Andika duduk melamun di ruangannya. Setelah berjumpa dengan ibu panti, perasaannya sedikit kacau. Di satu sisi, ia selalu dibuat kesal oleh Ve, dan ingin gadis itu keluar. Di sisi lain, amanat ibu panti membuatnya tidak sanggup menolak.
("Ibu titip Ve sama kamu, Dika. Dia mungkin sedikit kasar saat bicara, tapi dia sangat baik.")
"Bukan sedikit kasar, tapi sangat kasar," gumam Andika.
"Sudah waktunya rapat, Pak."
"Hem. Kita pergi sekarang," sahut Andika sambil berdiri dan mengancingkan jasnya.
***
Ve melihat sekeliling, mencari bosnya. Pekerjaan hari ini sudah selesai, tugasnya pun sudah selesai. Ia ingin berpamitan untuk pulang.
"Kemana, sih, bos darah tinggi itu?"
Andika melihat wanita itu dari ruangannya. Kaca di ruangan direktur itu memiliki bagian sisi yang tidak terlihat. Orang dari luar tidak akan bisa melihatnya, tapi dari dalam keluar bisa melihat dengan jelas.
"Suruh dia pulang, Jay!"
"Baik, Pak."
Jay keluar menemui Ve dan memerintahkan gadis itu pulang. Andika merasa sedikit simpatik setelah tahu asal usul gadis itu. Ibu panti mengatakan semua hal mengenainya.
"Terima kasih, Pak Jay. Em … ngomong-ngomong, dia kemana?"
"Nona Ve, Anda harus bersikap sedikit lebih sopan saat menanyakan direktur."
Jay bertanya tanpa ekspresi. Dingin seperti gunung es. Ve berbalik pergi tanpa menunggu jawaban laki-laki itu.
'Bos dan asisten, sama-sama menyebalkan.'
Ve pergi ke kamar mandi sebelum pulang. Sangat tidak nyaman memakai pakaian itu. Mulai hari ini, ia membawa celana jeans dan t-shirt longgar di dalam tasnya.
"Ah, lega rasanya. Menyesakkan memakai pakaian press body seperti ini. Ck …. Tidak tahu kenapa, para gadis itu betah memakai pakaian seperti ini selama dua puluh empat jam penuh."
Setelah mengganti baju, ia keluar dengan memakai topi, memasukkan rambutnya di antara sela-sela tali belakang topi. Itulah style Ve, seperti itulah dirinya yang sebenarnya. Gadis itu keluar dengan langkah panjang dan tergesa-gesa.
'Semoga saja tidak ketahuan sama bos rese itu.'
Gadis itu naik bus dari halte di seberang kantor. Ia ingin segera pulang karena hari ini ada salah satu anak yang berulang tahun di panti. Di jalan, ia membeli sebuah boneka dan kue tart.
Ve tidak menyadari, Andika mengikutinya dengan menggunakan mobil milik Jay. Ia mengemudikan mobilnya sendiri, meminta asistennya pulang menggunakan mobil miliknya. Ia terus mengikuti gadis itu sampai tiba di panti.
'Dia gadis yang unik.'
Andika menepikan mobil di seberang jalan depan panti. Pandangannya terus tertuju pada gadis itu. Melihat anak-anak yang antusias menyambut kedatangannya.
"Tante!" Anak-anak itu berlari menghampiri Ve yang baru tiba di depan gerbang.
"Halo, anak-anak," sahut Ve sambil berjongkok dan membuka tangan lebar-lebar. Mereka segera berkerumun, mengelilingi Ve, dan memeluknya.
"Tante bawa apa?" tanya seorang gadis cilik berusia kurang lebih empat tahun.
"Coba tebak! Apa yang tante bawa untuk kalian?"
Mereka menjawab satu persatu. Namun, tidak ada satu pun yang menjawab dengan benar. Ve berdiri dan membuka tasnya.
"Semua tebakan kalian salah. Tante bawa coklat untuk kalian, boneka untuk hadiah ulang tahun Ana, dan kue tart …." Ve celingukan mencari kuenya yang ternyata tertinggal di dalam angkot. "Maaf, Ana, kuenya tertinggal di dalam angkot."
"Tante, bohong! Tante, pasti tidak membelikan kue untuk Ana."
"An … Ana!" Ve berlari mengejar gadis kecil itu. Ia lupa mengambil kuenya saat turun dari angkot, tapi Ana berpikir Ve memang sengaja tidak mau membelikan kue untuk untuk gadis kecil itu.
Andika menelepon toko kue dan memesan dua buah kue tart ukuran besar. Setengah jam kemudian, kue itu diantar oleh kurir ke panti. Laki-laki itu tersenyum mendengar suara tawa mereka semua.
Tidak terasa, malam telah beranjak menggantikan siang. Matahari terik berganti cahaya rembulan berbentuk bulan sabit. Andika menengadah, melihat bintang, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Sudah malam ternyata," gumam Andika. Ia menyalakan mesin dan melaju pulang ke rumah besarnya.
Rumah besarnya terasa sangat sepi. Ia rindu suara gelak tawa anak-anak panti, rindu kehangatan, dan kebersamaan di sana. Ia yang seorang yatim piatu, tinggal di rumah besar sendirian, rasanya benar-benar sunyi.
***
"Selamat malam, Tuan. Mau makan malam sekarang atau nanti?" tanya seorang pelayan yang menyambut Andika.
"Saya tidak lapar. Tidak perlu menyiapkan makan malam, tolong buatkan kopi saja," jawab Andika sambil menarik dasinya.
"Baik, Tuan."
Pelayan itu pergi setelah menaruh tas Andika di kamar. Laki-laki itu ingin berendam dan merilekskan otot-otot yang terasa kaku setelah duduk berjam-jam di dalam mobil. Kebenciannya pada gadis itu tiba-tiba melebur.
Ibu panti bercerita padanya, Ve dibuang oleh ayah kandungnya sendiri. Tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke jenjang kuliah karena keterbatasan biaya. Sebenarnya, Nurlena menyanggupi untuk membiayai kuliah Astari dan Ve. Namun, gadis itu bersikeras berhenti setelah lulus SMA.
Nurlena tahu, gadis itu tidak mau membuat beban keuangan mereka semakin terpuruk. Sayangnya, setelah lulus kuliah, Astari justru tidak bisa bekerja untuk membantu keuangan panti. Takdir memang tidak bisa diprediksi.
Ve yang hanya lulusan SMA, akhirnya menggantikan posisi Astari, dan bekerja sebagai seorang sekretaris. Mungkin itu sudah jalan untuknya. Bersyukur, karena pemilik perusahaan itu adalah anak angkat Nurlena.
'Setidaknya, aku tidak dibuang oleh orang tuaku seperti Ve. Aku takjub dengan ketabahannya menghadapi hal itu. Dia masih bisa tersenyum, meski hidupnya menyedihkan.'
Andika bangun dan membilas tubuhnya di bawah kran shower. Setelah mengganti handuk kimono dengan piyama tidur, ia pergi ke ruang baca. Secangkir kopi sudah tersaji di atas meja.
Ia benar-benar sibuk. Di rumah, ia tetap masih bekerja. Memeriksa grafik pemasaran harian adalah kegiatannya sebelum tidur. Malam ini, ia tidak ingin berkutat dengan grafik itu.
Andika mengambil ponsel, memutar lagu slow, dan berdiri di depan rak buku. Ia mengambil sebuah buku, lalu memakai kacamata beningnya. Duduk bersandar di kursi gantung dan membaca buku tentang objek wisata.
"Aku ingin membawa mereka pergi ke salah satu tempat ini. Sayang sekali, aku sangat sibuk beberapa bulan ini."
Andika menaruh buku itu di atas meja bundar di samping kursi gantung. Menyesap kopi susu dengan sedikit gula dan cream. Entah kenapa? Tiba-tiba bayangan Ve yang sedang dikerumuni anak-anak terlintas di pelupuk mata.
Senyuman tipis mengembang di bibir Andika. Ia berdiri dan berjalan ke balkon kamarnya. Selama ini ia larut dalam mengelola bisnisnya agar berkembang, tidak pernah terlintas untuk memikirkan hal lain.
Ini pertama kalinya, ia memikirkan hal lain selain pekerjaannya. Setelah mengenal gadis yang berperilaku bar-bar saat bicara dengannya. Kenapa hatinya justru terusik oleh gadis semacam itu? Tidak ada yang tahu jawabannya, termasuk dirinya sendiri.
*BERSAMBUNG*