"Apa kau tidak bisa bekerja dengan benar?"
Ve menggertakan giginya. Kesal menghadapi omelan atasannya yang sejak pagi marah-marah. Ia sudah meminta untuk dipecat, tapi direktur tidak mengabulkan permintaannya.
"Apa kau bisa memerintah tanpa marah-marah? Direktur darah tinggi! Sudah kubilang, pecat saja aku!"Â
"Kau! Dasar sekretaris bar-bar!"
"Bodo amat!"
Brak!
Ve keluar dari ruangan direktur dan menutup pintu dengan kasar.
*Satu hari sebelumnya.
"Ve gak mau, Bu," tolak gadis berambut sebahu dengan pakaian seperti anak laki-laki.
Ve Andara, gadis tomboy yang besar di panti asuhan Malaikat Kecil. Ia dibuang ke panti asuhan itu oleh ayah kandungnya sendiri. Karena sang ibu telah meninggal, ia harus mengalami pahitnya menjadi anak buangan.
"Tolong ibu, Nak. Kamu lihat 'kan? Astari telah kehilangan kedua kakinya. Seumur hidup, dia tidak akan bisa bekerja lagi. Kamu juga tahu, Astari mencari pekerjaan demi membantu keuangan panti asuhan kita. Apa kamu tega, melihat adik-adikmu kelaparan?"
Ve satu-satunya anak yang menolak untuk diadopsi oleh orang lain. Ia lebih memilih menjadi pembantu di panti asuhan itu. Namun, Nurlena tidak tega membiarkan anak berusia delapan tahun itu menjadi pembantu.
Nurlena akhirnya mengangkat gadis itu sebagai anak. Ia memiliki seorang putri yang usianya dua tahun lebih tua dari Ve. Mereka berdua sangat akrab dan terlihat seperti saudara kandung.
Kasih sayang Astari sebagai kakak angkat, memang sangat menyentuh hatinya. Kini, sang kakak terbaring di ranjang rawat rumah sakit akibat tertabrak sebuah mobil bus. Ve tidak suka bekerja di bawah perintah orang lain, karena itu ia membuka sebuah rumah makan kecil-kecilan.
"Tapi, Bu …. Ve tidak bisa berdandan seperti kakak. Seorang sekretaris itu harus berpakaian rapi, cantik, mana bisa berpakaian seperti ini," ucap Ve sambil menunjuk dirinya sendiri.
Ya, pakaian ala laki-laki itu sudah menjadi style-nya sejak kecil. Perbedaan kepribadian Ve dan Astari begitu jauh. Ve adalah gadis tomboy, suka balapan liar, dan pulang tengah malam, sedangkan Astari gadis feminin yang lemah lembut, anak rumahan, dan tidak pernah macam-macam.
"Itu bisa diatur. Nanti, ibu yang akan merias wajahmu. Ibu sudah menelepon pimpinan perusahaan dan bilang kalau Astari mengalami kecelakaan. Mereka tidak masalah untuk mengganti orang."
"Memangnya bisa begitu, Bu?"
"Bisa. Pemilik perusahaan itu sendiri yang memperbolehkan."
'Aneh? Apa ibu mengenal pemiliknya?'
"Ya sudah. Ve akan pergi bekerja besok," pungkasnya.Â
"Terima kasih, Sayang."
Ve tidak bisa membiarkan adik-adiknya kelaparan. Rumah makannya juga sepi karena kalah saing dengan resto fast food modern. Tidak ada yang bisa dilakukan olehnya selain mengikuti perintah Nurlena.
Di hari pertamanya bekerja, ia benar-benar kesulitan. Bagaimana tidak? Dia harus memakai rok mini yang terasa sangat menyiksa dirinya.
'Tidak nyaman memakai rok pendek seperti ini.' *
"Apa Anda ingin memecatnya, Pak?" tanya asisten pribadinya.
"Tidak usah. Dia sengaja menantang untuk dipecat, tapi aku tidak akan mengabulkan permintaannya. Aku akan membuat dia tidak tahan bekerja di sini dan keluar dengan sendirinya," jawab Andika Ozla.Â
***
Jam makan siang, semua staf kantor sudah pergi ke kantin perusahaan. Ve masih harus menunda niatnya menyantap makan siang, karena atasannya melarangnya beristirahat sebelum pekerjaannya selesai. Beberapa lembar berkas kontrak yang salah itu harus segera diganti dan diketik ulang.
"Aku tidak pernah belajar membuat proposal. Sekarang, harus melihat dan membuat hal seperti ini setiap hari," gerutu Ve di meja kerjanya.
"Apa kau yakin, masih bisa mengerjakan itu setiap hari? Kurasa, nanti sore pasti ada surat pengunduran diri di mejaku," cibir Andika dengan angkuh. Ia berlalu pergi dengan senyuman jahat.
"Hih! Rasanya ingin aku tumbuk mulut kasarnya itu supaya lebih halus," gerutu gadis itu kembali.
"Hei!"
"Astaga! Nana, kamu mengagetkan saja," ucap Ve sambil mengusap dadanya.Â
Nana teman yang baru dikenalnya tadi pagi. Gadis itu terlihat naif, ceplas-ceplos, tapi super baik. Ve sangat menyukainya sejak mereka bertemu tadi pagi.
"Mulut pak Andika kasar, perlu ditumbuk, sekalian mulutmu juga ditumbuk bareng," celetuk Nana.Â
"Maksud kamu, aku juga kasar gitu?"
"Yap. Di kantor ini, hanya kamu yang berani melawan perintahnya. Hebat, tapi hati-hati," ucap Nana memperingatkan.
"Hati-hati kenapa?"
"Hati-hati jatuh cinta, ha ha …." Gadis itu menjawab sambil berlari menuju kantin.
"Idih! Amit-amit deh. Heh, aku memang terbiasa bicara terus terang. Memangnya salah?"
Setelah jam makan siang, Nana membantu pekerjaan Ve. Ia mengajari gadis itu beberapa hal penting yang harus dilakukan seorang sekretaris. Selain mengetik proposal, masih ada banyak lagi pekerjaan bagi seorang sekretaris.
"Terima kasih, Na. Kau sangat baik, i love you, Nana," ucap Ve sambil merapikan proposal untuk rapat nanti sore. Ia membawa berkas-berkas itu ke ruangan Andika.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
"Permisi, Pak. Proposalnya sudah saya ganti. Silakan dilihat," ucap gadis itu sambil menyerahkan beberapa lembar berkas untuk dicek oleh atasannya.
"Hem. Ini sudah benar, tapi meminta orang lain mengerjakan tugasmu, itu tidak dibenarkan di kantor saya. Sebagai hukuman, kau harus lembur tanpa upah sampai jam sembilan malam."
"Hah?! Heh! Nana cuma mengajariku sebentar. Itu semua adalah pekerjaanku dan Nana yang membimbingku. Aku tidak mau lembur!"
"Tulis surat pengunduran diri kalau begitu," balas Andika dengan santai. Ia sengaja mempersulit pekerjaan Ve.
Ve menjejakkan kaki dengan kuat, menimbulkan suara yang menghentak keras. Baru memegang gagang pintu, Andika memanggilnya. Ia berbalik dan memasang senyum palsu.
"Tunggu! Buatkan aku kopi!"
"Baik, Pak," jawab Ve dengan senyum yang dipaksakan.
"Jangan menakutiku dengan senyuman jelekmu itu."
'Ya Tuhan! Boleh tidak, sekali saja saya membunuh orang? Walaupun masuk penjara gak apa-apa, deh.'
"Kenapa masih berdiri di situ? Sana, buatkan kopi!"
"Baik, Pak."
Ve pergi ke pantry. Tiba tiba terlintas ide untuk mengerjai atasannya. Ia menambahkan garam dan membawanya ke ruangan Andika.
"Kopi Anda, Pak."
"Taruh di meja," ucap Andika. Menaruh pulpen di meja lalu menyesap kopinya. "Ve!"
Gadis itu tertawa kencang. Melihat pandangan aneh para staf, ia segera menutup mulutnya. Kembali ke balik meja kerjanya, tanpa peduli dengan amukan laki-laki itu.
Hari pertama kerja, penuh drama. Drama dua orang yang seperti kucing dan anjing. Saling menantang dan bertahan untuk melihat siapa pemenang dari peperangan aneh itu.
Ve akhirnya memilih kerja lembur daripada harus menulis surat pengunduran diri. Karena itu sama saja dengan ia menyerah dan kalah. Lampu kantor satu demi satu dipadamkan oleh satpam.
Ia melirik jam dinding yang menunjukkan jam sembilan lewat sepuluh menit. Ve mengambil tasnya dan berjalan keluar. Sudah tidak ada angkot yang bisa dinaiki gadis itu dan akhirnya pulang dengan berjalan kaki.
*BERSAMBUNG*