Maaf ya, aku melupakan lapak ini sesaat. Sempat kena WB karena lelah. Bab ini tanpa edit eh bab" sebelumnya sama saja ding. Hehe. Pokoknya aku minta maaf kalau banyak typo.
happy reading.
_________________
Nicko menyipitkan mata ketika melihat rombongan orang dengan setelan jas rapi memasuki gedung sebuah museum ibu kota. Di barisan paling depan tampak seorang pria berjalan dengan mantap dan gagah. Hanya pria itu yang memakai outfit berbeda. Dari situ Nicko paham kalau orang-orang yang berpakaian serba hitam itu adalah pengawal. Namun, yang tidak habis pikir, kenapa para bodyguard itu mengawal seseorang yang Nicko kenal? Dia sangat yakin tidak salah lihat. Pria yang berjalan paling depan dengan setelan kemeja abu itu adalah sekretaris ibunya. Abi Permana. Lantas sedang apa pria itu di sini?
Diam-diam Nicko mengikuti mereka yang tengah memasuki museum. Dia bisa melihat para pengawal itu membuka formasi ketika berada dalam museum. Dan, dari tempatnya Nicko bisa melihat Abi Permana tengah menghampiri seseorang wanita.
Mata Nicko melebar ketika tahu siapa wanita yang tampaknya sedang terlibat obrolan dengan Abi.
"Bukannya itu Tante Dea?" gumamnya.
"Astaga! Gue cari ternyata ada di sini!"
Nicko terkesiap mendengar seruan itu. Dia langsung berbalik dan membungkam mulut si pemilik suara lalu segera memepetkannya ke balik dinding.
"Jangan teriak-teriak, Karla," desis Nicko sebal.
Karla yang masih dibungkam oleh tangan Nikco mengangguk patuh. Setelah itu, baru Nicko melepas tangan dari mulut Karla.
"Lo lagi ngintipin apa sih, Nick?" tanya Karla berbisik.
Nicko tidak menjawab dia hanya mengisyaratkan Karla untuk diam dan kembali mengintip Abi dan Dea. Namun, ketika tubuhnya bergeser, dia membentur sesuatu.
"Damn!" umpatnya pelan ketika dia sadar sudah tertangkap basah oleh salah satu pengawal Abi.
"Kalian sedang apa di sini?" tanya pria berkacamata hitam dengan setelan jas berwarna hitam juga.
Nicko menegakkan badan. "Saya mau mengunjungi museum. Ini museum kan?"
"Ayo, ikut!" hardik orang itu langsung menggaet lengan Nicko dan Karla.
"Lo itu benar-benar musibah, Kar," dengus Nicko kepada Karla yang kini tampak ketakutan karena pengawal bertubuh tinggi itu menggiringnya.
Nicko dan Karla langsung dihadapkan kepada Abi.
"Maaf, Tuan. Dua remaja ini ketahuan mengintip. Saya curiga dia mata-mata," ucap pengawal itu.
Abi kontan menoleh, begitu juga Dea. Keduanya meyipitkan mata begitu melihat dua remaja itu.
"Nicko?" seru Dea. "Kamu sedang apa di sini?"
"Aku sedang mengunjungi museum untuk tugas sekolah. Harusnya aku yang tanya, kenapa Tante ada di sini bersama mereka," sahut Nicko. Anak itu sama sekali tidak takut kendati kedua tangannya masih dicengkeram pengawal itu dari belakang.
"Aku, aku, sama seperti kamu hanya ingin mengunjungi museum."
Jawaban Dea tak lantas membuat Nicko percaya. Dia menatap tajam wanita itu dan pria di sampingnya bergantian.
"Kamu ...." Abi menggantung kata-katanya, wajah remaja itu mengingatkannya pada seseorang. "Dia anak Rea?" tanya Abi kepada Dea.
"Iya."
Wajah Abi berbinar, dan menatap takjub Nicko. "Lepaskan dia R," perintahnya kepada pengawal yang mencekal kedua tangan Nicko.
"Baik, Tuan." Pengawal itu melepas cekalannya, membiarkan Nicko dan Karla lepas.
"Kamu benar-benar mirip ayahmu. Ibumu sebenarnya baik, tapi meluluhkan hatinya ternyata cukup sulit. Bagaimana keadaan ayahmu, bukannya dia sedang tak berdaya di rumah sakit?" tanya Abi dengan senyum mengembang.
Nicko menyipitkan matanya. Dia tidak suka kata-kata pria itu barusan. Apa maksudnya? Apa pria itu sedang berusaha menghancurkan keluarganya?
"Keluarga Wijaya berhutang budi padaku karena aku berhasil menghidupkan kembali perusahaannya yang kolaps," lanjut Abi bersidekap tangan.
Nicko masih tetap diam. Kendati dia merasa muak dengan apa yang pria itu katakan, dia memilih untuk diam dan tenang.
"Jangan mengada-ada. Kamu pikir, kamu berjasa banget?" tanya Dea sinis.
"Honey, aku menjadi sekretaris Rea. Dan, tanpa aku dia tidak bisa berbuat apa-apa."
Dea tertawa tanpa suara. "Apa kamu pikir, kamu sehebat itu?"
"Tentu saja kalau tidak mana mungkin Noe lahir di dunia ini."
"Abi!" hardik Dea kesal. Dia paling tidak suka Abi menyebut Noe.
Nicko yang melihatnya hanya mengerutkan kening. Sebenarnya ada apa di antara mereka. Entah mengapa dia mencium gelagat yang tidak beres di sini. Dan, kenapa pula Noe dibawa-bawa? Kebingungan itu hanya berlangsung beberapa saat ketika akhirnya Nicko menyadari sesuatu. Dia menggeleng, tetapi dia bisa melihat kemiripan antara pria itu dengan anak kedua Dea. Bisa dikatakan Noe itu versi mini Abi Permana.
"Aku tidak tahu apa yang kalian bahas. Boleh kah aku pergi?" tanya Nicko.
"Ya. Tentu saja boleh. Apa kamu mau kami antar?" tanya Abi.
"No, thanks. Aku tau jalan pulang." Nicko mengulurkan tangannya kepada Karla. "Ayo, kita pergi."
Karla yang dari tadi hanya diam ketakutan segera meraih tangan Nicko. Dia menurut saja ketika Nicko membawanya keluar dari Museum.
"Aku boleh pergi juga?" tanya Dea kemudian.
Pandangan Abi terpusak ke Dea kembali, lantas tersenyum. "Kita jalan-jalan, belum makan malam, dan yang paling penting ...." Dia meraih tangan Dea lantas membawa ke bibir dan menciumnya. "Kita belum bercinta," lanjutnya menyeringai.
Dea segera menarik tangannya. "Dasar sinting! Kamu pikir aku mau melakukan itu semua?"
Abi mengedik. "Aku yakin sih mau."
Dea menatap geram pria di hadapannya. Abi itu sudah seperti ular berbisa. Bahkan pertemuannya di sini pun karena ancaman pria itu. Dea menyesal pernah mengenal seorang Abi Permana.
"Kenapa kamu nggak bawa Noe?" tanya Abi. Padahal dia sangat berharap Noe akan datang bersama Dea.
"Noe sekolah, dan aku nggak bisa nawar Noe untuk bertemu sembarangan orang."
"Sembarang orang kamu bilang? Aku ayah biologisnya."
Dea mengetatkan rahang. Dia sangat tidak suka jika Abi sudah membahas soal Noe.
"Diam kamu. Noe itu anakku. Dan kamu bukan siapa-siapanya," desis Dea sebal. Namun, itu justru membuat senyum Abi mengembang.
"Aku berani melakukan tes DNa sekarang."
"Itu nggak perlu," hardik Dea semakin merasa panas ubun-ubunnya.
"Ya, kamu benar itu nggak perlu. Kalau kami berdiri sejajar, orang-orang bisa langsung tau kalau kami ayah dan anak. Jadi, tes itu memang tidak perlu." Abi mengatakan itu dengan nada yang terdengar santai dan ringan, tetapi tidak bagi Dea.
"Sepertinya aku memang nggak perlu lama-lama di sini." Dea beranjak meninggalkan Abi.
"Jam tujuh malam aku tunggu di Ritz Carlton. Kamu tahu pasti apa yang akan aku lakukan jika kamu tidak datang."
Dea berhenti melangkah. Lagi-lagi ancaman. Dea menggeram pelan. Kenapa dia harus bertemu manusia itu lagi? Sekarang dia merasa hidupnya sepertinya akan mengalami kesulitan lagi karena kehadiran Abi kembali.
"Setuju 'kan?" tanya Abi yang tahu-tahu sudah berada di dekat Dea. Punggung tangan pria itu menyentuh kulit lengan Dea yang terbuka.
"Singkirkan tanganmu," desis Dea menahan jengkel.
Abi mengangkat kedua tangannya. "Oke, aku singkirkan tanganku. Aku tidak suka menunggu lama, Honey. Jadi, pastikan datang tepat waktu malam nanti." Dia mengikis jarak lalu mengecup pipi Dea sesaat, dan pergi begitu saja bersama para pengawalnya.
Dea memejamkan mata menahan geram dengan tingkah laku Abi yang tak pernah berubah dari dulu. Suka mengancam dan egois. Dea menyeka sudut matanya yang berair. Bertemu dengan Abi membuat dadanya terasa sesak. Apa yang harus dia katakan pada Kenzo seandainya lelaki itu tahu? Dea pernah berjanji untuk tidak pernah lagi menemui Abi. Tapi? Abi bukanlah orang yang mudah dilawan. Dia bisa saja menghancurkan Dea jika permintaannya tidak dituruti.
Dea menghela napas panjang sebelum akhirnya beranjak meninggalkan museum itu. Museum yang sengaja orang-orang Abi kosongkan demi menemui Dea.