Tok! Tok! Tok!
Ve menggeliat di balik selimut. Cahaya surya sudah menerobos melalui tirai tipis yang menutup jendela. Tangannya meraba-raba nakas, mencari ponselnya untuk melihat jam.
"Hah! Gawat! Kenapa bisa kesiangan?" Ve bergegas turun dari ranjang, tapi selimut itu membelit kakinya.
Bruk!
"Aw …. Aduh! Pake jatuh segala," gerutu Ve kesal.
"Ve! Kamu sudah bangun?"
Suara Astari di depan pintu kamar, membuat Ve memilih membuka pintu terlebih dulu sebelum pergi mandi. Astari duduk di kursi roda sambil tersenyum menatap wajah Ve. Riasan di wajahnya belum dibersihkan dan jadi berantakan setalah bangun tidur.
"Kenapa, Kakak, tersenyum?" Ve merasa aneh dengan dirinya. Kalau tidak, kakaknya itu tidak mungkin mentertawakan dirinya seperti sekarang. Ia pergi menuju lemari dan menatap wajahnya di cermin. Maskara di bulu matanya luntur, sehingga kedua kelopak mata gadis itu berwarna hitam melingkar seperti mata panda.
"Kamu pasti sangat lelah, sampai-sampai, kamu tidak sempat membersihkan wajah. Sini! Biar kakak bantu bersihkan," ucap Astari sambil mendorong roda kursi. Ia masuk dan menyuruh Ve duduk di depan meja rias.
"Ini sudah siang, Kak. Ve harus mandi dan bersiap pergi ke kantor," kata Ve dengan halus. Ia menolak bantuan Astari karena sedang terburu-buru.
"Kantor mana yang mau kau tuju? Ini tanggal merah."
"Hah? Tanggal merah, ya. Ve belum melihat kalender," ucap Ve canggung. Ia selalu malas untuk pergi ke kantor dulu, tapi entah sejak kapan dimulainya, ia selalu semangat saat pergi ke kantor.
"Apakah di sana sangat menyenangkan? Kakak lihat, kamu sudah tidak mengeluh seperti pertama kali bekerja," goda Astari dengan kedua sudut bibir terangkat. Senyuman teduh dan manis itu masih sama, meski keadaannya sekarang lumpuh.
"Iya, Kak. Ve mulai betah bekerja di sana. Ve dapat teman-reman baru yang ramah." Ve membayangkan wajah Nana dan wajah teman sekantor yang lainnya.
"Kalau … Andika?" tanya Astari dengan hati-hati. Ia pernah mendengar Ve mengeluh tentang laki-laki itu pada ibunya.
Sebenarnya, ia memiliki perasaan untuk Andika, tapi hanya memendamnya dalam hati. Saat menerima panggilan untuk bekerja sebagai sekretaris laki-laki itu, ia terlalu senang. Sampai-sampai, ia tidak memperhatikan jalan, dan peristiwa kecelakaan itu pun terjadi.
"Dia … biasa saja. Kadang-kadang masih suka cari gara-gara sama Ve, tapi Kakak pasti tahu, 'kan …."
"Ya, ya, ya. Siapa yang berani melawan Ve." Astari melanjutkan ucapan Ve lalu mereka tertawa lebar. "Duduklah! Kakak bantu bersihkan make up, nanti baru mandi."
Ve duduk di depan meja rias. Setelah kursus kilat selama seminggu kepada ibu angkatnya, gadis itu sudah bisa merias wajahnya sendiri. Saat di rumah, ia lebih nyaman tanpa make up.
"Kosmetik harus dihapus dan dibersihkan sebelum tidur. Kalau tidak, nanti kulit wajahmu rusak. Sayang 'kan, adik kakak yang cantik ini nanti jadi jelek," goda Astari sambil menuangkan micellar di atas kapas. Setelah dirasa cukup, ia menghapus kosmetik di wajah Ve.
"Tidak apa-apa. Ve juga tidak peduli. Menjadi wanita cantik itu menyedihkan," celetuk Ve. Saat sadar dengan perkataannya, ia segera menutup rapat mulutnya. "Maaf, Kak, bukan maksud Ve …."
"Kakak tahu. Apa semua gadis cantik selalu menderita dan menyedihkan?"
"Em … Ve bilang seperti itu, karena teman-teman di kantor seperti itu, Kak. Ada yang disakiti suaminya, ada yang diselingkuhi pacar, disiksa keluarganya sendiri. Hah, Ve kasihan sama mereka," desah Gadis itu.
"Benar. Jadi, lebih baik menjadi gadis manis seperti adikku ini. Semoga perjalanan hidupmu, semanis wajahmu," ucap Astari sambil membuka kedua tangannya.
"Terima kasih, Kakak. Ve harap, Kakak juga bisa hidup bahagia selamanya." Ve berbalik dan memeluk Astari di kursi roda. Ia lalu mendorong kursi roda itu ke ruang makan, setelah mengantar kakaknya ke ruang makan, ia pergi ke kamar mandi.
***
Andika berenang setelah bangun tidur. Ia wajib berolahraga setiap hari libur. Minimal seminggu sekali, ia pergi ke gym untuk berolahraga demi menjaga penampilan. Selain itu, ia juga mendapat manfaat kesehatan dengan rajin berolahraga.
Setelah berlari di atas mesin treadmill, ia melanjutkan dengan berenang. Di rumah itu, ia hanya memiliki seorang pembantu. Sengaja memilih wanita paruh baya, karena ia tidak suka melihat pembantu wanita yang masih muda.
Setelah satu jam di dalam kolam renang, ia pun naik. Tubuh dengan ABS sempurna itu terlihat menggoda jika dipandang. Tetesan air yang mengucur dari rambut sampai ke perutnya, menambah seksi penampilan laki-laki itu.
Dulu, Andika pernah memiliki enam orang pembantu, termasuk pembantunya yang sekarang. Setiap pagi, mereka selalu membersihkan kaca, halaman, dan menyapu. Namun, mereka tidak benar-benar bekerja melainkan mengintip laki-laki itu berenang.
Tatapan mata gadis-gadis itu seperti singa betina yang menemukan mangsa. Saliva mengalir tanpa mereka sadari, pandangan mereka hanya tertuju ke tubuh Andika bak melihat daging segar. Laki-laki itu merasa jijik melihat mereka dan akhirnya memecat semuanya, kecuali pembantu yang masih bekerja sampai saat ini.
"Tuan mau sarapan apa hari ini?" tanya Odah, wanita berusia empat puluh lima tahun yang menjadi pembantu di rumah Andika.
"Siapkan sereal dan susu low fat," jawab Andika sambil duduk di tepi kolam. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna putih. Ia melakukan olah napas beberapa kali, lalu berdiri.
Sebelum sarapan, Andika membersihkan tubuhnya di kamar. Tiba-tiba ia tersenyum. Sekelebat ingatan tentang gadis bernama Ve, membuat laki-laki itu ingin menemuinya.
"Dia sedang apa, ya?" Andika bergumam sambil mencari ponselnya.
Andika mengambil ponsel dan menghubungi nomor gadis itu. Namun, Ve sedang sarapan dan mengabaikan suara ponsel yang berdering. Ia mencoba sampai tiga kali dan hasilnya tetap tidak diangkat.
"Lebih baik langsung pergi ke panti saja," gumamnya sambil menyambar jaket hitam di dalam lemari. Saat bepergian sendiri di hari libur, ia lebih suka memakai motor sport. Ia memiliki satu unit sepeda motor sport berwarna hitam dan merah di bagian tangki bensin.
Seusai menghabiskan sarapannya, ia pun pergi menuju panti menggunakan motornya. Sepanjang jalan, tak hentinya ia mengulum senyum tipis di balik kaca helm. Andika tidak pernah merasa seantusias ini saat ia pergi ke panti.
Sudah lama, ia tidak menikmati waktunya sendiri. Setiap hari libur, ia menggunakannya untuk berdiskusi santai dengan Jay Pamungkas, asisten sekaligus sahabatnya. Namun, liburan kali ini berbeda.
Ia tidak mengganggu hari libur Jay dengan menyuruh laki-laki itu menemaninya berdiskusi. Bisa dibilang, tidak hanya Andika yang sedang benar-benar menikmati hari libur, tapi Jay juga ikut bersantai, menikmati waktu libur. Bahkan, perjalanan yang cukup jauh sama sekali tidak terasa olehnya.
*BERSAMBUNG*