Chereads / Emergency Marriage 2 : On My Heart / Chapter 21 - Satria Tumbang

Chapter 21 - Satria Tumbang

Maaf ya, Senin lalu aku lupa nggak update. Keasikan liburan Haha.

Yuk, ah...lanjut. Jangan lupa ramaikan ya, Gaes. Yang belum masukan cerita ini ke library kuy masukkan biar gak ketinggalan updatenya.

Dukung terus Klan Wijaya yaa teman-teman.

Happy Reading!

________________________

Rea sedang memantau pergerakan sahamnya di layar tablet ketika Satria masuk kamar. Lelaki itu terlihat sangat lelah. Dasi di lehernya sudah mengendur. Vest dan jasnya dia lempar begitu saja ke atas sofa. Satria beringsut mendekati Rea yang tengah duduk di atas tempat tidur bersandar pada kepala ranjang. Melepas sepatu, dia lalu naik ke atas ranjang dan tiduran di sisi istrinya tanpa bersuara. Matanya langsung terpejam, lengan sebelah kirinya terangkat menutupi mata untuk menghalau cahaya lampu yang masih terang.

Di sampingnya, Rea terheran-heran lihat kelakuan suaminya. Tidak biasanya Satria seperti itu. Apa ada hal yang mengganggunya?

"Bang? Kamu kenapa?" tanya Rea heran, tidak ada romantis-romantisnya sama sekali.

Satria tidak menjawab, dan tidak lama berselang napasnya sudah bergerak teratur. Dia tertidur.

Kening Rea berkerut dalam. Dia mengakhiri kegiatannya dengan si tablet. Satria tidak memiliki kebiasaan pulang kerja langsung tidur, biasanya dia akan bersih-bersih terlebih dulu.

Setelah menyingkirkan tabletnya, Rea bergerak mendekati Satria. Dia berniat menyingkirkan lengan Satria yang menutupi mata lelaki itu. Namun, Rea cukup terkejut ketika telapak tangannya menempel kulit lengan itu, kulit Satria sangat panas. Dengan cepat dia menyingkirkan lengan itu dan mengecek kondisi Satria. Dia meletakkan punggung tangannya ke dahi dan leher suaminya. Menyengat. Satria demam.

"Bang, kamu demam nggak bilang-bilang sih," Rea segera turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Dia langsung minta pada pelayan untuk mengambil kompres air hangat, termometer, dan obat. Lalu segera balik ke kamar lagi.

"Perlu saya panggilkan dokter, Nyonya?" tanya pelayan itu setelah membawakan apa yang Rea minta.

"Tidak perlu. Kamu boleh keluar."

"Baik, Nyonya."

Rea mulai membuka kemeja suaminya setelah pelayan itu pergi. Satria tampak diam dengan mata terpejam ketika Rea mulai mengelap badannya dengan air hangat. Setelah itu, Rea memakaikan Satria sweater, dan menyuruh lelaki itu meminum obat.

Satria yang tidak berdaya menurut saja. Karena memang badannya sudah lemah tak bertenaga.

Terakhir, Rea mengompres dahi Satria. Matanya meneliti wajah Satria yang tampak pias. Pagi tadi padahal lelaki itu masih baik-baik saja. Semoga ini hanya demam biasa. Kalau melihat wajah Satria yang tidak berdaya seperti ini rasa bersalahnya timbul. Rea merasa tidak becus menjadi istri, terlalu sibuk sendiri, dan sering mengabaikan permintaan suami. Padahal selama ini Satria selalu melakukan yang terbaik untuknya. Sebagai seorang suami yang bucin akut, Satria benar-benar mendedikasikan hidupnya hanya untuk Rea seorang. Meskipun kadang kelakuannya bikin Rea geram, tetapi itu tidak lantas membuat posisi Satria di hati Rea bergeser sedikit pun. Satria tetap pria terbaik.

Rea menggeliat. Semalam dia tidak sengaja tertidur saat menunggui Satria. Astaga! buru-buru dia membuka mata. Dia baru sadar kalau kompres di dahi Suaminya belum diganti. Namun, saat bangun dia merasa kebingungan karena tahu-tahu dia sudah berada di tengah-tengah ranjang tidur. Ini bagaimana ceritanya?

Dia menggaruk kepala. Menengok kiri kanan karena hanya ada dirinya di atas ranjang. Lalu di mana Satria berada?

"Bang! Bang Sat! Kamu di mana?" serunya seraya turun dari ranjang dengan lemas. Setengah nyawanya masih melayang. Dia menyeret langkah ke kamar mandi dan mengetuk pintunya.

"Bang! Kamu di dalam enggak?" seperti orang mabuk, dia menggelosor di depan pintu kamar mandi. Sejenak dia terkantuk-kantuk. Namun, kemudian dia bangun lagi dengan mata yang dia buat selebar mungkin. "Baang!" Rea berdiri lagi. Lalu berjalan ke depan meja rias dan duduk di sana.

"Tuh orang ke mana sih? lagi sakit pagi-pagi udah ngilang aja."

"Ada apa sih, Sayang? Pagi-pagi teriak-teriak."

Rea menoleh dan mendapati Satria yang baru keluar dari walk in closet sudah berpakaian rapi.

"Lho , Bang. Kamu mau ke mana? Kok rapi banget?"

"Ke kantor, Sayang. Ada rapat penting sama klien dari Singapura pagi ini," jawab Satria menyerahkan sebuah dasi kepada Rea minta dipasangkan.

"Tapi kamu kan lagi sakit." Rea berdiri dan mengulurkan tangannya meraba kening lelaki itu. "Tuh kan masih agak panas."

"Aku nggak apa-apa, Sayang. Semalam sehabis kamu kasih aku obat sudah lebih baik."

"Tapi kamu belum sembuh benar, Bang."

"Aku nggak apa-apa. Sekarang ayo pasangkan dasiku. Ruben pasti sudah menunggu di bawah."

"Tapi, Bang ...."

"Kamu banyak tapinya." Satria mengambil dasinya kembali dari tangan Rea. "Biar Serena saja yang pasang." Dia lantas beranjak keluar kamar.

Rea segera menyusul suaminya. Jujur, dia agak khawatir. Kalau Satria memaksa ke kantor, nanti tambah parah sakitnya gimana? Rea menangkap keberadaan Ruben di bawah bersama anak-anak. Mendadak dia merasa kesal dengan asisten Satria yang satu itu. Rea buru-buru menghampiri Ruben, tidak peduli penampilannya yang masih acak-acakan karena baru bangun tidur.

"Ruben, kamu bisa cancel semua jadwal Satria hari ini kan?" tanya Rea membuat kening asisten Satria berkerut.

"Maaf, Bu Rea. Itu tidak bisa," sahut Ruben tersenyum.

"Kamu nggak tahu kalau bos kamu itu lagi sakit? Masa masih disuruh kerja juga?" Rea tampak kesal.

"Aku janji hanya satu meeting ini saja, Sayang. Habis itu nanti aku pulang lagi," ujar Satria yang meminta Serena naik ke kursi untuk memasangkan dasi.

"Daddy kalau sakit nggak usah masuk kantor aja," ucap Serena yang mulai menyimpulkan dasi ayahnya.

"Aku rasa nurut sama Mom nggak ada salahnya, Dad." Nicko ikut menimpali.

"Ini klien penting, Son," sahut Satria.

"Penting mana kesehatan atau klienmu?" tanya Nicko menatap lurus ayahnya.

Satria mendesah. "Keduanya sama pentingnya."

Nicko mengedik. "Oke, kalau gitu up to you, Dad." kemudian anak itu melanjutkan kegiatan sarapannya.

"Ya, aku rasa memang Daddy kalian tidak akan mendengarku." Rea menghampiri Ceera yang tampak lahap dengan pan cake di piringnya.

"Mom mandi dulu, baru boleh sarapan bersama," ucap anak itu tepat saat Rea hendak menciumnya.

"Mom hanya ingin mencium kamu, Sayang. Habiskan makannya, Mom mandi dulu." Rea hendak kembali lagi ke atas ketika Satria memanggilnya. Wanita itu menoleh.

"Hanya satu jam-an aku rapat. Kamu jangan ke mana-mana. Hari ini nggak usah ke kantor," ujar Satria.

"Apa aku harus menurut sama kamu, Bang?" tanya Rea mengangkat kedua alisnya.

"Ayolah, Sayang." Satria tahu betul maksud Rea. Itu pertanyaan sindiran.

"Harta kamu nggak akan habis sampai delapan turunan kalau kamu kehilangan satu klien itu, Bang." Setelah mengatakan itu, Rea beranjak naik ke lantai atas.

"Mom kalian kalau ngambek kecantikannya nambah sepuluh kali lipat. Kalian setuju nggak sama Daddy?"

Nicko dan Serena hanya memutar bola mata. Sementara si kembar mengacungkan garpu mereka tanda setuju. Bisma dan Ceera tampak cuek. Mereka lebih sibuk dengan makanan mereka daripada ocehan Satria.

"Sepertinya Anda akan kerepotan, Pak," celetuk Ruben yang berdiri di belakang kursi Satria.

"Pabrik es krim kita mengeluarkan es krim varian baru tidak?" tanya Satria.

"Saya rasa belum, Pak."

Satria tampak menghela napas panjang. "Kamu benar, Ruben. Aku akan kerepotan setelah ini." Satria menghela napas berat sebelum lanjut menemani anak-anaknya sarapan.

***

Satria merasakan pusing yang luar biasa setelah berpisah dengan klien penting dari Singapura. Sebenarnya di rapat tadi, dia sudah merasakannya. Hanya saja kali ini semakin terasa berat. Bahkan pandangannya sedikit mengabur dan berkunang, hingga dia terpaksa berpegangan pada dinding karena takut limbung.

"Pak Satria, Anda baik-baik saja?" tanya Ruben khawatir, dan bergegas menangkap lengan Satria. Ruben bisa melihat wajah Satria yang tampak pias.

"Saya antar Anda ke rumah sakit."

Satria langsung mengangkat tangan, dan menggeleng. "Bawa aku pulang ke rumah saja, Ruben. Rea bisa ngomel sehari semalam kalau aku dirawat di rumah sakit."

"Sepertinya saya yang bakal kenal omel bukan Anda. Daripada saya terkena dobel omel, mending saya bawa langsung Anda ke rumah sakit."

Satria tidak bisa mengelak lagi ketika Ruben membawanya ke rumah sakit. Dia segera menutup mata ketika berhasil masuk ke dalam mobil. Kepalanya seperti diganduli berton-ton beban berat.

Ruben menghentikan mobil tepat di depan IGD. Begitu Satria dibawa ke ruang tindakan oleh beberapa perawat, dia kebingungan. Apakah dia perlu menelepon Rea sekarang atau nanti saja setelah dia mendapat informasi tentang kondisi Satria? Dia memutuskan untuk tidak menghubungi Rea sebelum mendapat kepastian kondisi Satria.

Satria terpaksa harus dirawat-inap karena kondisinya benar-benar drop. Dokter masih menunggu hasil lab. Namun, dugaan sementara Satria terkena DBD.

Rea yang akhirnya mendapat kabar dari Ruben, segera datang ke rumah sakit. Sudah Ruben duga, wanita itu mengomel sepanjang jalan menuju ruang rawat inap ketika Ruben menjemput Rea di lobi rumah sakit.

"Kalian berdua itu sok pintar. Tidak mau mendengar apa yang aku katakan. Merasa benar sendiri dan menyepelekan kesehatan. Aku tidak mau tahu, Ruben. Kalau ada apa-apa sama Satria kamu juga harus ikut bertanggungjawab."

"Maaf, Bu." Hanya kata itu yang mampu Ruben ucapkan. Dia tidak ingin mendebat karena dia sendiri merasa bersalah.

"Apa nggak ada kata lain selain maaf? Dari tadi maaf-maaf terus!" hardik Rea membuat Ruben agak terlonjak, kaget.

Rea membuka pintu ruang rawat inap Satria perlahan. Netranya langsung menangkap keberadaan Satria yang tertidur. Tampak tenang. Wajah Satria masih terlihat sedikit pias. Padahal pagi tadi sudah sedikit memerah. Seandainya lelaki itu tidak bandel dan menuruti apa katanya, mungkin tidak akan berakhir di sini. Tapi baguslah, berada di sini itu artinya Satria paham dengan keadaannya sendiri.

Rea menghela napas panjang begitu sampai di dekat ranjang suaminya. Dia awasi wajah pemilik rahang tegas itu. Satria termasuk orang yang jarang sekali tumbang. Gaya hidupnya yang sehat membuat imun lelaki itu kuat. Jadi, melihat lelaki itu terbaring tak berdaya dengan selang infus yang menancap pada lengannya, membuat Rea cemas.