Upacara Penerimaan Siswa Baru SMA Cijantung Jakarta Timur yang dimulai sejak pukul 07.00 akhirnya usai pada pukul 08.00. Semua siswa siswi kembali ke ruang kelasnya masing – masing sementara para guru mengadakan rapat staff pengajar yang dipimpin oleh Kepala Sekolah di ruang guru sesuai perintah Kepala Sekolah yang disampaikan melalui pengumuman oleh MC upacara. Terlihat beberapa siswa dan siswi berjalan menuju toilet yang ada di dekat ruang Tata Usaha, mengantri membeli minuman dan makanan ringan di koperasi, juga berjalan melewati koperasi sekolah menelusuri lorong pendek yang mengarah kepada tangga batu panjang yang menjadi akses tercepat menuju kantin sekolah dari lapangan basket.
Kiki berjalan menuju ruang kelasnya sambil bersenda gurau bersama teman barunya, Muzammil, dan dua teman laki – laki lainnya yang berkenalan dengannya di ruang kelas sebelum upacara tadi, yaitu Edo dan Hadi. Kiki dan Edo masih mengenakan topi mereka, sementara Muzammil dan Hadi telah melepas topi mereka dan membawanya dengan tangan kanan mereka. Kiki dengan cepat menjadi teman baru yang menyenangkan untuk mereka, langsung begitu saja setelah mereka berkenalan sebelum bel tanda Upacara Penerimaan Siswa Baru berbunyi. Begitu menyentuh kehangatan sambutan atas dirinya di sekolah ini. Ia baru mengenal mereka lima belas menit, tapi berbincang dan bersenda gurau bersama mereka serasa teman lama yang sudah melewati berbagai remedial dan selebrasi bertahun – tahun bersama.
"Wah ! Gokil, coy ! Banyak juga ternyata adek – adek cakep tahun ini yak !", ujar Hadi, menengok ke segerombolan siswi – siswi baru kelas X yang melintas di dekat mereka.
"Yoi, Di ! Tapi sejauh yang gua liat, belom ada yang nandingin cakepnya Kak Nadira atau Kak Anna, apalagi Kak Zahira yang baru lulus !", respon Edo.
"Gini nih, Ki ! Obrolan para jomblo !", ledek Muzammil sambil tertawa.
"Yailah ! Lo juga lagi lirik – lirik daritadi kan, Zam ?", balas Hadi dengan tawa.
"Ah, nggak lah ! Gua masih bertahan sama prinsip gua buat utamain nyari pacar dari angkatan kita dulu, bro !", bantah Muzammil.
"Kayaknya gua tau nih siapa yang mau lu deketin, Zam ! Gua sebut nggak nih ?", sindir Edo. Muzammil tampak sedikit terkejut dan langsung pura – pura bersikap tenang.
"Halah ! Siapapun yang bakal lu sebut pasti gua sangkal, Do ! Gua aja baru gagal ngegebet Sheila sebelom naik kelas", jawab Muzammil, disambut tawa ketiga teman sekelasnya.
"Sheila mah sulit, bro ! Dia emang suka sama anak band, tapi anak band yang gaul banget dan berduit ! Berat ngejajanin tuh cewek !", komentar Hadi.
"Kalo lu gimana, Ki ? Ada yang menarik nggak di antara adek – adek kelas kita, atau beberapa temen seangkatan yang udah lu liat pas upacara ?", tanya Edo.
"Eh !? Belom ada lah, Do ! Bener emang sih beberapa adek – adek ini ada yang cakep, tapi belom ada yang ngena aja buat gua", jawab Kiki.
Tentu saja, Kiki hanya bisa memikirkan gadis misterius yang ia temui di Koperasi Sekolah sebelum upacara tadi. Ia merasa ada sesuatu pada gadis itu selain kecantikannya yang membuatnya penasaran dan ingin mengenalnya. Paling tidak, kini ia tau bahwa gadis misterius itu entah merupakan tetangga kelasnya atau bahkan teman sekelasnya.
"Apa jangan – jangan lo udah punya cewek di sekolah lama lo, Ki ?", tanya Hadi.
"Nggak, Di ! Semenjak di sana, gue juga nggak pacaran, coy !", jawab Kiki dengan tawa.
"Waduh ! Gimana bisa Ki selama sekolah di SMA Mahakam nggak ada cewek yang nyantol sama lo !? Cewek – cewek di sana kan cakep – cakep, bro ! Cewek kayak Kak Nadira atau Kak Anna aja masih ngga termasuk jajaran cewek – cewek tercakep di sana !", ledek Hadi.
"Iyasih, Di. Masalahnya cewek – cewek di sana standarnya tinggi banget, men ! Kebanyakan pengennya sama cowok – cowok eksis dan berduit ! Gue sih ngga kuat ngejajaninnya, dan mereka juga bukan tipe gue, Di !", balas Kiki dengan sedikit tertawa.
Kurang lebihnya, itu kenyataan yang masam. Kata pepatah, "ada rupa, ada harga". Gadis – gadis cantik dari sekolah seperti SMA Mahakam atau "rivalnya", SMA Bulungan, kebanyakan bukan remaja wanita konvensional yang dapat disentuh hatinya dengan prestasi akademik dan basa – basi klasik anak sekolahan biasa. Mereka tampaknya sudah menjadi "dewasa" sebelum waktunya. Meskipun memiliki beberapa teman perempuan di sekolah lamanya, Kiki tidak pernah berhasil dalam upayanya menjadikan salah satu dari mereka sebagai pacar pertamanya.
Yang jelas, bukan itu juga alasan utamanya pindah sekolah.
"Oiya, Zam. Tadi lu bilang Kak Nadira bukan cewek tercakep di sekolah kita saat ini, paling ngga dia itu tercakep kedua kalo menurut penilaian mayoritas anak – anak sekolah ini. Emang siapa yang paling cakepnya ?", tanya Kiki, beralih ke Muzammil.
"Kak Anna, Ki. Nama lengkapnya Alvianna Shahnaz Al-Zahrani, dia sahabatnya Kak Nadira. Anaknya yang mukanya Arab banget dan super bening. Mereka sahabatan itu, tiga sekawan sama satu lagi Kak Kira. Banyak yang cantik dan manis di sekolah kita, tapi yang ketiga bukan Kak Kira. Yang ketiga ada di kelas kita, Ki !", terang Muzammil.
"Hah !? Yang bener lu, Zam !?", respon Kiki terperanjat.
Kiki akhirnya memastikan dugaannya bahwa sosok yang dinobatkan paling cantik di SMA Cijantung saat ini adalah gadis berpenampilan bak sosialita muda yang ia lihat diparkiran bersama Nadira tadi, kini ia mengetahui namanya yaitu Alvianna Shahnaz Al-Zahrani. Tentu saja, itu bukan hal yang perlu diperdebatkan. Anna dengan kulit putih bersihnya, rambut tebal tertatanya, dan setiap inci pesona kecantikan gadis keturunan Arab yang dipancarkannya, secara alami memang sepatutnya harus menjadi siswi tercantik menurut opini dari mayoritas siswa-siswi SMA Cijantung.
Akan tetapi Kiki terkejut akan pernyataan Muzammil bahwa yang tercantik ketiga di sekolah barunya adalah teman sekelasnya. Ini berarti ada seseorang dari angkatannya yang dapat menyaingi supremasi kedua kakak kelas itu.
"Beneran, Ki ! Tapi rahasia ya, nanti lu tau sendiri begitu liat di kelas abis ini" jawab Muzammil dengan tawa yang terkekeh – kekeh.
"Gilak, gilak ! Hari pertama sekolah di sini udah kenceng banget bahas soal cewek nih lo, Ki ! Apa lo pindah ke sini buat nyari lahan yang lebih ijo ?", ledek Hadi.
Muzammil dan Edo tertawa mendengarnya. Memang cukup lucu menyaksikan seorang siswa pindahan dari SMA yang terkenal sebagai suaka siswi – siswi cantik dan terkenal yang dengan mudah dapat membuat Anna terkesan biasa saja jika bersekolah di sana, dengan antusias berbincang tentang siswi tercantik di sekolah barunya.
"Ngga lah, men. Kebetulan aja pagi ini di upacara gua ngeliat wajah – wajah cakep baru kan. Tapi kalo ada yang oke tapi ngga high-class kayak di Mahakam mah, gua gas lah !", balas Kiki.
"Berarti kayaknya Kiki ini sukanya tipe kayak Ica nih, guys !", ujar Edo.
"Ica ? Yang mana anaknya, Do ? Dan kenapa kayaknya dia cocok buat gua ?", tanya Kiki, keheranan.
"Ica itu cewek seangkatan kita yang cantik, tapi sederhana, Ki ! Anaknya pemalu dan tampil biasa – biasa aja di sekolah ! Kalo soal kecantikan emang belom bisa disandingin lah sama Kak Nadira atau bahkan Kak Anna, tapi nggak tau ya kalo dia coba belajar dandan yang bagus dan milih style fashion yang pas buat fisiknya yang langsing tapi agak montok itu", jawab Edo.
"Kedengerannya sosok yang menarik dia, Do. Ada di antara lu bertiga yang pernah sekelas sama dia ?", tanya Kiki, mulai antusias.
"Muzammil nih, Ki ! Dulu dia sekelas sama Ica !", jawab Edo.
"Beneran itu, Zam ? Menurut lu gimana sosok Ica ini ?", tanya Kiki.
"Kurang lebih kayak yang dijelasin Edo tadi sih, Ki. Dia emang anaknya pemalu, tapi kalo lagi sama sahabat – sahabatnya, dia anaknya periang juga sebenernya. Sikapnya ramah juga sama anak – anak cowok, tapi cenderung ngejaga jarak. Makanya itu belom ada cowok dari angkatan kita dan kakak kelas yang berhasil di percobaan PDKT sama dia", jawab Muzammil.
Kiki terkesan dan merasa tertarik akan sosok Ica yang diceritakan teman – teman barunya ini. Ia jarang menemui sosok gadis seperti itu di SMA Mahakam. Sepintas terpikir olehnya apakah sosok Ica ini yang dimaksud Muzammil sebagai gadis tercantik ketiga di sekolah ini.
Empat sekawan itu memasuki ruang kelas mereka dan berpencar menduduki tempat duduk masing – masing dimana mereka menaruh tas ransel mereka sebelum bel tanda pelaksanaan kegiatan upacara dimulai. Kiki terkejut ketika hendak menduduki tempat duduknya bahwa teman sebangkunya adalah gadis yang ia temui di koperasi sekolah tadi. Gadis itu pun juga menunjukkan ekspresi yang terkejut ketika menyadari Kiki adalah orang yang hendak duduk di sebelahnya.
Kali ini benar – benar bertatap muka, Kiki akhirnya bisa melihat jelas wajah dan pandangan gadis itu. Gadis itu sekilas terkesan biasa saja dan tidak menonjol. Tapi jika dilihat sedikit lebih cermat dan lama, ia memiliki wajah berparas cantik jelita yang menurut Kiki setara, atau paling tidak hampir setara dengan Nadira sang Ketua OSIS. Akan tetapi, gadis itu memiliki warna kulit yang sama atau sedikit lebih cerah daripada Nadira, dan memiliki mata yang indah dengan warna kornea mata coklat dan pupil yang sedikit lebih besar dari yang dimiliki Anna.
Kiki mengamati bahwa gadis ini tidak banyak berdandan dan mencoba menampilkan gaya terbaiknya seperti Anna, bahkan Nadira, karena hanya mengenakan pelembab bibir dan hanya menggunakan jam tangan berwarna putih sebagai aksesorisnya. Dan kenapa juga ia perlu berdandan ? Gadis ini juga memiliki kulit wajah yang sangat bersih alami, pipi yang sedikit lebih berisi daripada Anna, dan.poni rambut yang modelnya dibuat menyamping.
"Wah, suatu kebetulan ya kita ternyata teman sekelas, kak !", kata Kiki, memulai percakapan setelah menduduki bangku kayu tempat ia menaruh tas ranselnya di tempat duduk gadis itu.
"Iyanih, kak. Hehe", balas gadis itu dengan suara lembut dan senyum manis penuh rasa sungkan.
"Oiya, kenalan dulu yuk kita ! Nama gue Usman Rizki Sunarto, gue anak pindahan dari SMA Mahakam di daerah Mahakam, Jakarta Selatan. Nanti pasti wali kelas bakal panggil gue ke depan buat perkenalan anak baru, tapi gue rasa bagusnya kita kenalan dulu, karena tadi di koperasi kita ngga sempet kenalan. Panggil aja gue Kiki yah !", ucap Kiki dengan nada bicara yang bersahabat dan senyum yang lebar.
Ia menyodorkan gestur bersalaman kepada gadis itu.
"Salam kenal ya, Kiki ! Nama gue Aisyah Widia Fadillah. Pantesan gue baru pertama liat lo di sekolah, ternyata lo anak pindahan yah. Panggil aja gua Aisyah atau Ica yah, Ki !", balas Ica dengan senyum yang masih malu – malu namun nada bicaranya lebih bersemangat daripada sebelum berkenalan dengan Kiki.
Kiki tercengang dan semua kata – kata yang ingin diucapkannya tersumbat di tenggorokannya karena gejolak emosional, akhirnya mengetahui identitas gadis misteriusnya. Gadis pemalu yang ia temui di Koperasi Sekolah, perempuan sebaya yang pertama kali berinteraksi dengannya di momen kedatangannya di sekolah baru ini, ternyata dianggap sebagai salah siswi tercantik di sekolah saat ini. Tercantik ketiga, setelah sang Ketua OSIS.
Ica keheranan melihat Kiki yang membeku dan megap – megap. Ia dengan sabar menunggu Kiki mengatakan sesuatu karena melihat bibir Kiki yang kelihatannya ingin berbicara, tapi selalu tertahan, terbuka-tertutup seperti seekor ikan. Sebelum mereka hendak melanjutkan percakapan, mereka mendengar suara seorang siswa berteriak "Siap, berdiri !", memerintahkan seluruh siswa – siswi kelas XI IPS-1 untuk berdiri dari tempat duduknya masing – masing dan sontak suasana kelas langsung hening.
"Beri salam kepada guru !", seru siswa tersebut dengan suara lantang, diikuti dengan ucapan salam dari semua teman – teman sekelasnya secara kompak dan dibalas oleh sang guru setelah beliau menduduki tempat duduknya di meja guru sebaris dengan tempat duduk Kiki dan Ica.
Para siswa – siswi penghuni kelas XI IPS-1 kembali duduk dengan tertib setelah sang guru menjawab salam mereka. Sang guru kembali beranjak dari tempat duduknya setelah menata beberapa dokumen miliknya di meja guru dan berdiri di depan kelas. Hampir semua murid duduk tertib dan bersiap memperhatikan apa yang akan disampaikan oleh sang guru. Kiki tercengang untuk kedua kalinya karena menyadari guru yang masuk ke dalam kelasnya ini adalah guru yang ia jumpai tadi pagi ketika tiba di gerbang sekolah.
Kebetulan banget, pikirnya. Kebetulan yang indah, mungkin. Siapa yang sangka dua wanita ini akan menjadi bagian dari kesehariannya di sekolah, di kelas ini.
Sang guru memperkenalkan dirinya sebagai Wali Kelas XI-IPS 1 dengan nama Diah Sulistyawati, yang juga mengajar mata pelajaran Sosiologi di empat kelas X tahun lalu. Beliau mengingatkan para siswa-siswi binannya di kelas ini untuk menikmati masa – masa kelas XI karena tahun depan, mereka akan terfokus pada persiapan Ujian Nasional untuk kelulusan. Beliau menghimbau kelas XI-IPS 1 untuk membentuk struktur organisasi kelas, dimulai dari pemilihan ketua kelas.
"Siapa di antara kalian yang mau jadi Ketua Kelas ?"
Tentu saja di saat pertanyaan seperti ini terlontar, tidak ada satupun yang berani begitu saja mengacungkan tangan. Menjadi Ketua Kelas bukan tanggung jawab yang ringan.
"Hm ? Mosok sih rak ono sing wani iki ?", komentar beliau.
"Okedeh, kalo gitu tunjuk kandidat yang kalian pikir cocok buat jadi Ketua Kelas. Kalo pada diem lagi, ibu tunjuk sendiri dan ngga boleh nolak ya", lanjut sang Wali Kelas.
"Kiki aja, Bu !", seru Muzammil yang memecah keheningan.
"Iya tuh, Bu ! Pas banget dia juga anak pindahan baru, biar dia cepet dikenal sama sekelas, Bu !", sahut Edo. Hadi juga bersahut mengekspresikan dukungannya.
Seketika keheningan benar – benar lenyap dari kelas XI-IPS 1 karena usul dari tiga sekawan itu. Kiki begitu bingung dan gugup. Belum pernah ada siswa atau siswi pindahan yang begitu saja ditunjuk menjadi Ketua Kelas, bahkan oleh Wali Kelas. Ia baru mengenal dan dikenal oleh empat orang di kelas ini. Bu Diah pun tampak sedikit heran dengan usulan mereka, namun tersenyum seakan mengisyaratkan bahwa usulan itu cukup menarik dan ada benarnya juga setelah Edo menjelaskan maksud dari usulan itu.
"Hmm, boleh juga ide kalian. Berarti kalian udah kenal sama Mas Kiki ini ?", tanya Bu Diah.
"Udah, Bu. Sebelum Upacara Penerimaan Siswa Baru, kita bertiga kenalan sama Kiki dan ngobrol banyak abis upacara selesai", jawab Hadi.
"Oh, pantesan kalian nunjuk dia ya !", komentar Bu Diah.
Bu Diah kembali menoleh ke hadapan seluruh kelas.
"Kalo gitu, mana yang namanya Mas Kiki ini ?"
"Err . . . saya, Bu !", jawab Kiki sambil mengacungkan tangan kanannya dengan perlahan.
Bu Diah menoleh ke arahnya dan seketika tersenyum lebar dengan sumringah.
"Oh, ternyata kamu, Mas ! Saya ketemu Mas Kiki ini tadi pagi di gerbang sekolah, siapa sangka di sini ketemu lagi dan sama – sama jadi anggota keluarga di kelas ini, yah !", celoteh Bu Diah pada seluruh kelas.
Kiki hanya mengangguk dengan senyuman tersipu.
"Kalo gitu, tolong maju sebentar ke hadapan satu kelas buat kenalan yah, Mas !", pinta Bu Diah.
Seluruh teman – teman sekelas Kiki mengarahkan pandangan mereka kepadanya dan memperhatikannya berjalan ke depan kelas di depan papan tulis putih sesuai seruan Bu Diah. Remaja berambut hitam dengan model jabrik dan berwarna kulit sawo matang cerah itu berdiri di sebelah wali kelasnya dengan tegap akan tetapi menunjukkan ekspresi yang santai dan semangat.
"Perkenalkan, temen – temen kelas XI IPS-1 sekalian ! Nama saya Usman Rizki Sunarto, biasa dipanggil dengan sapaan Kiki. Saya siswa pindahan dari SMA Mahakam di Jakarta Selatan, dan saya tinggal di rumah saya yang berada di belakang RSUD Pasar Rebo di Jakarta Timur. Salam kenal untuk teman – teman semuanya ya !" tutur Kiki.
Teman – teman sekelas Kiki memperhatikan perkenalannya dan beberapa menanggapinya dengan berbisik – bisik dengan teman sebangkunya membicarakan kesan pertama mereka akan sosok Kiki. Kiki mendengar beberapa teman perempuan menilai parasnya tampan, dan beberapa teman laki – laki membicarakan sekolah lamanya yaitu SMA Mahakam Jakarta Selatan. Kiki menyadari dari semua teman – teman sekelasnya, Ica yang paling menyimak perkenalannya dan terus memandanginya sampai akhirnya Kiki memandangnya balik, kemudian Ica mengalihkan pandangannya.
"Salam kenal ya, Mas Rizki. Selamat datang di SMA Cijantung Jakarta Timur. Semoga bisa berprestasi di sekolah ini dan punya banyak momen berkesan sama temen – temen barunya di sini ya, Mas !", Bu Diah menanggapi.
"Amin, insya Allah ya, Bu. Makasih, Bu Diah", balas Kiki.
Bu Diah mengangguk. "Nah, sekarang kan udah pada kenal sama Mas Kiki. Kira – kira semuanya pada setuju nggak kalo Mas Kiki jadi Ketua Kelas XI-IPS 1 ?", tanya Bu Diah pada para penghuni kelas.
"Setuju, Bu !", jawab semuanya dengan kompak.
"Oke, kalo gitu semoga amanah ya Mas Kiki sebagai Ketua Kelas", kata Bu Diah sambil menoleh ke Kiki, kemudian mengembalikan pandangannya ke seluruh kelas.
"Kalo gitu siapa yang mau jadi wakilnya Mas Kiki ?"
"Ica aja, Bu !", sahut Edo, segera setelah Bu Diah bertanya.
Ica terkejut dengan mulut terbuka, lalu melihat ke arah Edo dan kedua sahabatnya yang berhasil mendudukkan Kiki di singgasana Ketua Kelas dengan tatapan yang kebingungan dan sedikit sebal.
"Saya setuju, Bu ! Ica anaknya rajin dan disenengin guru – guru waktu saya sekelas sama dia di kelas X !", sahut seorang siswi.
Ia adalah Sherin, teman sekelas Ica di kelas X yang memiliki wajah kombinasi keturunan Jepang dan Jawa. Ica pun menoleh kearahnya dengan wajah yang bingung, namun Sherin membalas tatapannya dengan gestur melambaikan tangan yang riang gembira.
"Saya juga inget sama Mbak Ica kok. Anaknya emang rajin dan ramah banget, tapi suka malu – malu. Tolong kedepan sebentar yah, Mba Ica !", pinta Bu Diah dengan ramah.
Ica beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke depan kelas dengan sedikit tertunduk. Ia berdiri dengan jarak satu meter di sebelah kanan Kiki yang baru saj bergeser menyediakan tempat untuknya.
"Wah, wah, wah ! Ngga cuma Ketua Kelasnya aja lho yang ganteng, calon Wakilnya juga cantik ini, nggak kalah cantik dari Ketua OSIS kita, Mbak Nadira, dan Mbak Alvianna !", puji Bu Diah.
Ica tersenyum karena tersipu malu dipuji seperti itu dihadapan satu kelas. Kepalanya semakin tertunduk dan pipinya memerah.
"Yang lain setuju nggak kalo Mba Ica ini jadi Wakil Ketua Kelas Kita ?", tanya Bu Diah.
"Setuju, Bu !", semuanya kompak bersorak menjawab.
"Alhamdulillah, kalo gitu udah resmi kita punya Ketua Kelas dan Wakil Ketua kelas. Jalanin dengan amanah dan jangan takut ya, Mas Kiki dan Mba Ica !", Bu Diah mengingatkan.
"Baik, Bu Diah !", jawab Kiki dan Ica.
Bu Diah mengangguk dengan bangga dan mempersilahkan mereka kembali ke tempat duduk mereka. Muzammil, Edo, dan Hadi terdengar bersorak sorai pada Kiki dan Ica seakan mereka adalah sepasang remaja yang sedang jatuh cinta. Sherin dan beberapa siswi lainnya juga menyuarakan bunyi yang sama.
Bu Diah tertawa menyaksikan keceriaan siswa-siswi binannya, kemudian menginstruksikan mereka untuk kembali tenang dan menyampaikan beberapa hal tentang agenda kelas XI-IPS 1 di tahun ajaran baru ini dan kurikulum yang akan dipakai dalam kegiatan belajar mengajar. Beliau kemudian membagikan selebaran cetakan jadwal mata pelajaran kelas XI IPS-1 SMA Cijantung Jakarta Timur di Tahun Ajaran 2010 – 2011. memberi arahan akan buku paket acuan yang harus dimiliki untuk kegiatan belajar mengajar mata pelajaran Sosiologi kelas XI, juga membentuk struktur organisasi kelas XI IPS-1. Setelah mengisi jam pelajaran pertama dari pukul 08.20 hingga pukul 09.00, Bu Diah meninggalkan ruangan kelas setelah bel tanda istirahat pertama berbunyi. Siswa – siswi kelas XI IPS-1 mulai berhamburan keluar dari kelas untuk melihat suasana Ekskul Expo sesi pertama.