Chereads / Billionaire Looking for Wife / Chapter 6 - Mengetahui asal-usul Andika

Chapter 6 - Mengetahui asal-usul Andika

Andika memarkir motornya di halaman panti. Ia membuka helm dan menaruhnya di atas kaca spion. Sebelum mengetuk pintu, laki-laki menarik napas dalam-dalam untuk meredakan rasa gugupnya. 

"Fuuh! Ekhem."

Tok! Tok! Tok!

"Siapa?" tanya Astari dari dalam.

"Andika," sahut laki-laki itu singkat.

'Andika!' Gadis itu memekik senang. Astari pergi ke kamarnya untuk merapikan riasan di wajah, lalu bergegas membuka pintu. Tidak mau membuat laki-laki pujaannya menunggu lama.

"Selamat pagi," ucap Andika saat Astari membuka pintu. Ia memperhatikan gadis yang duduk di kursi roda itu. "Kak Astari … bagaimana keadaan, Kakak?"

"Seperti yang kamu lihat. Kedua kaki kakak diamputasi," jawab Astari sambil tersenyum canggung. Ia merasa malu bertemu Andika dalam keadaan cacat seperti itu, tapi ia sangat merindukannya.

"Maaf, Dika belum sempat menjenguk. Ibu … ada?"

"Tidak apa-apa. Ibu ada di dalam. Masuklah," jawab Astari sambil memersilakan Andika masuk.

"Terima kasih."

Andika duduk menunggu Astari memanggil Nurlena, ibu pemilik panti asuhan itu. Dia sudah memberikan kasih sayang kepadanya sampai ia lulus SMA. Ia sangat merindukan aroma akrab dari pengagum ruangan alami yang dihasilkan dari bunga segar di sudut ruang tamu.

"Ah, aromanya masih sama seperti dulu," gumam Andika sambil memejamkan mata.

"Semua yang ada di rumah ini masih sama, kecuali kamu." Nurlena keluar dari arah dapur dan menghampiri Andika.

Kedua matanya terbuka, sudut bibirnya terangkat, dan rasa rindunya seketika lebur. Andika bangun, lalu memeluk wanita paruh baya itu. Di belakangnya, Astari datang dengan membawa dua cangkir teh di pangkuannya.

Andika segera mengambil baki itu dari Astari. "Biar Dika saja," katanya. Ia menaruh baki itu di atas meja, lalu mendorong kursi roda ke dekat sofa.

Matanya berkeliling mencari keberadaan anak-anak panti dan juga Ve, gadis yang membuat Andika sangat bahagia hari ini. Namun, selain mereka bertiga, tidak ada siapa-siapa lagi. Laki-laki itu penasaran dan bertanya kepada Nurlena.

"Kemana, Ve dan anak-anak panti lainnya, Bu?"

"Ke taman. Mereka selalu bermain bersama Ve di taman saat Ve libur kerja," jawab Nurlena.

"Oh." Andika sedikit kecewa. Sudah begitu bersemangat, sampai ngebut di jalan raya hanya ingin bertemu Ve, tapi gadis itu tidak ada di rumah.

"Kamu ingin bertemu mereka? Kakak bisa antar kamu ke sana," ucap Astari menawarkan diri untuk mengantarnya. 

"Benarkah?" tanya Andika dengan wajah bersinar. Akhirnya, ia akan bertemu dengan gadis itu. Gadis yang sudah menjungkirbalikkan dunianya yang sunyi dan dingin.

Ia mendorong kursi roda dan Astari yang menunjukkan jalan untuknya. Sepasang suami-istri yang berpapasan dengan mereka sedikit bergumam tentang Andika. Astari mendengarkannya sambil tersenyum malu-malu.

"Suaminya sangat setia, ya. Dia tidak meninggalkan istrinya meski keadaannya seperti itu. Bahkan, mau mengajak istrinya jalan-jalan di taman seperti ini," ucap sang wanita.

Wanita itu bergumam, tapi masih bisa terdengar jelas karena Astari dan Andika belum jauh dari mereka. Gadis itu membayangkan, jika saja ia benar-benar bisa menikah dengan Andika, ia pasti akan sangat bahagia. Namun, sampai saat ini, Andika masih saja menganggapnya sebagai seorang kakak. Padahal, usia mereka tidak berbeda jauh hanya selisih 2 bulan saja.

Andika memanggilnya kakak, karena Astari adalah anak pemilik panti. Laki-laki itu sudah menganggap Nurlena sebagai ibunya dan Astari adalah kakaknya. Ia tidak pernah tahu jika gadis itu mengaguminya sejak lama.

"Di sebelah sana!" tunjuk Astari saat mereka tiba di taman. Jemari lentik itu menunjuk Ve yang sedang duduk di sebuah ayunan sambil menjaga anak-anak.

Bibir laki-laki itu menyunggingkan senyum manis saat melihat Ve tertawa renyah. Melihat anak-anak yang bermain perosotan dan terjatuh. Ia memperhatikan dandanan gadis itu. Sangat berbeda dengan yang biasa ditemuinya di kantor.

Ve yang berada di hadapannya, memakai baju seperti laki-laki, bahkan memakai topi yang lebih cocok dipakai laki-laki.

"Ve!" panggil Astari.

Gadis itu menoleh dan melambaikan tangan kepada mereka.

"Sini, Kak," sahut Ve. Ia memicingkan mata, memperhatikan laki-laki yang sedang mendorong kursi roda Astari. Andika? Ia sedikit tidak percaya dengan pandangannya.

Seorang direktur mall yang sangat sibuk, bisa berjalan-jalan santai di taman. Ve lebih terkejut lagi saat melihatnya mendorong kursi roda kakaknya. Sampai saat ini, ia masih belum tahu jika Andika adalah anak panti asuhan yang sama dengannya.

"Selamat pagi, Ve," sapa Andika ramah. Kesan dingin tidak terlihat di wajah laki-laki itu. Semakin ramah dirinya kepada Ve, semakin gadis itu merasa aneh.

"Selamat pagi, Pak. Anda ada di sini?" Ve menjawab sapaan Andika sambil mengutarakan pertanyaan hatinya. Dari mana sang Bos itu mengenal Astari? Gadis itu melemparkan pandangannya kepada mereka bergantian.

"Kamu belum tahu, Ve? Dia ini anak angkat mama juga, sama seperti kamu. Waktu kecil, Dika juga tidak mau diadopsi dan selalu bersembunyi sepertimu."

Astari bercerita tentang laki-laki itu. Sang pemeran utama cerita itu hanya tersenyum mendengarkan ceritanya. Namun, ada satu hati yang merasa tidak nyaman dengan keakraban mereka.

'Dika? Kak Astari begitu akrab memanggilnya. Saat bercerita, wajahnya dipenuhi rona merah, dan senyum kebahagiaan. Apakah, kak Astari menyukai Andika? Kenapa hatiku sedikit tidak rela?'

"Hei!" Astari menepuk lengan Be yang sedang melamun.

"Hah." Ve terperanjat dan bergumam kecil.

"Kamu mendengarkan cerita kakak tidak, sih?" Astari bertanya dengan wajah cemberut. Ia bercerita panjang lebar, tapi Ve justru melamun, dan tidak mendengarkan ceritanya.

"Dengar, kok, Kak. Ve dengar," jawab Ve cepat. Melihat kakaknya cemberut adalah salah satu kelemahannya. Ia tidak mau melihat wajah gadis bak peri kecil itu berkerut. Senyuman Astari merupakan penyemangat hidupnya.

"Kamu jadi sering melamun, Ve." Andika tiba-tiba berujar. 

"Hah? Benarkah itu, Dika? Dia sering melamun?" Astari bertanya kepada Andika dengan kedua mata membulat. Pasalnya, gadis itu selalu ceria di matanya. Ia sangat jarang melihat Ve melamun atau bersedih.

"Bohong, Kak. Jangan percaya pada pak Andika."

"Eh, aku serius, loh. Di kantor, aku sering melihatmu melamun," goda Andika dengan senyuman nakalnya.

Interaksi mereka tidak terlihat seperti seorang atasan dan bawahan. Astari mengerucutkan bibirnya, tidak suka dengan kedekatan Ve dan Andika. Ia menarik napas panjang lalu menghembuskan pelan.

Astari meninggalkan mereka dan menghampiri anak-anak. Menemani mereka bermain dengan fisik yang terbatas. Dulu, ia dan Ve selalu bermain kejar-kejaran bersama mereka.

Kini, gadis itu merasa sedikit sedih. Dengan kursi roda itu, ia tidak bisa berlari bebas. Terlebih lagi, saat ia mengingat kedua kakinya sudah tidak ada, kedua matanya pun berkaca-kaca. Ia telah menjadi gadis yang cacat untuk seumur hidupnya. Kesedihan gadis itu tak sengaja tertangkap oleh mata indah milik Ve.

*BERSAMBUNG*