Sandra memegang erat kantong belanja di tangannya. Aliran darah di wajahnya seolah menghilang saat melihat siapa orang yang saat ini di hadapannya.
Bertahun berselang, dirinya tidak pernah bertemu dengan laki-laki ini. Kini, saat tidak ada siapapun di apartemennya. Malahan harus bertemu dengannya.
"Cari siapa?" tanya Sandra dengan sopan. Keterkejutannya telah ia sembunyikan agar tidak kentara takut. Meski percuma saja, debaran jantungnya tidak bisa membohongi perasaannya.
"Hai Kakakku Sayang. Long time no see, yes."
Laki-laki dengan tinggi satu area wajah ini mengedipkan sebelah matanya. Berniat menggoda perempuan yang gemetar di depannya.
"Ada perlu apa?" tanya Sandra dengan dingin. Dia merasa tidak perlu berbasa-basi dengan sosok ini.
"Ya hanya rindu dengan Kakak tercantikku saja. Apa salah?"
Zachary Lukman menyembunyikan tangannya di saku celana. Kakinya maju dua langkah semakin mendekat ke arah Sandra. Tidak tinggal diam, perempuan yang dia dekati melakukan hal yang berlawanan.
Sandra mundur tiga langkah lebar setelah tahu pergerakan dari Zachary.
"Oh ayolah Kak, apa kau tidak rindu padaku? Dulu kita sering mandi bersama loh. Apa kau ingat?"
Bola mata Sandra melebar tidak terima. Mana pernah dirinya sudi satu bak mandi dengan Zachary. Dari dulu dia selalu menjaga jarak dengan lelaki mana pun. Walaupun dirinya masih anak kecil yang suka menangis.
"Hanya dalam anganmu Zachary. Katakan apa yang kau inginkan. Sebentar lagi suamiku kembali. Kau pergi lebih dulu, atau menunggu diusir olehnya."
Zachary kembali mendekat ke arah Sandra. Suatu keuntungan untuknya kalau apartemen Sandra berada paling ujung. Meski mundur mejauh darinya, Kakak sepupunya ini akan mentok pada ujung jalan buntu.
Asyik bermain peran seperti lakon di film, bukannya terus mundur sesuai gerakan maju Zachary. Dengan berani Sandra menembus dirinya hingga posisinya berubah di belakangnya.
"Sedang apa kau Sandra!"
Sandra telah menekan tombol lift. Beruntung posisi lift sedang turun tepat di atas lantainya. Belum terlambat, lift berdenting terbuka. Dengan cepat dirinya masuk dan menutup cepat.
Zachary tidak tinggal diam. Dia menahan agar lift tidak tertutup.
"Lepaskan Zachary!" teriak Sandra panik. Dia tidak mungkin menuruti Zachary untuk membiarkan satu lift dengannya.
"Kau yang lepaskan tanganmu Sandra. Kulit putih mulusmu bisa hancur menahan besi ini."
Sandra menggeleng panik. Pintu lift terbuka terlamu lama. Dia benar-benar ketakutan sekarang.
"Masuk ke dalam apartemen sekarang, atau aku masuk ke lift bersamamu."
Sandra menggeleng dengan dua pilihan yang begitu merugikan untuk dirinya. Bayangan kejadian malam itu masih begitu membekas untuknya. Berdua dengan Zachary sama saja dengan membunuh dirinya sendiri.
"Tidak akan pernah. Lepaskan atau aku akan membunyikan alarm kebakaran ini," ancam Sandra.
Zachary bergeminng seolah sedang berpikir. Tapi dua detik kemudian dia berkata, "lalu kau akan membuat khawatir seisi gedung karena tingkah konyolmu."
Senyum puas tergambar di wajah Zachary. Dia paham sekali jika Sandra bukan tipikal yang akan membuat kesusahan orang lain. Baginya lebih baik menghadapi masalahnya sendiri dibandingkan harus menyertakan orang lain.
Tit ... tit ... tit ....
Lift berbunyi setelah sekian lama terbuka. Sandra tidak dapat menolak saat Zachary menyeret tangannya keluar. Mau tidak mau, dia keluar dari dalam sana dan menuju pintu unitnya.
"Cepat buka unit ini!" perintah Zachary.
Sandra masih bergeming. Dia tidak mau gegabah menuruti keinginan saudara sepupunya ini. Otaknya dia pakai untuk berpikir keras.
"Zachary kau tidak bisa seenaknya begini. Jika ingin bicara denganku, kita turun ke bawah. Ada kedai kopi di sana."
Sandra melayangkan tatapan permohonan. Besar harapannya untuk tidak satu ruangan dengan Zachary. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
"Kopi buatanmu lebih enak Sandra. Kau saja yang membuatkan untukku."
Tentu saja Zachary tidak mau kalah. Dia tahu keinginan Sandra untuk kabur darinya. Tidak akan pernah dia kabulkan. Berdua dengan Sandra adalah impiannya. Mana mungkin dia akan melepaskan kesempatan emas ini.
"Em ...."
"Simpan saja kata-katamu untuk di dalam sana. Cepat sebutkan pin kombinasi unitmu. Aku saja yang membukanya."
Hal paling mustahil yang akan Sandra lakukan untuknya. Mana mungkin dirinya dengan sadar menyebutkan angka penting seperti ini.
"Mana mungkin aku akan–"
"Terlalu lama!"
Zachary merebut tangan Sandra. Dia berusaha menempelkan jari Sandra ke auto lock yang ada di sana. Tentu saja sebagai pemilik Sandra mendapat dua akses. Akses pin dan sidik jari.
Sandra tidak terima. Dia terus memberontak. Tenaganya kalah kuat dengan Zachary.
Bugh!
Tidak dia sangka, dari arah belakang muncul Sky dengan Erlangga. Mereka membawa bola, dan tanpa ragu mendendangnya hingga mengenai tengkorak belakang Zachary.
"Kurang ajar!" umpat Zachary kesal.
Anak kecil yang terasa familiar di matanya tanpa kenal takut mengambil bola di bawah kaki Zachary. Seketika juga pria itu tahu jika Sky anak Sandra bersama Bara. Wajah Bara begitu mendominasi. Rasa tak suka langsung saja dikobarkan di dada Zachary.
"Sky."
Sandra mendekat ke arah Sky dan Erlangga. Entah mengapa kedatangan dua anak ini membuatnya lega. Meski tak menutup kemungkinan sesuatu yang terjadi justru sebaliknya.
"Apa yang terjadi Ma? Mengapa orang ini memaksamu membuka unit?" tanya Sky dengan wajah menatap dingin ke arah Zachary.
Tatapan milik Bara yang sedang marah tercetak di sana. Zachary merasa ditelanjangi oleh anak berusia enam tahun.
"Kau pasti anak dari Sandra? Kenalkan aku adalah Pamanmu, Zachary Lukman."
Bukan waktu yang tepat untuk berkenalan. Tapi Zachary sedang mencoba menekan egonya dahulu. Paling tidak dia harus bisa masuk ke dalam apartemen milik Sandra. Urusan harga diri bisa dia perbaiki belakangan.
Tanpa terduga, Sky sama sekali tidak menyambut uluran tangan Pamannya. Menabuh genderang perang justru.
"Sandra anakmu?" protes Zachary dengan wajah yang memerah.
"Dia besar di luar negeri. Wajar tidak mengenal jabat tangan berkenalan," sahut Sandra enteng. Syukurlah Sky tidak mau berjabat tangan dengan Zachary. Paling tidak kesucian tangan anaknya masih terjaga.
"Lalu seperti apa cara berkenalan di luar negeri?"
Zachary masih menyimpan stok sabar untuk ibu dan anak ini. Yang terpenting tujuannya terlaksana dulu.
"Begini Paman."
Mengerti situasi yang terjadi. Erlangga berinisiatif mengusir Zachary. Dia mengayunkan tongkatnya ke arah tangan dan kaki Zachary.
Tak pelak, pria arogan itu beringsut menjauh. Tidak mungkin juga untuk melawan anak kecil.
"Siapa kau anak cacat!" umpat Zachary yang kesal.
"Jaga bicaramu Zach!" Sandra tidak terima dengan umpatan yang dilayangkan Zachary. Dia melindungi Erlangga dari tatapan bringas Zachary yang memerah marah.
"Sandra cepat buka pintunya atau ...."
"Tenang Ma, aku telah panggil polisi ke sini. Pengganggu memang harus disingkirkan."
Wajah Zachary berubah pucat. Dia tidak suka polisi, pengalaman buruk menimpanya dan tidak ingin terjadi kembali.
"Aku akan kembali."
Zachary memilih mengalah dengan pergi begitu saja dari hadapan Sandra dan dua orang anak kecil yang ternyata mampu melindungi Sandra. Dari niat buruknya.
***