Jam Rea tidak terlalu padat. Dia lantas mengajak Dea dan Noe pergi ke sebuah kafe yang tak jauh dari kantornya.
"Abi, gue mau keluar sebentar. Tolong, lo handle kalau ada apa-apa, ya?" kata Rea memberi pesan sebelum berangkat.
Abi mengangguk kecil. "Baik, Bu." Matanya melirik Dea, lantas bergeser pada si kecil Noe. Pria itu lantas tersenyum lembut. Dia mengabaikan Dea yang tampak salah tingkah dan gusar.
"Kak, ayo, kita pergi sekarang." Dea menarik tangan Rea agar segera pergi dari kantor. Dia sedikit menyesal sudah mampir ke sini.
"Abi, kami tinggal dulu," ucap Rea sebelum beranjak.
Abi hanya memandang kepergian mereka dengan senyum kecil. Matanya tidak lepas dari ibu dan anak yang berjalan beriringan dengan Rea. Entahlah, tapi dia yakin anak yang bersama Dea adalah anaknya. Memandang anak itu seperti melihat dirinya saat masih kecil.
***
"Kak Rea tahu dia siapa?" tanya Dea begitu pelayan yang mencatat pesanan mereka berlalu.
"Siapa? Abi?" tanya Rea.
Dea mengangguk. "Iya. Dia itu pemilik Dutamas. Mana mungkin tiba-tiba jadi sekretaris kamu?"
Rea mengedikkan bahu. "Aku juga nggak tahu bagaimana awalnya. Waktu itu aku hanya membutuhkan seorang sekretaris, dan personalia mengirim dia. Aku nggak curiga apa pun soal asal usulnya. Pemilik Dutamas nggak ada dalam catatan CV-nya."
Dea mengempaskan punggung dan bersidekap tangan. "Aku khawatir dia macam-macam di perusahaan kakak. Dia itu licik."
Rea mengerutkan kening. "Aku rasa enggak. Selama bersamanya aku malah semakin terbantu. Strategi pasarnya hebat. Dan dia sering memberi ide tak terduga yang hasilnya wow. Aku nggak pernah berpikir dia akan menghancurkan perusahaan." Mata Rea membulat. "Astaga, De. Kenapa sih pikiranmu harus sama kayak Satria?" decak Rea.
Dia menengok dan membantu Noe yang kesusahan mengambil pensil warnanya. Anak itu sedang mewarnai gambar mobil. Anak umur tiga tahun tapi sudah bisa mewarnai adalah kemampuan yang luar biasa. Anak-anak Rea nyaris tidak ada yang menyukai kegiatan mewarnai. Bahkan Ceera anak bungsunya itu selalu mengeluh capek kalau ada tugas mewarnai. Mungkin memang tidak punya bakat dalam bidang seni.
Nicko suka beternak. Serena lebih suka main musik. Sementara si kembar hobinya malah ekstrim. Mereka menyukai motor cross. Dan yang lebih menyebalkan Satria sangat mendukung. Beberapa kali Aarash-Aariz mengikuti balap motor cross. Sedang Bisma lebih suka merakit robot. Sementara Ceera? Anak itu terobsesi memiliki istana boneka.
Ah, sudah dari dini mereka tidak menyukai seni yang berhubungan dengan warna. Padahal kegiatan mewarnai itu menyenangkan.
"Ya, karena aku mengenal dia, Kak."
"Ngomong-ngomong kalian kenal di mana? Nggak mungkin kan dia mantan kamu? Kamu nggak memiliki mantan. Pacarmu dari dulu cuma satu yaitu kapten. Lagi pula, umur kalian itu beda jauh." Rea mengacungkan lima jari ke depan mata Dea. "Lima tahun."
Dea bingung mau menjawab apa. Tidak ada yang tahu masalahnya dulu dengan Abi. Lagipula kejadiannya sudah lama. Hampir empat tahun berlalu.
Dea bersyukur karena pesanan mereka datang. Dua potong cheesecake dan dua cangkir kopi, serta banana split untuk Noe. Mungkin Dea pikir Rea akan melupakan pertanyaannya setelah itu. Namun, wanita itu ternyata masih mendesak. Rea hanya penasaran saja. Dia bukannya tidak tahu kalau di kantor tadi Abi sedikit terkejut dengan kedatangan Dea. Dan pandangan laki-laki itu juga agak lain. Serius, Rea adalah orang paling tidak peka di dunia. Namun, untuk kali ini dia sedikit bisa membaca ekspresi dan gestur sekretarisnya.
"Jadi, kamu berkhianat dari kapten?" tuduh Rea langsung.
Dea kontan membelalak. "Enggak mungkin aku melakukan itu, Kak. Kamu tau betul bagaimana aku mengejar Kenzo dulu itu."
Rea mengangguk. Dia memotong kuenya dengan garpu lalu memasukkan potongan kecil itu ke mulut. "Jadi, bagaimana kamu bisa mengenalnya?"
Rea bisa melihat jelas wajah Dea yang tampak bingung. Entah itu bingung atau malah sebentuk ketakutan. Rea benar-benar dibuat penasaran.
"Kamu selalu bisa percaya padaku, De." Rea seolah tahu apa yang menjadi ganjalan Dea.
Dea tampak menarik napas dan mengembuskannya melalui mulut. Dia menengok Noe di sebelahnya yang sedang menikmati banana split es krim, lalu mengusap rambut anak itu lembut.
"Aku bingung, Kak. Sebenarnya aku nggak pernah menceritakan ini pada siapa pun. Aku selalu menyimpan rapat kejadian ini. Bahkan Kenzo nggak pernah tahu."
Rea memperbaiki duduknya. Rasa penasarannya makin menggembung. "Jadi Kenzo nggak kenal Abi?"
"Kenal tapi hanya sekadar kenal. Maksudnya, Kenzo kenal karena aku pernah punya masalah dengan Abi." Perempuan itu menautkan jemarinya. Dia terlihat enggan menceritakan apa yang terjadi. Meskipun yang diajak bicara itu Rea, dia ragu untuk melakukannya. Itu aib yang selalu Dea simpan rapat-rapat, bahkan dari suaminya sekali pun.
Jujur, melihat Abi tadi membuatnya sedikit terguncang. Dia tidak akan pernah menyangka akan bertemu dengan pria yang dia tahu sudah tinggal di Belgia itu.
Seperti mengetahui keresahan Dea, Rea menepuk punggung tangan adik dari Andra itu. "Oke, kalau itu berat buat kamu. Aku nggak akan maksa. Yang penting kamu baik-baik saja. Tapi kalau kamu ingin bercerita, kamu bisa percaya padaku." Rea tersenyum lantas melanjutkan makan cake dengan santai.
"Terima kasih, Kak. Tapi aku harap kamu nggak memberitahu Kenzo kalau tadi aku bertemu Abi. Dia akan marah."
Rea mengangguk. Dia semakin merasa bahwa hubungan Dea dengan Abi bukan masalah sepele. Dia melihat Noe yang makan es krim dengan lahap.
"Apa anakmu nggak apa-apa makan es krim sebanyak itu?" tanya Rea.
"Noe tau dia harus makan es krimnya berapa banyak. Biasanya kalau ada tiga sekop seperti itu, dia hanya akan memakan dua."
Mata Rea berbinar. "Benar kah? Anakmu pinter banget, Dea." Sekarang Rea melihat Noe sedang memotong pisang pada mangkoknya. "Oh iya, kabar Aiden gimana?" Aiden adalah anak pertama Dea dan Kenzo. "Dia pasti tumbuh hebat."
"Sama seperti si kembar, Kak. Seperti biasa kalau Kenzo ada di rumah dia akan terus mengikuti Kenzo ke mana-mana."
Rea terkekeh. "Sepertinya dia tertarik dengan profesi ayahnya."
"Iya, koleksi miniatur pesawatnya juga banyak. Kenzo kerap membawakannya kalau bepergian ke luar negeri." Dea menggigit bibir. Meskipun tidak sesering dulu, sampai sekarang demi pekerjaan yang dia cintai, Kenzo masih bolak-balik terbang dalam dan luar negeri. Kadang Dea merasa kesepian.
"Kamu sudah lebih dari tahu risiko pekerjaanku, De."
Kalau Kenzo sudah berkata begitu, Dea hanya bisa pasrah. Dia sadar kalau dialah yang memilih Kenzo. Mengejar laki-laki itu dari masih sekolah dulu, padahal orangtuanya sempat menentang hubungan itu.
Dea menarik napas panjang. Untung saja sekarang ada Aiden dan Noe. Dia tidak terlalu kesepian kalau Kenzo sedang bertugas.
"Loh, itu kan Kapten dan Aiden," seru Rea melihat ke arah pintu masuk.
Dea kontan menoleh dan tersenyum. "Iya, aku meminta mereka menjemput kami di sini."
"Aku heran, suami kamu masih saja terlihat tampan padahal udah tua."
"Bukan tua, Kak. Tapi mateng. Sama kan kayak Bang Satria?" Senyum Dea makin lebar kala keduanya sampai di hadapannya.
"Hai, Sayang," sapa perempuan itu menggapai anak sulungnya.
Mata Kenzo semakin menyipit saat tersenyum. "Selamat siang, Miss," sapa pria berdarah Jepang itu kepada Rea.
"Kapten, anakku udah setengah lusin tapi kamu masih memanggilku miss. Aku kan jadi malu," kelakar Rea.
"Nggak apa-apa, Kak. Kan awet muda," sahut Dea cekikikan.
"Sudah terbiasa. Jadi, susah menghilangkannya," jawab Kenzo. Dia menatap istrinya. "Jadi, kita pulang sekarang?"
"Tunggu kami menghabiskan makanan ini. Aiden, apa kamu mau memesan es krim seperti adikmu?" tanya Dea pada anak pertamanya.
"Nggak, Ma. Tadi aku sudah makan es krim sama papa," jawab Aiden. "Tapi aku nggak keberatan menghabiskan keik itu."
Dea terkekeh. "Oke, makan ya." Dea mendorong piring keiknya mendekati Aiden.
"Kalau kamu suka, kamu boleh memesannya lagi, Aiden," ujar Rea. Melihat Aiden mengingatkannya pada si kembar. Mereka seumuran.
"Nggak perlu, Miss. Dia sudah banyak mengonsumsi glukosa hari ini." Kenzo yang menjawab.
Rea mendesah. Kenzo sebelas dua belas dengan Satria kalau sudah berurusan dengan makanan. Karbo dan gula saja mesti ditakar. Merepotkan.
___________________
Yuk. jangan lupa ramaikan bab ini dengan komen dan power stone teman-teman. Satu lagi jangan smape lupa masukin cerita ini ke library juga ya.