Chereads / DEWASA / Chapter 10 - Episode 9 Gejolak Jiwa

Chapter 10 - Episode 9 Gejolak Jiwa

Seminggu berlalu sejak insiden di Kantin Sekolah itu. Ica tak menyangka keputusannya untuk jajan di Kantin berujung pada ketakutannya terbesarnya. Memang selalu ada kemungkinan untuk berpapasan dengan Anna di sudut manapun di sekolah, begitupun juga dengan Nadira atau Akeera. Namun mendapatkan kata – kata menyakitkan darinya di depan Della dan idolanya, Nadira, merupakan ketakutan terbesarnya yang ia selalu berharap tak akan pernah terjadi.

Pada akhirnya terjadi juga, Selasa lalu . . .

Gue pun bingung sebenernya kenapa Riza suka sama adek kelas yang satu ini, nothing special ! Dan yang satu ini — masih jadi cewek hambar yang sama kayaknya.

Kata – kata menyakitkan itu terus terngiang – ngiang di telinganya, menggema di pikirannya, dan membekas di hatinya. Semenjak itu, setiap malam sebelum tidur, ia akhirnya mendapat kesempatan untuk menangis. Sepanjang hari, ia selalu berjuang meredam rasa sakitnya, tak ingin seorang pun menyadari bahwa ia sedang tak baik – baik saja. Ibunya mulai mencurigai rasa sakit yang dipendamnya, namun ia selalu berhasil meyakinkan bahwa ia baik – baik saja. Hingga saat ini, hanya Della yang tau keadaannya.

Malam ini pun, ia kembali menangis.

Ica menangis terisak di kamarnya, berbaring tengkurap di kasurnya sambil memendam wajahnya di bantal kepala. Wajahnya sembab, air mata mengalir deras dari matanya yang berwarna cokelat. Hidungnya yang tidak mancung, namun tak juga pesek, memerah karena menangis. Sudah setengah jam ia lalui dengan menangis, dan kini ia mulai merasa letih. Saatnya untuk tidur, lupakan semua sejenak.

Ica berjalan menuju kamar mandinya yang ada di dalam kamarnya. Ia tidak hendak berwudhu, ia sudah menunaikan shalat Isya pada pukul 20.00 lalu. Ia juga tidak hendak menyikat gigi, itupun sudah dilakukannya sebelum berwudhu. Ia pun tak sedang merasa ingin buang air.

Ia hanya ingin bercermin. Melihat dirinya yang "hambar".

Ia menatap bayangannya pada cermin dengan wajah yang datar dan berantakan karena baru selesai menangis. Ia mengenakan daster batik tanpa lengan bertali tipis yang membalut tubuhnya hingga lutut. Ia terdiam dan merenungi kata – kata menyakitkan Anna di depan cermin, mengamati setiap partikel dirinya yang terlihat di cermin. Mungkin Anna benar, mungkin dirinya memang hambar dan tidak ada yang menarik pada dirinya. Ia tak melihat apapun.

Ia mulai membandingkan dirinya dengan ketiga kakak kelas itu. Ia merasa kulitnya yang berwarna kuning langsat cerah masih terlihat kusam bila disandingkan dengan kulit Anna yang putih bersih. Ia bahkan membandingkan tubuhnya dengan Akeera yang sama rampingnya dengan sahabatnya, Lia. Ica sudah sering mendengar bahwa laki – laki kurang menyukai perempuan yang bertubuh ramping, yang berarti sedikit lebih kurus dari langsing, namun bagi Ica itu setidaknya lebih baik daripada postur tubuh seperti dirinya.

Ia memandangi bahunya yang terekspos karena model daster tanpa lengannya. Bahunya tidak nampak seperti gadis yang gemuk, justru sebenarnya berbentuk persis seperti bahu Anna yang ia lihat photoshootnya di majalah Hai ! edisi minggu lalu. Kalo dipikir – pikir, postur tubuhnya mendekati bentuk Anna, namun Anna sedikit lebih tinggi, dan lebih kencang karena rutin berolahraga. Tentu saja, seorang model remaja seperti Anna harus terus menjaga bentuk tubuhnya agar tetap seksi dan bugar.

Lalu sebenarnya apa bedanya dengan dirinya ?

Ia berpikir Anna dapat mendapatkan semua itu karena terlahir dari keluarga yang kaya raya. Gadis seperti Anna mungkin difasilitasi oleh keluarganya untuk mempercantik diri dan mendapatkan perawatan tubuh terbaik layaknya seorang putri Raja. Ica lahir dari keluarga yang berkecukupan, dan ia menyadari bahwa banyak model remaja juga berasal dari latar belakang sepertinya. Mungkin semua itu hanya karena dirinya ingin tampil sebagaimana siswi normal, tidak ingin menonjol dan bersolek.

Jauh di lubuk hatinya, ia menginginkan lebih . . .

Ia ingin tampil lebih cantik, tampil lebih menonjol, dan tidak terlihat hambar. Ia ingin berdandan seperti para gadis belia lainnya yang sedang beranjak dewasa, ingin memikat seorang remaja laki – laki untuk menjadi pacarnya dan melengkapi kebahagiaannya. Ia ingin sesekali mengenakan pakaian yang sedikit seksi di tengah pergaulan remaja agar dipuji karena gaya berpakaian dan keindahan tubuhnya oleh orang lain, terutama sesama gadis belia sebayanya.

Dan karismatik seperti Nadira.

Menjadi seperti Nadira, itulah yang paling diinginkannya.

Nadira mungkin tidak secantik dan seseksi Anna, tapi tetap saja banyak sekali yang mengakui bahwa Nadira itu juga cantik dan seksi. Namun di atas semua itu, Nadira berkarisma tinggi, suatu kelebihan alami yang Anna pun tidak punya. Sepanjang Ica mengamati, Nadira selalu diagungkan kemanapun ia berjalan. Ia menyapa setiap siswa – siswi di SMA Cijantung seperti teman lama, dan berteman dengan siapapun tanpa memiliki musuh sedikit pun. Pacarnya Nadira pun tampannya tidak manusiawi, jauh di luar kemampuan komprehensif wanita.

Hasanudin yang pendiam dan misterius bagaikan makhluk mitologi, jarang terlihat namun diagungkan. Selama menjadi siswi kelas X pun, Ica nyaris tidak pernah melihat Hasanudin. Ia terkadang heran bagaimana bisa Nadira yang periang dan komunikatif berpacaran dengan laki – laki seperti itu. Apa karena ketampanan yang tidak manusiawi dan kesaktian ilmu bela dirinya ? Tidak ada penting – pentingnya memikirkan itu. Fakta yang utama baginya adalah Nadira itu gadis yang sempurna luar – dalam, dan mengingat momen di Kantin lalu, Nadira itu dewasa.

Dari sikap sopan – santunnya pada adik kelas seperti dirinya dan Della, dan caranya menangani sahabatnya yang bersikap buruk, hari itu Nadira tampak bijaksana di mata Ica. Nadira mungkin saja baru berusia 17 tahun, namun pribadinya sudah seperti Guru BK dibalik pesonanya yang seperti selebritis. Bagi Ica, Nadira adalah wanita dewasa.

Tapi apa sebenarnya dewasa itu ? Bagaimana ciri – cirinya ?

Ica pun sebenarnya tidak begitu mengerti apa arti dari kata dewasa, terlebih lagi maknanya yang terdalam. Ia hanya menilai Nadira itu dewasa karena sikapnya yang begitu ramah dan baik kepadanya dan setiap warga SMA Cijantung. Sikapnya yang meminta maaf atas nama Anna sebelum berpisah di meja Kantin hari itu juga dianggapnya sebagai bukti kedewasaan Nadira. Namun sebenarnya, Ica masih belum begitu yakin apa itu dewasa, dan apa artinya beranjak menjadi dewasa.

Tentunya dirinya masih belum dewasa. Ia masih menjadi remaja perempuan berusia 16 tahun. Ia masih memiliki banyak sifat kekanak – kanakan, dan masih mudah merasa sedih. Paling tidak, ia tak lagi mudah menangis di depan umum.

Mungkin ia akan menemukan makna dewasa suatu saat nanti. Sekarang, ia hanya ingin beristirahat.

Ica kembali berbaring di kasurnya yang nyaman dan mulai memejamkan mata. Seharusnya pada pukul 21.00 lalu dia sudah tertidur setelah mengerjakan PR, namun gejolak jiwa yang hebat membuatnya terjaga dan menangis selama setengah jam. Pukul 21.40 sudah cukup larut baginya, dan mungkin rasa letih karena menangis cukup lama dan berpikir akan membuat tidurnya sangat lelap.

Baru saja ia mendapatkan posisi tidur terbaiknya, hndphone Blackberrynya bergetar. Siapa yang mengirim chat malam – malam begini ? Dia yakin sudah membalas semua chat.

Ica hanyalah remaja biasa, mudah teralihkan handphone, dan ia sekali lagi menunda tidurnya untuk mengecek chat yang masuk dan mungkin membalasnya sebentar.

Chat Blackberry Messenger (BBM) itu ternyata dari Kiki.

Tidak biasanya Kiki menghubunginya di waktu – waku ini. Biasanya, Kiki menghubunginya sekitar pukul 19.00 atau 20.00 untuk meminta bantuan mengenai pengerjaan PR atau materi pelajaran yang ia masih kurang paham, biasanya mata pelajaran Matematika. Malam ini hanya ada PR Bahasa Inggris, dan Kiki tidak pernah meminta bantuannya untuk mata pelajaran ini. Justru Kiki lebih menguasainya.

Lalu apa keperluannya kali ini ?

"Ca, selain Bahasa Inggris ngga ada PR apa – apa lagi kan ? Gue agak lupa, pengen mastiin aja", tanya Kiki via chat.

"Ngga ada kok, Ki. Tadi tugas Geografi nggak jadi disuruh lanjutin di rumah kan, kita ngumpulin pas pulang sekolah", balas Icha. Balasannya langsung dibaca oleh Kiki.

"Okedeh Ca, thanks ya. Sorry nih ganggu", balas Kiki.

Ica tidak mengirim chat balasan. Ia sudah hapal jika Kiki mengatakan ucapan terima kasih apapun versinya, berarti keperluannya sudah selesai. Terkadang Ica suka merasa kesal jika Kiki sedang lupa seperti ini. Seminggu menjadi teman sebangku dan mengelola kelas XI-IPS 1 bersama, Ica mulai hapal bahwa Kiki suka kehilangan fokus di beberapa pelajaran karena merasa bosan atau penat. Suatu saat mungkin ia harus mengingatkannya untuk lebih fokus.

Tapi, Ica merasa itu bukan satu – satunya alasan ia terkadang merasa kesal pada Kiki, tapi ia sendiri tidak tau.

Mungkin ia kesal karena Kiki hanya menghubunginya melalui handphone untuk hal – hal terkait saja dan hampir tidak pernah tinggal sebentar untuk ngobrol santai. Sulit untuk mengakuinya, tapi ia merasa bahwa itu benar.

Ia merasa aneh memikirkan hal itu.

Buat apa ia merasa kesal ? Di sekolah, ia dan Kiki sering ngobrol santai dan bersenda gurau bersama, entah berdua atau bersama teman – teman yang lain. Mereka bahkan sudah tiga kali pergi jajan bersama, tiga tiganya ke Koperasi Sekolah, tentunya ini tidak berdua saja.

Jadi untuk apa Ica merasa kesal ?

Ia berusaha membuang pikiran aneh ini jauh – jauh. Jiwanya sudah cukup bergejolak karena isu insekuritasnya yang makin parah karena serangan verbal Anna seminggu yang lalu. Mungkin ia hanya merasa terlalu sensitif karena isu dirinya sendiri dan Kiki menjadi laki – laki tak beruntung pertama yang hampir menjadi samsak tinju emosinya.

"Ca, lo lagi ada masalah ya ?", tanya Kiki dalam chat, tepat sebelum Ica menaruh handphonenya di meja lampu tidur di sebelah kasurnya.

Pertanyaan ini mengejutkan Ica.

Kiki tidak pernah menanyakan ini selama di sekolah. Ia menganggap Kiki tidak menyadari apapun yang terjadi pada dirinya. Ica selalu tampil normal di hadapannya di sekolah.

"Gue baik – baik aja kok. Kenapa lo nanya gitu", jawabnya, lalu bertanya balik karena penasaran.

"Gue amatin kayaknya belakangan lo agak gelisah. Trus lo beberapa kali nggak fokus kalo kita lagi ngobrol dan reaksi lo agak aneh kalo diajak ke Kantin, entah gue yang ngajak atau yang lain", jawab Kiki.

Ica semakin penasaran. Ia tak menyangka ternyata Kiki merupakan laki – laki yang observan dan peka. Ia sangat yakin Muzammil, Edo, dan Hadi, yang terkadang bergabung dalam momen perbincangan dan senda gurau bersama Kiki dan teman – teman sekelas lainnya tidak menyadari perjuangannya meredam rasa sakit pada hatinya. Dan memang benar, semenjak insiden pekan lalu, Ica selalu menolak jika diajak ke kantin oleh siapapun dan reaksinya selalu terlihat tegang.

"Emang iya ya ? Gue kan emang cenderung pendiem dan serius orangnya. Gue rasa itu cuma perasaan lo aja kali. Itu sikap normalnya gue. Trus soal nggak ke Kantin, kebetulan emang gue lagi mager aja ke sana karena sering rame. Makanya gue bawa bekal dari rumah", tepis Ica.

"Perubahan lo ini gue amatin sejak Selasa pekan lalu, kira – kira abis lo balik dari Kantin", perjelas Kiki.

Jantungnya berdebar lagi, kali ini bukan karena gejolak emosi dalam jiwanya terkait Anna dan insekuritas dirinya. Ia benar – benar tak menyangka Kiki dengan tepat menebak sejak kapan dirinya mulai merasa tidak baik – baik saja.

"Gue baik – baik aja kok, Ki. Wajar kalo lo ngerasa gitu, lo baru kenal gue seminggu soalnya. Jadi wajar aja kalo lo masih ngerasa aneh sama sifat – sifat normal gue yang baru lo tau", tegas Ica. Kiki tidak perlu tau.

"Oh, gitu ya ? Yaudah deh, Alhamdulillah kalo ngga ada apa – apa. Kalo lo ada masalah, kasih tau gue aja. Siapa tau gue bisa bantu. Gue temen sekelas lo dan Ketua Kelas juga, jadi gue siap bantu siapapun yang lagi susah", balas Kiki.

Entah bagaimana, chat terakhir Kiki terasa menyentuh dan menenangkan hatinya. Ia masih merasa aneh karena Kiki mengirim chat yang tidak berhubungan dengan PR dan urusan – urusan kelas untuk pertama kalinya. Kali ini, chatnya bersifat personal. Untuk pertama kalinya setelah seminggu saling mengenal sebagai teman sekelas, apalagi menjadi teman sebangku, Kiki akhirnya menanyakan keadaannya. Kiki peduli, dan Kiki ingin membantunya.

Ia mendapati dirinya tersenyum memandangi handphonenya. Betapa ia ingin menceritakan semua yang dirasakannya pada Kiki, tetapi hatinya belum yakin. Kiki hanya menyatakan bahwa sudah menjadi tugasnya sebagai Ketua Kelas untuk membantu semua teman – teman sekelasnya yang mengalami kesulitan, dan bagi Ica, Kiki pun masih menjadi teman baru dengan hubungan yang biasa saja dan sebagai partnernya dalam mengelola kelas.

Tapi tetap saja, perhatiannya membuatnya senang.

"Makasih ya, Ki. Sekarang waktunya kita tidur", balas Ica, menutup percakapan.

"Okedeh, Ca. Sampe ketemu besok ya", tutup Kiki.

Ica tidak membalas lagi dan menaruh handphonenya.

Ia kembali memeluk bantal gulingnya dan memejamkan matanya. Kali ini bibirnya tersenyum, hatinya merasa lega. Della sudah cukup rutin menghibur dan memotivasinya, dan teman – teman perempuan di kelasnya pun sering membuatnya tertawa melalui senda gurau mereka di grup BBM kelas XI-IPS 1 walaupun tidak ada yang tau masalah yang sedang ia hadapi. Tapi chat Kiki menyempurnakannya.

Ia merasa aneh dan konyol.

Kenapa baru tersenyum sekarang ? Kenapa baru setelah chat Kiki ia baru benar – benar merasa damai ? Bukan kah baru saja ia mengatakan pada Kiki bahwa mereka baru saling mengenal seminggu ? Ia semakin bingung dengan dirinya.

Ica tak peduli, ia hanya ingin menikmati kedamaian hati yang sedang dirasakannya. Rasanya seperti dinyanyikan nina bobo, semua bebannya perlahan terangkat. Ia yakin tidurnya akan lelap dan akan terbangun dalam keadaan segar seperti sebelum insiden itu. Ia memeluk bantal gulingnya erat – erat, saking eratnya sampai jari – jari tangannya menyentuh bahunya yang berkulit lembut itu.

Keesokan harinya, ia tiba di ruang kelas dengan pemandangan yang tidak biasa.

Kiki sudah berada di tempat duduknya, di pukul 06.10.

"Widih ! Tumben banget duluan lo dateng !", sapa Ica.

"Udah saatnya gue berhenti diomelin lo dan cewek – cewek kritis di kelas karena gue sering masuk mepet sama bel, kayaknya", respon Kiki dengan senyum menyeringai.

"Bagus deh ! Saatnya lo jadi Ketua Kelas teladan !", sindir Ica dengan ekspresi yang meledek.

Kiki memandanginya selagi ia menempati tempat duduknya dan menaruh tas ranselnya. Ica sadar bahwa Kiki sedang memandangnya untuk memastikan keadaannya.

"Kenapa lo liatin gue begitu ? Emang ada apaan di muka gue ?", tanya Ica mengerutkan dahi.

"Gapapa, gue mendadak ngeblank aja", jawab Kiki.

Tiba – tiba Ica merasa tidak dapat melepaskan matanya dari mata Kiki. Seminggu menjadi teman sebangku, Ica tidak pernah bertatapan dengan Kiki cukup lama seperti saat ini. Dilihat lebih dekat, Kiki memang tampan seperti yang dinilai sahabat – sahabatnya. Mungkin wajah tampannya sedikit tersamarkan oleh rambut jabriknya. Namun itu membuat Kiki terlihat santai dan bebas. Matanya yang berwarna cokelat gelap memancarkan semangat dan positivitas, sungguh sangat berbeda dengan mata Ica.

"Oh ! Dasar lo ah ! Jangan keseringan ngeblank, bang ! Nanti kesurupan loh !", Ica mengingatkan.

"Selow, Ca. Gue ngeblank karena masih ngantuk dikit", sanggah Kiki, lalu ia menguap.

Mungkin memang benar Kiki hanya melamun sesaat karena masih mengantuk, dan kebetulan matanya tertuju pada Ica. Jantungnya berdebar saat mata mereka terkunci pada satu sama lain. Ica belum pernah bertatapan cukup lama dengan seorang laki – laki sebelumnya.

Guru mata pelajaran Bahasa Inggris, Ibu Ningsih Ayuningtyas, memasuki kelas mereka disambut oleh salam hormat semua siswa – siswi kelas XI IPS-1. Kelas XI IPS-1 mengawali kegiatan belajar – mengajar pertamanya dengan mata pelajaran Bahasa Inggris yang berlangsung dari pukul 07.00 hingga pukul 08.30. Jam pelajaran kedua kemudian dilanjutkan dengan mata pelajaran Ekonomi yang diajar oleh Bapak Benny Apriyanto hingga bel istirahat pertama berbunyi pada pukul 10.00.

Para warga kelas XI IPS-1 mulai berhamburan keluar ruang kelas setelah Bapak Benny Apriyanto meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Terlihat beberapa di antara mereka menyempatkan diri merapihkan buku – buku pelajaran yang ada di atas meja mereka dan memasukkannya kembali ke dalam tas beserta alat tulis, tetapi juga ada yang acuh saja dan langsung bergegas menuju keluar ruangan. Shinta, Lia, Intan, Sherin, dan Mutmainah menghampiri tempat duduk Ica dan Kiki.

"Ca, mau ikut ngga lo beli makanan di kantin ?", ajak Sherin.

"Gue nggak ikut yah, Sher. Gue mau sholat dhuha di Mesjid", tolak Ica dengan halus.

Ini akan menjadi kelima kalinya Ica akan menunaikan ibadah sholat dhuha di Mesjid Sekolah semenjak hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran 2010 - 2011.

"Alhamdulillah, bagus tuh Ca ! Kalo lo masih lama di mesjid kabarin gue yah ! Gue paling nyusul sholat dhuha juga kalo sempet, takutnya kantin rame nih ngantri anak – anak beli makan", sahut Intan.

Ica mengangguk mengiyakan.

"Gue juga pamit keluar kelas yah, Ki ! Have fun yah !", pamit Ica sembari beranjak dari tempat duduknya.

Kiki pun dengan bersamaan juga beranjak dari tempat duduknya, mengejutkan Ica.

"Gue juga mau ikut sholat dhuha di Mesjid sama lo, gapapa kan ?", tanya Kiki. "Azam , Edo, sama Hadi tadi udah keluar duluan, mungkin buru – buru biar ngga keramean ngantri di kantin jadi ngga sempet ngajak gue. Mungkin mereka gue susul abis sholat dhuha", lanjutnya.

"Ya gapapa sih. Ini pertama kali kayaknya gue liat lo mau sholat dhuha. Biasanya ngelayap sama temen – temen lo", balas Ica.

"Emang iya ini pertama kalinya pengen gue sholat dhuha di sekolah", akui Kiki dengan tawa. "Mungkin ini saatnya gue mulai ngebiasain, walaupun gue ngga jamin bakal rutin tiap hari ya. Ajakan main susah ditolak".

Ica menghela napas sambil tersenyum mendengarnya.

"Yaudah, yuk berangkat sekarang !", seru Ica.

Kiki dan Ica berjalan bersama menuju mesjid sekolah yang ada di belakang ruang guru. Mereka tidak banyak berbincang, akan tetapi Kiki mengamati bahwa wajah Ica kembali murung dan terlihat sedih. Kiki kembali memberanikan dirinya untuk mencoba memahami keadaan Ica saat ini.

Kiki dan Ica berjalan bersama menuju mesjid sekolah yang ada di belakang ruang guru. Mereka tidak banyak berbincang dan lebih banyak melihat ke sekeliling. Sesekali, Ica menoleh ke wajah Kiki, memastikan ia tidak mengamati wajahnya lagi. Atau mungkin untuk sekali lagi melihat wajah tampannya yang menyejukkan ?

"Lo beneran nggak apa – apa kan ?", tanya Kiki tiba – tiba.

"Nggak kok ! Gue kan udah bilang di chat semalem kalo gue ngga apa – apa !", jawab Ica, nadanya agak panik karena terkejut akan pertanyaan Kiki yang begitu tiba – tiba.

"Tingkah lo aneh lagi soalnya. Daritadi lo nengok ke gue mulu", ungkap Kiki. Wajahnya tetap menatap ke depan.

"Gue cuma mau mastiin aja kalo lo nggak ketinggalan atau tau – tau pindah haluan", tepis Ica.

"Gue nggak mungkin ketinggalan, langkah gue aja lebih lebar daripada lo. Dan gue nggak mungkin pindah haluan, karena gue ngga pernah ngerubah keputusan", balas Kiki dengan senyum menyeringai.

"Udah sampe aja kita di Mesjid", Ica mengalihkan topik.

Mereka tiba di Mesjid SMA Cijantung Jakarta Timur, dinamai Mesjid Nurul Jannah. Mesjid itu tergolong kecil, dengan gaya arsitektur sederhana dan hanya memiliki satu lantai. Meskipun begitu, interior Mesjid ini cukup luas, cukup untuk menampung seluruh warga SMA Cijantung ketika menunaikan ibadah shalat Jum'at.

Tidak ada satu siswa maupun siswi pun yang terlihat berada di area masjid sekolah selain mereka Hanya terlihat satu orang pekarya sekolah dan satu orang guru yang baru saja menyelesaikan sholat dhuhanya. Begitu sang pekarya dan guru meninggalkan area Mesjid, mereka akhirnya hanya berdua di Mesjid.

Mereka berpisah jalan menuju tempat berwudhu pria dan wanita. Setelah Ica berwudhu dan memasuki Mesjid, ternyata masih ada satu orang lagi yang sedang berdo'a di bilik wanita. Ica segera mengenali wajahnya. Kak Nadira ?!