Dari panti asuhan menuju kantor memerlukan waktu sekitar tiga puluh menit dan dua kali naik angkutan umum. Dari panti, Ve naik angkutan kota sampai ke perempatan lampu merah taman bermain. Setelah turun dari angkutan kota, gadis itu masih harus berdesakan di dalam bus.
Di atas jam sembilan malam, sudah tidak ada lagi angkutan kota yang lewat. Gara-gara disuruh lembur, kemarin malam Ve harus jalan kaki dari lampu merah sampai ke panti. Gadis itu semakin membenci Andika. Ia bersumpah di dalam hati, ia akan membalas dendam pada laki-laki itu.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
Ve masuk dengan langkah terpincang-pincang. Ia yang tidak pernah memakai sepatu hak tinggi, semalam harus berjalan jauh menggunakan sepatu itu. Kakinya lecet, juga terasa sakit di bagian betis.
"Kenapa jalannya seperti itu? Oh, aku tahu. Kamu, pasti habis bermalam dengan pacarmu," ejek Andika dengan tatapan sinis.
Ve yang sedang menahan sakit tidak menanggapi ejekan atasannya, meski hatinya sangat geram. Bukannya diam, Andika semakin semangat mengejek gadis itu karena Ve diam saja. Laki-laki itu pikir, Ve mengiakan tuduhannya.
"Ada perintah apa?"
"Kenapa tidak menjawab? Yang aku katakan tadi itu, benar 'kan," ucap Andika dengan pandangan jijik.
"Kalau tidak ada perintah, aku keluar." Ve berbalik pergi. Namun, langkahnya dihentikan oleh laki-laki itu.
"Aku belum selesai bicara. Kau berani pergi seperti itu, tidak takut dipecat?" tanya Andika dengan suara lantang.
Ve berbalik, melotot tajam dengan kedua tangan mengepal, dan rahang mengeras. Tidak hanya menghina, tapi juga mengancam memecatnya. Gadis itu tidak merasa takut.
"Aku akan menunggu di sini. Cepat tulis surat pemecatan untukku!" Ve menantang sambil berkacak pinggang.
'Sial! Aku lupa sedang bertaruh dengan sekretaris bar-bar ini.'
Keduanya terdiam. Asisten pribadi Andika yang sejak tadi berdiri, tidak dianggap sama sekali oleh mereka. Seakan di ruangan itu hanya mereka berdua.
Ve bahkan berani menarik lengan kemeja panjangnya seperti seorang preman yang siap berkelahi dengan musuhnya. Tindakannya itu membuat dua kancing kemejanya yang longgar itu terlepas. Jay, sang asisten itu segera berbalik membelakangi gadis itu.
Sementara gadis itu sendiri tidak menyadarinya. Ia masih begitu tenang berdiri menantang Andika. Kemudian, Ve merasa aneh saat melihat wajah laki-laki itu bersemu merah.
Andika menunjuk dada gadis itu dan seketika terdengar teriakan nyaring dari Ve. Jay dan sang atasan menahan tawa. Gadis itu membalikkan badan dan mengancingkan kemejanya kembali lalu keluar dari ruangan direktur.
"Ha … ha …." Tawa Andika pecah saat gadis itu berlalu dari ruangannya. Karena kancing yang terlepas itu, perdebatan mereka pun berakhir.
Jay belum pernah mendengar sang bos tertawa lepas. Hidupnya yang penuh kenangan pahit, membuat Andika sangat pemarah, dan dingin terhadap orang lain. Asisten yang juga teman baik Andika itu merasa ini adalah hal baik.
"Ekhem! Bacakan jadwalku, Jay!"
"Baik, Pak. Untuk hari ini, tidak ada jadwal sampai jam dua siang. Di jam tiga, Anda diminta datang ke perusahaan minuman kemasan."
"Untuk apa ke sana?"
"Dua bulan lalu, Anda membuat janji kerja sama untuk memasukkan minuman itu ke mall kita. Waktu itu, Anda berjanji untuk meninjau perusahaan itu terlebih dulu."
"Oh, yang itu. Maaf, aku lupa."
"Apa ada tugas lain, Pak?"
"Aku ingin pergi menjenguk ibu panti. Kita pergi ke sana saja."
"Baik, Pak."
***
Anak-anak berlarian saling kejar di halaman depan panti. Dari yang paling kecil sampai yang beranjak remaja. Sudah tiga tahun, Andika tidak datang ke panti itu.
Setiap kali ia datang, Ve sedang berada di rumah makan. Mereka tidak pernah bertemu sama sekali. Padahal, Andika juga berasal dari panti asuhan itu.
Andika selalu pulang tengah malam dan pergi sekolah pagi-pagi buta. Sehingga, mereka berdua tidak pernah bertemu meski tinggal di satu atap yang sama. Lulus sekolah menengah atas, Andika pergi dari panti asuhan.
Setelah enam tahun berlalu, ia datang ke panti dengan keadaan telah sukses menjadi presiden direktur dari sebuah mall terbesar dan sedang berada di puncak popularitas. Lengkapnya fasilitas yang ada di mall itu, membuat masyarakat dari berbagai kalangan rela berdesak-desakan di dalam mall. Meski hanya memiliki satu mall, tapi Andika sudah meraup keuntungan yang melebihi modal awal yang dipinjamkan seorang kenalan padanya.
Hari ini, adalah kedua kalinya ia datang. Pertama kali ia datang, ia mengundang Astari dan Nurlena ke acara pembukaan mall besar itu. Setelah tiga tahun berdiri, mall itu berkembang pesat.
"Hah." Andika merentangkan kedua tangannya. Aroma bunga di halaman panti itu menyusup ke dalam indera penciumannya. Udaranya terasa menyegarkan pikiran saat ia menarik napas dalam.
"Andika!" Panggilan itu begitu akrab di telinganya. Ya, itu adalah ibu panti.
"Ibu!" Andika segera berlari menghampirinya. Sebuah pelukan hangat yang sangat dirindukan itu telah mengobati lemahnya.
"Sepertinya, kau, sudah melupakan Ibu," rajuk Nurlena.
"Dika sibuk, Bu. Mana mungkin lupa pada, Ibu." Andika menoleh ke belakang tubuh Nurlena. Melihat anak-anak yang terlihat kurus dan pucat. "Mereka kenapa, Bu?"
"Mereka sedang sakit, tapi ibu tidak bisa membelikan obat untuk mereka." Nurlena meneteskan air mata. Beberapa donatur telah berhenti mengalirkan sumbangan, membuat keuangan mereka sekarat.
"Apa?! Kenapa tidak bilang pada Dika, Bu?" tanya Andika dengan wajah sedih. Ia sudah memberikan nomor ponselnya dan meminta ibu panti untuk meneleponnya jika membutuhkan bantuan.
"Ibu tidak enak hati jika terus menerus merepotkanmu."
"Apa Dika sudah tidak diakui oleh, Ibu?"
"Tentu saja bukan seperti itu. Sampai kapan pun, Dika tetap anak ibu. Semua anak-anak yang tinggal di sini sudah ibu anggap sebagai anak ibu sendiri, meski mereka telah diadopsi dan memiliki keluarga sendiri. Begitu juga dengan Dika. Ibu akan selalu menganggap Dika sebagai putra ibu."
"Lalu, kenapa, Ibu harus merasa tidak enak dengan anak sendiri? Biar Dika dan Jay bawa mereka berobat," ucap Andika sambil memberi isyarat pada Jay.
Sang asisten sigap membuka pintu mobil dan membawa tiga orang anak yang sedang sakit. Ia membawa mereka berobat ke rumah sakit dan membelikan kebutuhan pokok untuk anak-anak di panti. Andika seperti Ve, menolak untuk diadopsi.
Ketika ada seorang kakek yang ingin mengadopsi, ia melarikan diri. Berbeda dengan Ve yang terang-terangan menolak. Kejadian itu terus berulang, sampai akhirnya Nurlena tidak pernah menunjukkan Andika pada orang yang ingin mengadopsi anak dari panti asuhannya.
Setelah lulus SMA, Andika pergi tanpa berpamitan kepada orang-orang di panti. Ia tidak ingin mengucapkan selamat tinggal dengan mereka, karena ia berjanji akan kembali ke panti itu saat ia telah menjadi orang yang sukses. Tuhan mengabulkan doanya dan keberuntungan berpihak padanya.
Bertemu dengan orang kaya baik hati yang bersedia meminjamkan uang padanya tanpa bunga dan syarat macam-macam. Andika membeli sebuah mall yang pernah terbakar dan sudah tutup sejak lama. Dengan kepintarannya, ia berhasil mengubah, dan membangkitkan kembali mall itu.
*BERSAMBUNG*