Kiki tiba di depan ruang kelas XI-IPS 1 yang pintunya dalam keadaan tertutup namun tak terkunci. Ia membuka pintunya dengan perlahan, berjaga – jaga jikalau ada yang mencuri di dalam. Tentu saja ia tak akan menghajarnya jika pelakunya adalah laki – laki, atau menyeretnya ke ruang Kepala Sekolah jika perempuan, tapi akan lebih baik tidak membuat sang pelaku terkejut dengan memergokinya secara perlahan. Dengan hati – hati, pintu ruangan kelas pun terbuka dengan minim suara. Syukurlah, tidak ada orang satupun yang berada di ruangan. Kiki segera mengambil handphonenya dari ranselnya dan berjalan kembali menuju pintu ruangan.
Namun sesuatu menghentikan langkahnya. Terdengar suara.
Kiki memejamkan mata dan berkonsentrasi untuk mendengarkan suara itu lebih jelas. Semakin jelas terdengar, Kiki akhirnya mengidentifikasi suara – suara itu berasal dari ruang kelas XI-IPS 2. Ia berjalan mendekat ke dinding di belakang barisan tempat duduk paling belakang kelas. Ia menempelkan telinganya di sana dan mendengarkan dengan konsentrasi penuh. Suara – suara itupun semakin jelas.
Sedang terjadi perdebatan. Perdebatan antara laki – laki.
Semakin seksama Kiki menyimak, semakin ia menyadari bahwa perdebatan itu semakin memanas dan dapat berujung pada konflik fisik. Kiki pun bergerak keluar dari kelasnya menuju ruang kelas XI-IPS 2. Tepat di depan pintu ruang kelas tetangga, ia mendengarkan perdebatan itu sekali lagi sebelum memutuskan apakah ia perlu mengintervensi atau membiarkannya. Mungkin saja mereka hanya marah sesaat.
Semoga saja . . .
Hari ini terlalu cerah dan bahagia untuk berkelahi.
"Sorry nih, bang bro sekalian, kenapa lo pada perkarain gue gara – gara gue deket sama Chintya ? Gue temenan sama dia dari kelas X !", protes laki – laki pertama.
"Dan sekarang dia juga udah jadi cewek gue ! Yang berarti, lo tau diri lah, woy ! Kalo temenan ya jangan terlalu nempel lah, dikit – dikit lo ngechat dia dan ngajak jalan lagi !", balas laki – laki kedua dengan nada yang meninggi.
"Lah ?! Sebagai temennya, gua juga berhak dong buat interaksi sama dia, bang ! Dia juga masih pengen gua ngebbm dan sesekali ngajak jalan !", laki – laki pertama melawan dengan nada yang juga meninggi.
"Wah ! Tengil banget emang lo jadi adek kelas, ya ! Sesimpel itu aja buat jaga jarak dari Chintya yang udah jadi cewek gua, masih bisa aja lo ngebatu !", bentak laki – laki kedua.
"Udah lah, Mar. Ini anak nggak bisa dibilangin, emang beneran buaya sejati dia ! Ngga peduli itu cewek jomblo atau punya cowok, tetep aja disosor sama doi asal doi demen. Dia aja nyaris ngerebut Kira dari si Bram, untungnya Bram orangnya sabar dan Kira juga ngga gampang dibego – begoin buaya kroco begini !", sahut laki – laki ketiga.
"Kak Kira ?! Eh ! Gua ngga pernah —"
"Kira sendiri yang cerita kok. Ngga perlu ngeles lo !"
"Kesalahan fatalnya lo adalah gue beda banget sama Bram. Gue nggak akan pernah biarin kedekatan cewek gue sama cowok lain, bahkan satu percobaan pun !", laki – laki kedua menegaskan. Nadanya merendah, namun dingin dan sangat mengancam.
"Oh, gitu ya ? Nggak heran Kak Anna nggak betah sama lo, bang ! Jelas lah ! Apalagi cewek gaul kayak Kak Anna pasti paling benci dikekang sama cowok posesif kayak lo !", ejek laki – laki pertama.
"Dan ngga heran juga kalo beberapa temen gua mulai bisikin perlunya senioritas di sekolah ini. Beneran makin banyak junior tengil mulai dari angkatan lo, dan lo yang terbangsat kayaknya di antara mereka !", balas laki – laki kedua.
Sesegera setelah itu, kekhawatiran Kiki pun terbukti.
Ia terkejut mendengar suara benturan keras dari dalam ruangan kelas XI-IPS 2. Kedengarannya, laki – laki kedua mendorong laki – laki pertama ke papan tulis dengan keras.
Kiki menarik nafas dalam – dalam. Ia memutuskan bahwa ia tak akan membiarkan perkelahian terjadi dalam sepengetahuannya. Terlebih, dia tidak menyukai tindak senioritas, meskipun juga tidak membenarkan seorang adik kelas yang bersikap lancang terhadap kakak kelasnya.
Kiki membuka pintu ruangan kelas XI-IPS 2 dan mengalihkan perhatian ketiga laki - laki yang terlibat dalam perdebatan panas tadi. Dari posisinya, Kiki dengan mudah mengidentifikasi bahwa yang sedang tersudut adalah laki – laki pertama yang ia dengar memprotes tentang sikap sang senior kepadanya. Sedangkan yang sedang mencengkeram kerah sang laki – laki pertama ini pasti sang kakak kelas yang sedang marah karena pacarnya terancam direbut.
Sang kakak kelas menatap Kiki dengan tajam. Dari ekspresinya, ia juga terkejut karena kehadiran Kiki secara tiba – tiba di ruangan ini. Laki – laki berkulit sawo matang dan berambut pendek itu berpostur tinggi, kurang lebih sedikit lebih pendek dari Hadi, bertubuh dan kekar. Ia memiliki paras wajah yang tampan dengan kumis dan janggut tipis, namun begitu mengintimidasi. Temannya yang berdiri tidak jauh di dekatnya memiliki postur yang lebih pendek dan berisi, juga rambut yang ikal.
"Bang bro sekalian, ada apaan ini ? Tolong, jangan berantem !", imbau Kiki.
"Siapa lo ?! Dan ngapain lo di sini ?!", respon sang kakak kelas dengan ketus. Ia masih mencengkeram lawannya.
Kiki berjalan dengan hati – hati ke arahnya. Matanya penuh determinasi meskipun ada sedikit rasa takut dalam hatinya. Rasa takut akan dianggap membuat masalah di hari pertamanya sebagai siswa pindahan.
"Nama gue Kiki, gua anak kelas XI-IPS 1 di sebelah", jawab Kiki. "Gue abis dari kelas, dan gue denger kalian debat tadi" .
Teman sang kakak kelas mendekat ke hadapan Kiki. Ia menghalau Kiki untuk mendekat pada kedua pihak yang sedang berkelahi.
"Gue saranin lo balik lagi ke temen – temen lo. Mereka lagi pada di lapangan liat – liat Ekskul Expo, kan ? Kita ngga butuh mediator. Masalah begini ngga perlu ada mediator", tegur sang kakak kelas kedua yang menghalaunya.
"Semua masalah butuh mediator, bang", balas Kiki dengan tegas. "Gue kesini bukan buat belain anak seangkatan gue, gue bahkan belom kenal yang satu ini karena gue anak pindahan baru. Gue bahkan ngga tau sebenernya siapa yang salah. Belom, tepatnya. Tapi, kelarin dengan cara gini jelas banget salahnya. Tolong, lepasin dia dan kita obrolin lagi. Gue janji akan berusaha netral"
"Lo ngga denger tadi temen gue ngomong apa ? Masalah ini ngga perlu mediator !", semprot sang kakak kelas. "Lagian kalo lo emang udah sempet nguping, lo pasti denger argument tengil si bangsat ini !", lanjutnya, sambil menoleh ke wajah lawannya saat mengucap dua kata terakhir.
"Apa lo yakin tubir bakal kelarin semuanya, bang ? Apalagi ini masalahnya terkait soal cewek, kan ? Apa gunanya kekuatan fisik sama masalah hati ?", bantah Kiki.
Kakak kelas itu tidak senang mendengarnya. Mukanya semakin mengerut, tatapannya pada Kiki semakin tajam. Tangannya . . . kedua tangannya tetap mencengkeram korbannya erat – erat, siap menghajarnya kapanpun.
Namun bisa saja ia mengganti sasarannya.
"Gue nggak kenal lo, tapi gue setuju sama poin lo barusan !", sahut sang korban yang sedang dicengkeram. "Tapi gue kasih tau ya, orang ini barbar ! Yang dia tau cuma mukulin orang dan sok senioritas sama adek kelas !", tambahnya.
"Dan yang gue denger argumen lo tadi juga salah soal ceweknya abang ini yang juga temen lo ! Lebih ngaco lagi, barusan lo pake ngomongin kata – kata yang ga cocok sama sikon lo sekarang !", tegur Kiki meresponnya.
Memang sebuah manuver yang sangat salah dari sang siswa kelas XI malang yang sedang diambang babak belur itu. Sang kakak kelas yang sudah semakin naik pitam karena argumen Kiki akhirnya meledak karena sahutan terkutuknya barusan. Kebodohan punya banyak wujud, namun menghujat lawan yang sedang mendominasi rasanya sudah melampaui kebodohan. Serangan dengkul pun bersarang di perutnya, dan akhirnya ia pun tersungkur ke lantai sambil mengerang kesakitan.
Dasar goblok, pikir Kiki.
Sang junior tetap layak mendapat simpati, akan tetapi, karena kakak kelas yang baru saja menghajarnya dengan dengkul sudah bersiap menghajarnya lagi. Kiki merasakan aura gelap amarah dahsyat sang kakak kelas itu, dan ia memutuskan untuk bertindak. Dengan cepat ia melewati penghalaunya dengan melompat ke meja di dekatnya dan berhasil mencegah tinju sang kakak kelas bersarang di kepala siswa seangkatannya yang kini masih tersungkur memegangi perutnya itu.
"Maksudnya apa nih ? Gue dan temen gue udah bilang kalo masalah ini ngga perlu mediator. Entah lo budeg ato goblok mencegat gue begini ?!", desis sang kakak kelas.
"Gue juga udah bilang tadi semua masalah butuh mediator, terutama kalo ujungnya bakal begini", Kiki mendesis balik. "Tolong, bang, lepasin dia dan kita coba lagi kelarin pake dialog", ajaknya sambil perlahan melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan kanan sang kakak kelas.
Sang kakak kelas mulai mengurungkan tinjunya dan perlahan melepaskan sang korban dari kunciannya.
"Gue udah peringatin lo dua kali ya", ucap sang kakak kelas.
Kiki merasakan kakak kelas kedua yang tadi sempat mengalaunya mulai berjalan mundur.
Kakak kelas itu pun mengganti sasarannya. Dia melayangkan serangan tinju kiri memutar ke arah wajah Kiki dengan cepat. Kiki yang sempat menimba ilmu bela diri Karate semasa SMP, berhasil membaca gerakannya dengan menghindar. Sang kakak kelas nampaknya terkesan dengan refleks Kiki, dan mencoba melayangkan beberapa serangan pukulan dan tendangan. Kiki kali ini tidak sempat menghindar karena ruang gerak yang sempit, namun berhasil menghalaunya dengan tangkisan.
"Boleh juga, lo ! Ngga nyangka pagi ini gue udah dapet pemanasan bagus buat tampil di Ekskul Expo. Lo ternyata Karateka juga ! Dari refleks dan cara nangkis lo jelas banget !", ujar sang kakak kelas.
Pujian itu tidak berguna bagi Kiki di situasi ini. Ia menyadari bahwa lawannya ini juga seorang Karateka, dan nampaknya dengan kemampuan yang melampauinya. Postur kakak kelas itu juga memberikan keunggulan dalam pertarungan dadakan ini. Kiki sadar betul mempersuasinya untuk mengakhiri dan kembali berdialog rasanya sudah mustahil dalam situasi ini. Satu – satunya opsinya adalah menahannya hingga bel masuk berbunyi. Ia tidak mengenakan jam tangan, dan tangannya akan terlalu sibuk untuk sempat mengecek waktu di handphone Blackberrynya. Maka, ia memperkirakan masih ada sisa waktu 15 menit hingga waktu bel masuk berbunyi.
Kiki menghindari serangan berikutnya, lalu mencoba melayangkankan pukulan menuju lawannya. Sang kakak kelas dengan cepat berhasil menghalau serangan Kiki dengan tangkisan, lalu melayangkan serangan balasan. Beruntung Kiki pun sempat untuk menangkis serangan itu, dan akhirnya melompat mundur untuk menjaga jarak. Kakak kelas satu ini benar – benar seorang Karateka yang handal, dan Kiki berharap dirinya dapat bertahan dengan kondisi terbaik tanpa cidera hingga bel berbunyi.
Kiki menghindari serangan berikutnya, namun serangan tendangan susulan dari sang lawan begitu cepat dan keras sehingga membuat Kiki terdorong mundur walau menangkis dengan tangkisan silang dua tangan. Kiki menyadari bahwa situasi pertarungan mulai berubah, dirinya benar – benar tersudut sekarang. Ia mencoba melayangkan serangan balasan setelah menghindari serangan, namun gagal lagi. Ia belum berhasil melayangkan satu serangan pun pada lawannya.
Kali ini, keberuntungan Kiki pun pergi meninggalkannya. Ia akhirnya menerima tendangan bersarang di perutnya, namun ia cukup kuat untuk tidak tersungkur. Kiki berada di dekat pintu ruang kelas XI-IPS 2, tersudut dan di ambang kekalahan memalukan. Ia bisa saja melarikan diri dengan cepat, namun prinsipnya tidak mengizinkannya. Ia tidak ingin meninggalkan siswa seangkatannya di sini untuk kembali di hajar, dan sulit untuk mempermalukan dirinya sendiri dengan melarikan diri dari sebuah pertarungan.
Kiki memegangi perutnya yang terkena tendangan tadi dan bersiap menerima serangan berikutnya. Tepat saat lawannya akan melayangkan pukulan pada wajahnya, seketika pintu ruang kelas terbuka dan pukulan tersebut ditangkap oleh seseorang yang tidak diketahui. Seseorang itu adalah laki – laki yang mengenakan jaket bomber berwarna hitam melapisi baju seragam sekolahnya. Kiki benar – benar bingung dan terkejut. Sejak kapan orang itu ada di sini ?
"Hasan ?!", geram sang kakak kelas yang hampir menghajar Kiki itu.
"Saatnya stop, Mardi. Anak – anak mulai balik ke kelas masing – masing.", balas sang pahlawan misterius.
Hasan ? Hasanudin Al Musharaf ?
Kiki teringat akan sosoknya yang tadi sempat dibicarakan teman – temannya. Kini ia melihatnya secara langsung untuk pertama kalinya. Ia kini juga mengetahui nama kakak kelas yang ia lawan adalah Mardi. Ia melihat kedua kakak kelas ini berhadapan dan saling menatap tajam. Mardi menarik tinjunya dari telapak tangan Hasanudin dan pergi meninggalkan ruang kelas bersama temannya. Ia menatap Hasanudin dengan sinis sesaat sebelum keluar dari ruangan.
Hasanudin pun berbalik untuk meninggalkan ruangan. Ia menatap Kiki sesaat dengan datar tanpa mengucapkan sepatah katapun, lalu berjalan keluar.
"Bang Hasan !", sahut Kiki, meemcah keheningan.
Hasanudin berhenti dan sedikit berpaling untuk merespon Kiki dengan matanya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantung jaket bombernya.
"Makasih bang . . . karena udah nyelametin gue", tutur Kiki.
Hasanudin tetap tidak berkata apa – apa untuk membalas. Wajahnya pun tetap datar tanpa ekspresi. Ia kembali berpaling dan seketika berjalan ke luar ruangan, menghilang dari hadapan Kiki.
Kiki menarik nafas panjang untuk meringankan rasa sakitnya. Ia membantu siswa seangkatannya itu untuk bangun, memapahnya untuk duduk di kursi terdekat.
"Makasih . . . udah bantuin gue", ucap siswa itu.
"Sama – sama, bro", balas Kiki.
Ia ingin bertanya tentang asal muasal konflik tadi pada siswa itu, namun jelas ini bukan saat yang tepat.
"Bang Mardi sebenernya bukan orang yang bisa kita lawan pake fisik. Dia terlalu jago berantem . . . Master Karateka", beritahu siswa itu.
"Gue sadar itu di ujung pertarungan", akui Kiki.
"Gue rasa . . . sekarang saatnya lo juga pergi. Nanti temen – temen kelas gue bingung ngeliat lo di sini berdua sama gue dengan gue yang kesakitan gini. Lo bisa dianggap abis berantem sama gue", saran siswa itu pada Kiki.
"Iya, bener. Kalo gitu, gue cabut dulu dari sini", respon Kiki.
Siswa itu hanya mengangguk dengan wajah yang kesakitan.
"Ngomong – ngomong, siapa nama lo ?", tanya Kiki.
"Jonny. Jonathan Sinurat.", jawab sang siswa.
"Oke, gue cabut ya, Jon. Usahain jangan sampe dilabrak Bang Mardi lagi", Kiki memperingatkan.
Kiki pergi meninggalkan ruangan kelas XI-IPS 2, dan mendapati Muzammil, Edo, dan Hadi berjalan menghampirinya.
"Ki, lo habis ngapain dari kelas Sos 2 ?", tanya Hadi.
"Gue sempet liat Bang Mardi, Bang Raymond, dan Bang Hasan jalan dari arah Sos 2 sih pas kita turun tangga", timpal Muzammil.
"Apa jangan – jangan lu abis berantem sama Bang Mardi dan Bang Raymond barusan di Sos 2 atau koridor ?", tanya Edo.
Karena mereka nampaknya sudah mulai menyusun petunjuk – petunjuknya, tidak ada gunanya lagi untuk menutupi.
"Iya, Do. Tadi gua sempet berantem sama Bang Mardi" akui Kiki dengan berat hati. Suaranya masih terdengar sedikit terengah – engah karena kelelahan.
"Lah ?! Kok bisa, Ki ?!", tanya Muzammil.
"Pas gua ngambil BB di kelas, gua denger ada ribut – ribut orang debat dari kelas Sos 2. Gua nguping dikit, dan ternyata itu Bang Mardi sama temennya lagi ngelabrak temen seangkatan kita yang namanya Jonny, Jonathan Sinurat. Gua berusaha ngelerai dan nawarin diri jadi mediator, tapi Bang Mardi malah nyerang gua", Kiki menjelaskan.
"Wah, harusnya lu nggak usah ikutan, Ki ! Bang Mardi orangnya nggak suka dilerai, apalagi sama adek kelas", Edo menanggapi.
"Gua nggak tega biarin Jonny dihajar sementara gua juga udah saksiin konfliknya dari balik pintu, Do. Dia juga salah sih di masalah itu, tapi dia nggak seharusnya dihajar begitu aja. Gua nggak nyangka Bang Mardi bereaksi sekeras itu", balas Kiki.
"Gua rasa perkaranya pasti karena ceweknya Bang Mardi, si Chintya. Jonny juga anaknya playboy, dan sebelom jadian sama Bang Mardi, dia sama Chintya temenan tapi mesra", tebak Edo. Tebakan yang tepat sasaran sekali.
"Iya bener, Do. Emang karena itu masalahnya. Bang Mardi nggak terima Jonny masih deket sama Chintya", Kiki mengkonfirmasi.
"Kedepannya kalo bisa jangan sampe berhadapan sama Bang Mardi lagi, Ki !", Hadi mengingatkan.
"Gue juga nggak mau berantem, Di. Tapi kalo gue mergokin dia begitu lagi, gue akan coba stop dia lagi", tegas Kiki.
"Ivan Mardi Rasyid, biasa dipanggil Bang Mardi, dia pentolan tersangar sekolah kita saat ini. Bang Mardi ini anggota dan Wakil Ketua Ekskul Karate, udah make sabuk item level Dan-2. Walopun jagoan bela diri, Bang Mardi ini sifatnya kasar dan temperamental. Dia gampang cari masalah dan pastinya paling seneng ngeladenin masalah. Dia bukan orang yang bisa lo lawan kalo lo ga punya skill bela diri yang selevel sama dia", Hadi menjelaskan.
Dia bukan orang yang bisa lo lawan, Kiki masih ingat betul Jonny mengingatkan hal yang sama tadi.
"Mendingan hindarin masalah daripada terlibat, Ki. Kita suka sama niat baik lo, walaupun kita bertiga baru kenal lo. Biarin aja Bang Mardi begitu, ngga bakal ada yang bermasalah sama dia selagi si Jonny mau merendah dan langsung minta maap sama dia begitu dia sewot. Toh dia juga udah lulus tahun depan kan abis UN (Ujian Nasional) dan kita naik gantiin posisinya jadi yang teratas", tambah Hadi.
"Gua salut sama nyali dan niat lu, Ki. Tapi kalo lu mau dengerin kita, bagusnya jangan pernah lagi lu berhadapan sama Bang Mardi apapun sikonnya, buat kebaikan lu !", ujar Muzammil sambil menepuk pundak Kiki.
Kiki tersenyum mendengar nasihat teman – temannya. Mereka baru mengenalnya beberapa jam, namun langsung menunjukkan perhatian besar akan keselamatannya.
"Gue apresiasi perhatian lo semua, thanks guys. Tapi gue nggak akan biarin siapapun dalam kesusahan, terlebih lagi mereka yang lagi jadi korban senioritas. Itu udah jadi prinsip hidup gue sebagai anak sekolahan", ucap Kiki.
Ketiga temannya hanya bisa menggelengkan kepala, namun terlihat bangga dengan determinasi Kiki.
"Gue denger juga tadi Bang Mardi nerapin senioritas ke angkatan kita karena anak – anak angkatan kita mulai pada ngelunjak sama kakak – kakak kelas. Gue nggak tau asal muasalnya gimana, tapi menurut gue senioritas ala Bang Mardi tetep aja nggak bener", cerita Kiki.
"Gua kayaknya inget sejarahnya. Kita bahas kapan – kapan, ini udah mau bel masuk", respon Edo.
"Ngomong – ngomong tadi ada Bang Hasan juga tuh", celetuk Muzammil.
"Bang Hasan selamatin gua dan Jonny tadi. Kalo bukan karena dia, gua udah bonyok sekarang. Dia dateng tiba – tiba, cepet banget sampe gua nggak tau kapan dia masuk ke Sos 2", respon Kiki menjelaskan.
"Alhamdulillah, beruntung lu hari ini, Ki. Bang Hasan beda banget sama Bang Mardi, dia nggak suka berantem. Tapi dia jago banget soal itu, malah mungkin ngelebihin Bang Mardi", komentar Edo.
Kiki menyaksikan sendiri betapa gesitnya pergerakan Hasanudin walau hanya satu tangkisan. Dia bahkan memprediksi gerakan Mardi dari balik pintu ruangan kelas XI-IPS 2. Namun yang lebih mengusik rasa ingin tahu adalah bagaimana ia mengetahui bahwa sedang ada pertikaian di XI-IPS 2 ? Dan mengapa ia datang membantu ? Sosok Hasanudin yang misterius nampaknya menyimpan banyak rahasia menarik dibalik wajah tampan dan kesaktiannya dalam seni bela diri.
"Eh, udah bunyi aja belnya ! Yok dah balik ke kelas !", seru Hadi.
Empat sekawan kelas XI IPS-1 itu berjalan bersama memasuki kelas mereka bertepatan dengan bunyi bel tanda istirahat pertama berakhir. Kiki tidak langsung menduduki tempat duduknya. Ia menunggu Ica yang berjalan memasuki ruangan kelas dan menempati tempat duduknya di dekat dinding. Ia lalu duduk dan bertukar senyum dengannya.