Setelah satu hari yang sangat santai, akhirnya aktivitas bersekolah yang sebenarnya terasa hari ini, hari Selasa tanggal 13 Juli 2010. Ica berjalan menyusuri sisi lapangan utama SMA Cijantung yang baru kemarin menjadi lokasi acara Ekskul Expo. Dengan apa yang terjadi kemarin, Ekskul Expo tahun ini mengukir kenangan yang tak terlupakan bagi para siswa – siswi SMA Cijantung yang berada di lokasi. Duel antara Mardi melawan Hasanudin merupakan hal yang sangat tak terduga, lebih bisa disebut ceroboh dari sisi Mardi, mungkin.
Lucunya, duel tak terduga tersebut tidak hanya membuat popularitas Hasanudin yang tertutup menyaingi pacarnya dalam satu hari, namun juga membuat ekskul – ekskul seni bela diri kebanjiran anggota baru pada tahun ajaran baru ini. Hampir di setiap sudut sekolah yang ia lewati menuju ruang kelas, Ica mendengar siswa – siswi berseragam putih abu – abu atau yang berseragam SMP asalnya masing – masing membicarakan momen – momen yang terjadi pada Ekskul Expo sesi kedua siang kemarin.
Bagi Ica, tidak ada yang benar – benar istimewa dari momen – momen kemarin. Sebagai anggota ekskul Mading, mungkin ia dan teman – temannya akan mendapatkan bahan untuk berita tersensasional dari Ekskul Expo tahun ini. Sebagai seorang siswi kelas XI-IPS 1 SMA Cijantung Jakarta Timur, tidak ada yang istimewa baginya. Ia dan Della menikmati kemeriahan Ekskul Expo kemarin, namun itu hanya acara tahunan yang kemeriahannya berlalu begitu saja. Terutama sebagai anak sekolahan yang tidak masuk dalam lingkungan pergaulan siswi – siswi eksis, kemeriahan acara sekolah hanya jadi bagian dari rutinitas.
Namun, selalu ada rasa senang menyaksikan Nadira.
Nadira sudah menjadi idola Ica semenjak ia duduk di kelas X. Nadira merupakan gadis yang cantik, bertubuh ideal, cerdas, dan karismatik. Semua itu fakta yang nyaris tak disanggah oleh setiap siswa – siswi SMA Cijantung saat ini, disempurnakan dengan jabatannya sebagai Ketua OSIS SMA Cijantung Jakarta. Nadira bak dewi yang dipuja satu sekolah. Siswa – siswi di SMA Cijantung mengagumi dirinya dan ingin berada di lingkaran pertemanannya, dan para guru membangga – banggakan dirinya.
Betapa indahnya punya kehidupan seperti Nadira.
Betapa Ica mengimpikan menjadi seperti Nadira.
Setiap menyaksikan Nadira, ada kesedihan pada lubuk hati Ica yang terdalam meskipun mengidolakannya selalu menyenangkan. Baginya, Nadira punya semua yang ia tidak. Nadira memiliki paras yang cantik jelita, sedangkan ia merasa tidak. Nadira memiliki tubuh langsing yang berlekuk, sedangkan ia merasa agak bergelambir. Nadira begitu pandai bergaul dan menyelesaikan masalah, sedangkan ia merasa dirinya tidak layak untuk banyak bergaul dan cenderung menghindari masalah sebisa mungkin. Sungguh malang seorang Aisyah Widya Fadillah.
Menjalani kehidupan sebagai seorang siswi SMA dalam insekuritas bukan hal yang mudah. Ica selalu merasa tidak layak dan tidak mampu untuk mencoba sesuatu yang ia persepsikan bukan untuknnya. Sahabatnya, Faradilla Dewantari, memiliki pribadi yang lebih periang, dan tak pernah bosan mengingatkan Ica untuk tampil lebih percaya diri. Namun, setiap percobaan selalu berakhir pada kegagalan. Ica ingin tampil lebih cantik, namun takut akan mengundang laki – laki yang mungkin hanya akan mencintai penampilannya. Ica juga ingin lebih komunikatif, namun takut akan membuat percakapan yang membosankan.
Semua rasanya serba salah, dan karenanya hidup Ica selalu hambar dan tidak pernah berubah.
Setibanya di ruang kelas, Ica berhenti sejenak di tempat duduknya. Ia berdiri mematung memandangi tempat duduk Kiki yang masih kosong, belum ada tanda – tanda orangnya.
Ia merasa ada sesuatu yang berbeda karena Kiki.
Selama setahun bersekolah di SMA Cijantung, Ica merasa hidupnya biasa – biasa saja. Namun entah mengapa suasana hatinya mulai berubah di momen pertemuannya dengan Kiki di Koperasi Sekolah. Ia merasa dirinya aneh karena merasa hari – harinya mulai berbeda. Itu hanya momen kebetulan saja di Koperasi Sekolah, dan banyak laki – laki lain dari kalangan seangkatannya atau kakak kelas yang berusaha berbuat baik kepadanya untuk mendapatkan hatinya seperti itu. Tapi tidak ada yang menyentuh hatinya.
Atau mungkin mereka kurang berjuang . . .
Tapi dengan Kiki, momen basi itu berasa berbeda. Ia merasakan gejolak dalam hatinya. Kali ini bukan rasa gugup karena diperlakukan dengan baik oleh seorang laki – laki, itu sudah sering dialami gadis pemalu seperti dirinya. Kehadiran Kiki di sekolah ini entah mengapa membuat suasana hatinya bersekolah mulai terasa berbeda, dan ia sendiri pun tidak tau bagaimana menjelaskannya. Mereka baru saling mengenal nama dan rupa, tentunya tidak ada yang istimewa dari situ. Seharusnya begitu . . .
Ah, apaan sih ! Yaudah lah, pikirnya.
Ica berusaha menepis semua pikiran – pikiran aneh yang ada di kepalanya dan mulai menempati tempat duduknya. Ia menyapa dua – tiga orang teman – teman sekelasnya yang duduk agak jauh dari barisannya. Ica tidak mengenal nama mereka, mereka tidak sekelas dengannya ketika duduk di kelas X-A dulu dan bukan sesama anggota ekskul Mading seperti Della dan dirinya. Tetapi sebagai Wakil Ketua Kelas, ia sadar betul pentingnya mengenal seluruh warga kelas.
"Eh, Ica ! Udah di sini aja pagi – pagi !", sapa Sherin yang baru saja tiba di kelas bersama satu lagi teman sekelas mereka Lia, yang mengenakan kacamata.
"Hey, Sherin ! Lia juga !", balas Ica menyapa, melambaikan tangannya dengan wajah sumringah. "Iya dong udah sampe pagi – pagi, kelamaan di rumah nanti bisa tidur lagi gue".
Keduanya menghampiri Ica dan memeluknya bergantian, lalu menempati tempat duduk di belakang tempat duduk Ica dan Kiki yang kemarin di tempati dua orang yang berbeda.
"Iya sih, kalo gue jadi lo yang tinggal di belakang sekolah, gue mah berangkatnya 15 menit sebelom aja", balas Ica.
"Justru kalo lo yang tinggal di belakang sekolah, lo mesti berangkat lebih pagi kali ! Lo kan kebo banget kalo tidur, pernah sampe ketiduran ngelewatin dua jam pelajaran PKN di kelas X dulu", ledek Lia.
"Gue inget banget tuh, ya Allah ! Parah banget emang lo waktu itu, Sher !", kenang Ica sambil tertawa.
"Mau gimana lagi ? Pak Nurhadi kalo ngejelasin bikin ngantuk banget, cuma ngebacain buku paket gitu doang. Ya gue tidur aja lah, mumpung beliaunya juga selow banget jadi guru", Sherin membela dirinya.
"Eh, ngomong – ngomong lo juga parah banget sih Sher ikut – ikutan ngajuin gue jadi Wakil Ketua Kelas !", rengek Ica.
"Ih, bagus tau lo jadi Wakil Ketua Kelas, Ca ! Kita udah kenal lo dari kelas X, dan kebiasaan teratur lo itu cocok banget buat ngelola kelas. Bener nggak, Li ?", kata Sherin sambil menoleh pada Lia.
"Bener, Sher !", Lia mengangguk dengan semangat. "Lagian di lo-nya juga enak tau jadi Wakil Ketua Kelas, bisa lolos terus dari guru – guru yang killer soal nilai ! Terus Ketua Kelas-nya juga ganteng", lanjutnya.
Satu kalimat terakhir membuat wajah Ica sedikit memerah.
"Kalo Wakil Ketua Kelasnya pemales juga nggak bisa lolos dari nilai jelek tau, Li !", sanggah Ica. "Trus . . . kenapa kalo Ketua Kelasnya ganteng ? Apa hubungannya itu sama kerjaan gue jadi Wakilnya ?", tanya Ica dengan gelisah.
"Ya jadi enjoy dong lo ngejalaninnnya, kan ? Punya partner kerja yang cakep itu beneran naikin semangat tau ! Cari pemandangan jadi nggak perlu jauh – jauh !", jawab Lia.
"Based on true story by Lia", celetuk Sherin cekikikan.
"Siapa tau kan lo bisa kayak gue, Ca ? Jadian sama Jefri berawal dari satu kelompok di mapel Bahasa Indonesia. Karena tugas akhir bikin drama jadi tokoh utama, gue sama dia jadi cinlok. Tapi semua berawal dari gue nikmatin gantengnya dia tiap lagi ngumpul belajar kelompok", kenang Lia dengan wajah berseri - seri.
"Apalagi lo sebangku nih sama si Ketua Kelas, Ca ! Kemungkinannya bakal lebih tinggi buat lo cinlok ini mah !", timpal Sherin.
Ampun deh. Ica hanya bisa pasrah dan bertahan sekuat – kuatnya seperti peserta uji nyali acara TV mistis jika kedua teman sekelasnya dari kelas X ini sudah menggiringnya ke topik tentang laki – laki. Mereka berdua sungguh beruntung sudah mendapatkan pacar dengan cara yang berkesan.
"Ih, apaan si kalian nih ! Tau – tau topiknya udah soal cowok aja !", semprot Ica.
Sherin dan Lia saling bertatapan sejenak, lalu kembali menatap Ica dan tertawa.
"Emang sengaja tau kita, Ca !", akui Lia.
"Lia bener juga, kok. Ketua Kelas kita si anak baru mayan cakep aja walaupun gayanya biasa – biasa aja. Bener – bener persis lo deh kalo dipikir – pikir, simple tapi cakep alami !", timpal Sherin.
"Gue baru kenal Kiki kemaren tau ! Masa udah dijodoh – jodohin aja sih ? Kalian jadi ikut – ikutan cowok – cowok rusuh yang bikin gue dan Kiki jadi mimpin kelas nih !", protes Ica.
"Gue rasa mereka pun juga nganggap Kiki cocok sama lo, Ca. Kiki ini juga keliatannya anak baik – baik sih, nggak kayak cowok – cowok yang pernah nyoba deketin lo sebelomnya", terang Sherin.
"Kalo menurut lo sendiri, Kiki itu anaknya gimana, Ca ? Kan lo udah sempet ngobrol – ngobrol dikit sama dia kemaren sebelom Bu Diah masuk tuh", tanya Lia.
Ica terdiam dengan mulut menganga. Ya ampun.
"Ya . . . ya ngga gimana – gimana sih ! Gue belom bisa nilai dia kalo baru ngobrol segitu doang, kan ?", tutur Ica dengan gugup. Kegugupannya tak luput dari Sherin dan Lia.
"Paling ngga dari cara dia ngomong, gerak – geriknya, dan tatapannya deh. Gimana Kiki itu orangnya kalo menurut lo ?", desak Sherin. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Ica dengan senyuman yang menakutkan.
"Eh, Sher . . . ehm . . . ya Kiki kayaknya sih baik anaknya. Dia juga ramah . . . trus dia juga . . .", jawab Ica terbata – bata.
"Trus juga apa ? Juga boyfieable, yah ?", timpal Lia, ikut mendekatkan wajahnya pada Ica.
"Duh ! Emang nih yah lo berdua dari kelas X demen banget nyiksa bestie kita yang cantik dan agak semok ini !", sahut Della yang berjalan santai ke arah mereka dari pintu ruang kelas XI-IPS 1.
"Tau nih, Del ! Masa gue udah dijodoh – jodohin aja sama cowok yang baru gue kenal kemaren ?", respon Ica.
Sherin dan Lia menyambut Della yang juga merupakan teman sekelas mereka di kelas X-E pada tahun ajaran lalu. Mereka beranjak dari tempat duduk lalu secara bergantian memeluk dan mencium pipi Della, disusul oleh Ica. Mereka mempersilahkan Della untuk duduk di sebelah Ica, di tempat duduk Kiki yang masih kosong.
"Abisnya seru sih ngomongin cowok sama Ica, Del ! Dia pasti gugup dan ngomel – ngomel kalo didorong buat deketin cowok !", celetuk Sherin sambil tertawa.
"Emang seru sih ! Ah, gue juga pengen ikutan jadinya. Sorry yah, Ca !", canda Della.
Sherin dan Lia tertawa mendengarnya, sementara Ica semakin merengut.
"Ih, jahat banget ah, lo Del ! Gue kira lo dateng buat nyelametin gue dari duo penggossip ini !", rengek Ica.
"Selow, Ca ! Gue cuma pura – pura, kok. Gue pengen ngeliat lo ngerengek dulu, gemesin soalnya !", balas Della sambil mencubit pipi Ica yang memang terlihat menggemaskan itu.
"Yah, Del ?! Ga asyik lo nih !", ledek Lia dengan tawa.
"Pastinya siapa sih yang ngga mau liat sahabat kita yang satu ini jadian, girls ? Gue juga mau kali, tapi kita perlu kupas tuntas dulu apa aja yang bikin Ica masih jomblo sampe sekarang", terang Della.
"Lo juga masih jomblo", gumam Ica sambil mengusap pipinya yang baru saja dicubiti Della.
"Tapi gue mah udah sempet PDKT sekali", semprot Della sambil meledek Ica dengan menjulurkan lidahnya.
"Tahun lalu, Ica di deketin sama empat cowok sepanjang kelas X. Tiga orang temen seangkatan, satunya kakak kelas", ungkap Lia.
"Yup, yang dimana dua orang di antaranya nggak layak buat Ica. Perlu gue perjelas nih ya, nggak layak itu beda sama nggak cocok. Kalo nggak cocok itu paling nggak masih oke buat nyoba dulu deketin, tapi kalo nggak layak itu berarti nggak boleh deketin Ica dari awal !", tutur Della.
"Tiga dari angkatan kita si Rico, Alvin, sama Aryo. Kalo yang kakak kelas tuh Kak Riza", sebut Sherin, mengingat.
"Rico sih anaknya asyik dan gaul, tapi dia playboy juga kayak Jonny. Alvin sih keliatannya baik – baik aja, tapi dia buru – buru banget ah ngedeketin Icanya. Kalo Aryo, dia anaknya pinter dan nggak banyak tingkah. Rada pemalu kayak Ica juga sih, tapi sayangnya dia kaku banget pas ngedeketin Ica", Della menjelaskan.
"Yang berarti Rico nggak layak karena sifat playboynya, kalo Alvin sama Aryo itu nggak cocok karena caranya ngedeketin Ica ngga bagus ?", Lia menyimpulkan, mengisyaratkan konfirmasi akan kebenaran pernyataannya dari tiga lainnya.
"Yes, bener Lia !", Della mengkonfirmasi.
"Dua orang tanpa pengalaman plus satu orang kebanyakan pengalaman ngedeketin satu cewek tanpa pengalaman. Ya wajar aja kemungkinan jadiannya nyaris nol persen", celetuk Sherin.
Ica meliriknya dengan bibir manyun dan wajah merengut, namun Sherin menenangkannya dengan mengusap pipi Ica.
"Trus kalo Kak Riza gimana ? Ica nggak cerita nih soal Kak Riza !", lanjut Sherin, kembali beralih ke Della.
"Gue ceritain nggak nih, Ca ?", tanya Della berhati – hati.
Sherin dan Lia menoleh pada Ica. Ica terdiam sejenak, lalu menganggukkan kepalanya dengan pelan. Wajahnya mengisyaratkan perubahan suasana hati.
Della merapihkan jilbabnya dan menghela napas.
"Kak Riza itu sebenernya yang paling cocok buat Ica. Dia ganteng, nggak eksis – eksis banget, dan nggak playboy. Kak Riza itu juga senior kita di ekskul Mading waktu itu. Ica pun suka juga sama dia karena sering ngobrol pas kumpul Mading. Dua – duanya juga lagi jomblo lagi saat itu", cerita Della. "Masalahnya cuma satu . . .", lanjutnya dan terhenti.
"Wah, gue baru tau nih ! Kok lo ngga cerita sih, Ca ?", respon Lia dengan antusias sambil menoleh ke Ica.
Ica bingung harus merespon apa. Hatinya berkecamuk.
"Ehm . . . sorry ya, Sher, Li. Gue — gue nggak mau cerita saat itu karena gue nggak mau galau di saat lo lagi pada seneng – senengnya baru jadian. Gue juga pengen cepet ngelupain", ungkap Ica. Suaranya agak lirih.
"Ya ampun, selow aja sih, Ca. Justru di saat kita happy itu saat terbaik buat kita ngesupport sahabat yang lagi galau", respon Sherin sambil mendekat pada Ica untuk mengusap rambut panjangnya yang tebal dan hitam mengkilap.
"Ya udah, Ca. Sekarang kan udah berlalu, kan ? Jadi udah enakan lah buat bahas ini", timpal Lia dengan senyuman yang menenangkan. "Trus masalahnya apa tadi yang mau lo bilang, Del ?", lanjutnya, menoleh pada Della.
Della melirik Ica dan menggerakkan alisnya, lalu Ica meresponnya dengan mengangguk sambil tersenyum.
"Masalahnya . . . saat itu Kak Riza juga disukain Kak Anna", ungkap Ica. Sherin dan Lia terkejut mendengarnya.
"Itu masalahnya ?! Trus kenapa dah ? Kan Kak Riza ngedeketinnya elo, bukan Kak Anna !", tanggap Sherin.
"Masalahnya itu Kak Anna jadi cemburu sama Ica, dan konyolnya malah jadi sebel sama Ica juga !", respon Della.
"Kok segitunya banget deh ?! Dia kan eksis dan cantik banget, masih banyak banget cowok ngantri buat dia kalo Kak Riza nggak mau", gerutu Lia.
"Kalo menurut gue nih ya, buat cewek kayak Kak Anna, penolakan dari cowok itu ngelukain gengsinya banget. Kak Anna selalu dideketin cowok, dan dia pasti mikirnya karena Kak Riza temen sekelasnya pas di kelas XI dulu dan cukup akrab, Kak Riza pasti akan jadian sama dia. Tapi ternyata Kak Riza sukanya malah sama Ica", Della menjelaskan.
"Kak Anna emang ngeselin orangnya kadang – kadang, rada sombong juga sih kalo kata beberapa orang. Tapi tetep aja dia salah satu cewek tereksis di sekolah, sahabatnya Kak Nadira yang jauh lebih ramah, dan gue sekalipun lebih memilih nggak mau bermasalah sama dia", akui Sherin.
"Karena itu, Kak Riza nggak layak buat Ica. Karena dia disukain sama Kak Anna, dan buat Kak Anna ngga ada dan nggak boleh ada persaingan soal cowok sama dia. Kalo Ica lanjut PDKT sama Kak Riza bahkan sampe jadian, Kak Anna bakal ngebully dia terus selama dia masih di sini", ungkap Della. Sherin dan Lia mengangguk mengakui keberanannya.
"Itu dia makanya gua nggak mau ngurusin soal cowok dulu, ah ! Gue nggak mau dimainin cowok, gue nggak mau bermasalah sama cewek lain, dan gue nggak mau fokus belajar gue keganggu !", tegas Ica. "Kak Anna aja sampe sekarang masih sinis banget kalo papasan sama gue. Rasanya nggak nyaman banget tau digituin, gue takut !", tambahnya. Wajahnya tampak tegang.
"Iyah, Ca. Sekarang gue ngerti kok kenapa lo ngga suka ngobrolin cowok. Tapi kalo kita suka nyerempet – nyerempet kesana, maklumin aja yah ! Cuma buat seru – seruan aja kok, kita nggak akan ngedorong lo lagi", Lia meyakinkannya dengan penuh simpati.
"Iyah, Li, gapapa kok. Gue juga seneng kalo ngegossip soal cowok – cowok di sekolah sama lo semua atau dengerin curhatan lo dan Sherin soal pacar", balas Ica dengan ramah.
"Oiya, ngomong – ngomong kemaren gue nggak liat Kak Riza di Ekskul Expo", celetuk Sherin.
"Dia udah pindah sekolah, Sher. Dia pindah ke SMA Pasar Minggu di Jakarta Selatan. Dia ngabarin gue abis terima raport kenaikan kelas", ungkap Ica.
"Oh ! Nanggung banget nggak sih ? Dia kan naik ke kelas XII, tinggal setahun lagi aja abis itu lulus", respon Sherin.
"Gue juga nggak tau kenapa, dia nggak cerita. Abis gue ngejauhin dia karena Kak Anna suka sama dia, gue jarang komunikasi lagi sama dia. Sekalinya dia hubungin gue, dia ngebbm gue ngabarin kalo dia pindah sekolah dan minta maaf buat semua kesalahan dia, terutama yang menurut dia mungkin bikin dia menjauh. Abis itu kita nggak komunikasi lagi. Dia bahkan udah punya pacar sekarang, gue ngeliat di Facebooknya", kenang Ica.
"Aduh, yang sabar yah, Ica ! Yaudah, yang penting sekarang dia juga udah seneng di sana dan baik – baik aja sama lo. Lo bener itu kalo lo nggak mau mikirin cowok dulu, lo punya kita sahabat – sahabat lo yang selalu di sini bikin lo seneng !", hibur Lia.
"Makasih yah, Lia. Makasih yah semuanya !", tutur Ica dengan haru. Setitik air mata menetes dari kedua matanya. Ia kemudian merangkul ketiga sahabatnya dan tertawa cekikikan bersama.
"Masih pagi udah unyu – unyuan aja tiga bayi ini !", sahut Mutmainah yang baru saja tiba di kelas dan menaruh tas ranselnya.
Suara Mutmainah mengejutkan mereka karena cukup menggelegar untuk ukuran suara remaja perempuan. Siswi berhijab itu memiliki postur yang agak gemuk dan tinggi, kira – kira setinggi Kiki menurut Ica. Ica pun mengakui bahwa bila disandingkan dengan Mutmainah, tubuhnya masih terkesan ramping. Dan memang sebenarnya ramping, namun sedikit berisi saja. Sahabat – sahabat dan teman – temannya, bahkan laki – laki yang mendekatinya, menyebut tubuhnya ideal dan memikat, namun ia dengan cerobohnya tidak percaya. Tetap saja Mutmainah jauh lebih besar, tapi rasa percaya diri dan keberaniannya bahkan jauh lebih besar lagi. Ica merasa heran apa rahasia percaya diri Mutmainah.
"Sini dong gabung pelukan juga sama kita, Mut !", seru Sherin dengan riang.
"Yakin lo ? Kalo gue ikutan, nanti lo semua gepeng gara – gara gue peluk !", balas Mutmainah sambil berjalan ke tempat mereka berkumpul.
"Kalo gitu jangan deh, apalagi gue udah kurus gini !", sahut Lia dengan tawa.
"Lah, ini si Ketua Kelas masih belom dateng ?", celetuk Mutmainah. "15 menit lagi bel masuk nih !"
"Belom, Mut", jawab Sherin. "Eh, menurut lo cocok nggak kalo Ica jadian sama si Kiki ?", tanya Sherin bersemangat.
"Ish, Sher ! Kok mulai lagi sih ?!", sahut Ica.
"Ica sama Kiki ? Cocok aja sih kayaknya. Kalo Ica nggak mau, kasih ke gue aja", jawab Mutmainah dengan santai.
"Buset ?! Lo pengen juga sama Kiki ?!", jerit Lia.
"Juga ?! Li, gue ngga pengen —", protes Ica.
"Kalem, Ca ! Kalem !", ujar Della sambil tertawa.
"Kenapa nggak ? Dia pindahan dari SMA Mahakam. Dia bisa bawa gue kencan ke sekitar sana, banyak kuliner enak. Tapi dia harus siapin uang jajan lebih, gue makan ngga ngotak. Gue putus sama mantan karena doi takut sama napsu makan gue", ujar Mutmainah. Semua tertawa karenanya.