sebelum keluar dari suite. Dia membanting pintunya kuat-kuat meninggalkan Abi yang hanya bengong di tempat.

"Kak Rea ... aku—"

"Diam kamu!" hardik Rea cepat ketika Dea membuka suara. Rasa kesal Rea sudah sampai ke leher. Sumpah sarapahnya mungkin sudah keluar seandainya saja tidak dia tahan. Melupakan lasagna yang entah tadi tertinggal di mana, dia pun kembali ke rumah sakit dengan Dea yang turut serta bersamanya.

Satria yang tengah menekuri tablet kaget melihat kedatangan Rea disertai Dea di belakangnya. Wajah istrinya itu merah padam. Mukanya sama sekali tidak sedap dipandang mata.

"Kalian kenapa bisa bersama?" tanya Satria.

"Duduk di sana kamu, Dea! Jangan bergeser sedikit pun tanpa seizinku!" titah Rea tegas. Dea auto menurut. Rea sedang dalam mode mengerikan.

Satria makin mengerutkan kening dalam. Dia membuka kacamata bacanya. "Ada apa ini?" tanya lelaki itu menatap istrinya dan Dea secara berganti.

Rea menatap tajam Dea yang menunduk seraya meremas jubah mandi yang dia kenakan. "Kapten di mana?" tanya Rea.

"Dia, dia sedang ke Turki," jawab Dea terbata.

"Suami sedang bertugas bukan berarti kamu bisa bertindak seenaknya, Dea. Otak kamu sebenarnya di mana?!" hardik Rea kembali.

"Sebenarnya ada apa? Rea, kenapa kamu marah-marah? Terus mana lasagna yang aku mau?" tanya Satria makin bingung.

"Lasagna-nya nggak ada."

"Nggak ada gimana? Tapi, kata Chef Yudhi di—"

"Kalau aku bilang nggak ada ya nggak ada, Bang. Itu nggak penting sekarang," potong Rea sebal. "Adikmu itu yang penting sekarang. Bisa-bisanya dia ada di hotel sama laki-laki lain sementara suaminya sedang pergi bertugas."

"Apa?" Hampir-hampir Satria tidak percaya apa yang Rea katakan. "Jangan bercanda."

"Tanya adikmu itu." Rea bersidekap tangan seraya mengedikkan dagu kepada Dea yang masih saja betah menunduk.

"Dea, apa benar yang istriku bilang tadi?" tanya Satria dengan nada suara rendah.

Alih-alih menjawab pertanyaan Satria, wanita itu malah sesenggukan. "Maafin, aku, Bang."

Mendengar permintaan maaf Dea mendadak kepala Satria berdenyut seketika. Apa lagi ini?