Sebulan berlalu. Hari ini, Ve akan menerima gaji pertamanya. Menurut beberapa orang di ruang sekretaris, khusus sekretaris pribadi Andika, laki-laki itu sendiri yang memberikan gajinya.
Tidak pernah ada yang tahu, berapa nominal gaji sekretaris Andika. Sekretaris terdahulu, dilarang memberitahu berapa gaji mereka pada karyawan lainnya. Entah karena apa?
"Aku sudah mengambil gajiku," ujar Nana sambil menunjukkan amplop putih di tangannya.
"Aku belum tahu, nih, Na. Selama ini 'kan, aku selalu membuatnya kesal. Rasanya sangat menakutkan meminta gaji langsung padanya. Hah," desah Ve sambil menopang dagunya dengan telapak tangan.
"Hei, Ve!"
"Ehm."
"Selama ini tidak ada yang tahu berapa gaji sekretaris pribadi Pak Andika. Nanti, aku ingin tahu berapa gajimu. Boleh, ya?"
"Kita lihat saja nanti," jawab Ve dengan lesu.
Di ruangannya, Andika baru saja menutup sambungan telepon. Ia mengambil amplop berwarna coklat dan memasukkan ke dalam saku jas. Setelah semua kabinet dikunci, ia duduk bersandar di sofa sambil memijat pelipisnya.
"Panggilkan Ve," perintah Andika kepada Jay.
Jay keluar melaksanakan perintah. Tidak berselang lama, Ve mengetuk pintu. Andika menegakkan badannya.
"Masuk!"
Gadis itu melangkah takut-takut. Aneh? Biasanya, ia selalu berani melawan Andika. Kenapa saat ingin mengambil gaji, ia justru takut?
"Anda memanggil saya, Pak?"
"Hem. Temani aku makan malam," ucap Andika to the point.
"Hah? Makan malam?" Ve menganga mendengar ajakan laki-laki itu. "Maaf, Pak. Saya tidak berminat pergi makan malam bersama Anda. Cari orang lain saja," tolaknya dengan tegas.
"Untuk apa saya punya sekretaris, kalau untuk pergi ke perjamuan makan malam bisnis saja, aku … harus mencari orang lain?" Andika berusaha menahan emosinya. Semua kata-kata yang keluar dari bibirnya, sebisa mungkin diusahakan agar tidak menyinggung gadis itu.
"Makan malam bisnis, ya? Hehe, saya pikir~"
"Kamu pikir, saya kurang kerjaan, mengajakmu makan malam romantis berdua, begitu?" Andika memotong ucapan Ve.
"Tidak. Siapa yang berpikir begitu," ujarnya dengan wajah tertunduk malu. Sudah menolak dengan tegas, ternyata salah paham. Sungguh memalukan bagi gadis itu.
"Ambil tasmu! Kita pergi sekarang," perintah Andika sambil bangun dari sofa.
"Sekarang? Tapi, saya tidak memakai gaun, Pak," ucap Ve. Menemani bosnya makan malam, mana mungkin dengan baju safari kantor seperti itu.
"Kita beli di jalan."
Ve pun pergi mengambil tasnya. Ia pergi berdua ke acara perjamuan. Sementara Jay sudah pulang ke apartemen.
Jam kantor memang sudah berakhir. Hanya beberapa bagian yang menggunakan sistem kerja dua shift, berakhir saat mall itu tutup jam sebelas malam. Bagian yang bekerja di ruang kontrol lift, CCTV, dan pihak keamanan gedung, mereka bekerja dua shift.
***
Ve keluar dari kamar pas. Sebuah gaun merah tanpa lengan membalut tubuh gadis itu. Gaun itu sangat pas di tubuhnya seakan sengaja dirancang dan dijahit untuknya.
Wajah Andika bersemu merah saat melihat gadis itu keluar. Tidak bisa dipungkiri, ia sedikit tertarik dengan kecantikan alami Ve. Hanya riasan make up tipis, tapi sudah membuat gadis itu terlihat sangat cantik dan elegan.
"Ti-tidak cocok, ya?" tanya Ve dengan canggung.
"Gadis bar-bar sepertimu mana cocok memakai gaun seperti itu," jawab Andika sambil menahan senyum.
"Kau! Aku tidak mau menemanimu kalau begitu. Aku ganti lagi bajunya," ucap Ve. Ia berbalik hendak masuk kembali ke kamar pas.
"Tidak hanya cocok. Kamu sangat cantik memakai gaun itu," ujar Andika.
Langkah Ve terhenti. Andika menghampirinya, menyentuh kedua pundak gadis itu, lalu membalik tubuhnya. Pandangan mereka bertemu.
Ada desiran halus yang menjalari hati mereka. Entah perasaan apa itu? Keduanya terdiam cukup lama dengan perasaan yang sama tak menentu.
"Bagaimana, Pak? Mau ambil yang ini atau mau ganti yang lain?" Suara pelayan butik itu menyadarkan mereka.
"Hah? Oh, yang ini saja." Andika memberikan black card kepada pelayan.
"Ekhem! Tangan Anda, Pak," ucap Ve mengingatkan.
"Ehm … maaf." Andika menarik tangannya dari pundak Ve.
Mereka pergi setelah selesai membayar. Ini pertama kalinya Ve menghadiri jamuan makan malam bisnis bersama bosnya. Sudah tugasnya untuk menemani Andika ke acara-acara penting.
***
Jamuan makan malam selesai. Andika mengantarkan gadis itu pulang. Dalam perjalanan, laki-laki itu banyak bertanya.
"Terima kasih sudah menemaniku malam ini," ujar Andika memulai percakapan. Saling berdiam di dalam mobil tanpa suara, membuat suasana terasa lebih canggung.
"Itu sudah tugas saya, Pak."
Mereka mulai berbincang untuk menghilangkan kesunyian dalam perjalanan. Panti masih sangat jauh, itu cukup untuk mereka saling mengenal lebih dekat. Andika selalu dingin dan kasar di kantor, tapi di luar kantor, ia pribadi yang hangat.
"Kamu suka makanan apa?"
"Kenapa? Bapak, ingin mentraktir saya makan?"
"Aku takut dompetku terkuras habis kalau mentraktir gadis sepertimu," jawab Andika berseloroh.
"Sepertiku? Memang aku seperti apa? Seperti anak gorila yang menghabiskan satu tandan pisang begitu," cibir Ve sambil mengerucutkan bibirnya.
"Ha … ha …. Lebih mirip ibu gorila," celetuk laki-laki itu sambil tertawa geli.
"Enak saja! Aku ini gadis paling cantik di rumah," balas Ve.
"Benar, kau, sangat cantik. Jadi, Gadis cantik, aku bertanya serius. Apa makanan kesukaanmu?"
"Aku suka makan makanan pedas. Asalkan terasa pedas, aku pasti suka," jawab Ve sambil membayangkan mie ayam bakso kesukaannya.
"Cabe?"
"Ya, tidak makan cabe juga. Dasar direktur rese."
"Gadis bar-bar."
"Darah tinggi."
"Bar-bar." Andika terus mengejek gadis itu bar-bar.
"Berhenti! Aku mau turun. Aku benci sama kamu!"
"Tapi, aku suka sama kamu."
Ve terdiam. "A-apa? Bapak, bilang apa tadi?"
"Tidak ada siaran ulang. Cepat turun sana! Aku mau pulang," ucap Andika. Ia tidak turun untuk membukakan pintu. Canggung sekali menatap Ve saat ini.
Gadis itu turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam gerbang. Pikirannya melayang, mengingat ucapan laki-laki itu. Apa dia tidak salah dengar? Atasannya mengatakan menyukainya.
Ve menggelengkan kepalanya dengan cepat beberapa kali. Menyadarkan pikirannya yang menurutnya salah. Tidak mungkin Andika menyukai gadis seperti dirinya.
Gadis-gadis yang memperebutkan laki-laki itu sangat banyak. Bahkan, artis cantik papan atas yang menjadi ambassador mall Ozla pun terus mengejar cinta sang presdir. Dibandingkan mereka semua, Ve merasa dirinya bukanlah apa-apa.
Derajat sosial mereka sangat berbeda jauh. Ve seorang gadis miskin yang tinggal di panti, sedangkan Andika seorang presiden direktur mall terbesar, pengusaha dengan penghasilan milyaran.
"Dia pasti hanya menyukai pekerjaanku. Jangan berpikir berlebihan, Ve. Hufh …. Sebaiknya aku cepat tidur. Besok masih harus kerja."
Ve masuk ke dalam selimut, berbaring miring sambil memeluk bantal guling. Tak lama, kantuk menyerang, dan gadis itu pun tertidur pulas. Mimpi indah siap menyambutnya dengan ceria.
*BERSAMBUNG*