Chereads / Haya / Chapter 11 - Hari Keberangkatan

Chapter 11 - Hari Keberangkatan

Haya telah memutuskan pilihannya dan memberitahukan keputusannya kepada Brick dan Clarissa. Brick dan Clarissa yang mendengarnya tersenyum. Mereka melepaskan napas panjang. Lega mendengar jawaban dari Haya.

"Kenapa kalian tersenyum?" tanya Haya kebingungan.

"Tidak, tidak ada apa-apa." jawab Clarissa.

"Kami lega mendengar jawabanmu. Namun, ini sudah kami duga. Hahaha ...." ucap Brick sambil tertawa.

"Jadi selama ini percuma saja aku memikirkannya." ucap Haya yang lemas.

"Tentu saja tidak. Kami ingin melihat bagaimana kau akan membuat keputusan. Tentunya ini akan membantu kami untuk melihat apakah kami bisa melepasmu nanti."

"Seperti kata ibumu. Kami sebenarnya tidak ingin kau pergi, tetapi demi masa depanmu, kau harus bebas. Pelepasanmu tidak bisa kami lakukan begitu saja. Melihat bagaimana kau membuat keputusan akan membantu setidaknya mengurangi kekhawatiran kami." Brick menjelaskan.

"A-ahh...begitu. A-aku siap untuk menjalani kehidupan yang jauh dari kalian." Haya tersedu-sedu dengan perkataannya.

"Ohh...kemarilah, Haya." Clarissa memanggil.

Haya pergi ke dalam pelukan hangat Brick dan Clarissa. Keputusan yang dia pilih membuat dia menangis, tetapi dia tahu kalau dia harus terus maju. Dia tidak ingin menyesali keputusan yang telah dia pilih dan juga orang tuanya mendukungnya. Meskipun mereka pada awalnya tidak ingin, tetapi mereka tetap akan memberikan yang terbaik untuk anak satu-satunya.

Terlahir sebagai satu-satunya anak yang dimiliki oleh Brick dan Clarissa berarti dia mendapat kasih sayang dari mereka hanya untuk dirinya sendiri. Sebuah kasih sayang yang dia dapat sangatlah banyak. Dia tidak bisa membalas mereka, apalagi ibunya yang telah melahirkannya.

"Menangislah...tidak apa-apa. Kami disini akan menunggumu."

Memikirkannya hanya membuat tangisan Haya semakin lama. Brick mengelus kepala Haya untuk mengurangi kesedihannya. Bermenit-menit berlalu dengan Haya masih dalam dekapan ayah dan ibunya.

Tangisan Haya semakin mereda. Perlahan-lahan dia mulai melepas dirinya dari pelukan orang tuanya. Warna kemerahan terlihat di sekitar matanya, begitu juga dengan hidungnya. Dia mengelap air matanya yang mengalir, menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Dengan melakukan itu, dia menjadi semakin tenang.

Haya kembali kepada dirinya yang biasa. Menoleh ke kiri, ia melihat ibunya, menoleh ke kanan, ia melihat ayahnya. Untuk sementara waktu, suasana menjadi sepi tanpa sepatah kata keluar dari mereka.

Menjalani kehidupan jauh dari orang tua memang sulit. Apalagi dengan Haya yang masih sangat muda. Namun, ini perlu dilakukan demi masa depan Haya, walaupun tidak masalah baginya jika tidak ingin pergi.

Masalah itu memang hanya Haya yang bisa memutuskannya. Brick dan Clarissa hanya perlu membimbing Haya untuk membantunya membuat keputusan.

Keputusan sulit terkadang memang perlu dibuat. Dengan berbagai pertimbangan, membebani pikiran, hati menjadi tidak tenang. Haya sekarang sudah mengetahui bagaimana cara membuat keputusan yang bisa membantunya di masa depan.

Tugasnya sekarang adalah melakukan persiapan karena dia akan pergi sekolah di Kota Fonchalk ditemani oleh Virelin yang ditugaskan oleh Brick untuk menjaga Haya selagi mereka di sana.

Keesokan harinya, Haya mengemaskan barang-barang yang akan dibawanya. Untuk masalah akomodasi akan diurus oleh Brick dan Virelin. Dia tidak ingin membawa terlalu banyak barang agar tidak terlalu membebaninya.

Semua barangnya diletakkan di dalam tas yang ibunya persiapkan untuknya. Dibantu oleh ibunya, dia memilih pakaian sehari-hari yang dibutuhkan. Tidak membawa terlalu banyak.

Sebenarnya tidak masalah jika dia membawa lebih banyak barang. Kendaraan yang mereka gunakan dapat menampung banyak barang di sana. Namun, Haya tidak ingin membawa banyak beban.

Besok adalah hari keberangkatan Haya. Sekarang Haya sedang makan malam bersama orang tuanya. Menikmati makanan dengan santai. Lampu-lampu menyinari ruang makan mereka. Macam-macam suara makhluk malam dapat didengar di luar.

Selesai makan malam, Clarissa bertanya kepada Haya.

"Apakah semua sudah dibawa?"

"Sudah-sudah." jawab Haya.

"Jangan lupa untuk bangun lebih awal. Kalau kau telat, kau akan ditinggal." ucap Brick dengan serius.

Haya yang mendengar ini tentu aneh karena secara logika Virelin tidak akan berangkat tanpanya.

"Bukannya Kak Virelin tidak akan berangkat tanpaku?" protes Haya.

"Tentu saja. tadi itu aku hanya bercanda. Ya, yang penting ingat untuk bangun lebih awal besok." balas Brick yang bercanda.

"Hah...itu mengagetkanku." ucap Haya.

"Hahaha..." Brick hanya tertawa melihat reaksi Haya.

"Sudah-sudah. Besok kau harus bangun lebih awal, jadi lebih baik tidur sekarang, Haya." Clarissa menyuruh Haya tidur.

"Baiklah, selamat malam." Haya pergi berjalan menuju kamar tidurnya.

Langkah demi langkah dia lewati. Langkahnya terhenti di depan pintu kamarnya. Memegang gagang pintu dan melangkah masuk. Tidak lupa ia mematikan lampu kamar. Hanya cahaya rembulan masuk tembus melalui jendela kamar tidurnya.

Haya berjalan menuju tempat tidurnya. Berbaring di atasnya dengan selimut menutupinya. Dia tidak langsung tidur. Dia mengingat berbagai kenangan yang telah dibuatnya di sini. Bersama orang tuanya dia bermain, bekerja, belajar, berlatih, bertarung. Mengingatnya membuat air matanya mengalir sekali lagi.

Dengan air mata yang mengalir, dia tertidur dan cahaya rembulan samar-samar sebagai penerang.

Haya yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat, napasnya terengah-engah. Dia melihat ke arah jendela, disambut oleh mentari pagi yang masih terlihat atasnya saja. Warna langit yang masih gelap menunggu warna terangnya.

Dia teringat dengan mimpi yang baru saja dialaminya. Mimpi yang buruk seakan-akan merupakan pertanda. Namun, dia tidak ingin memercayai hal tersebut.

Hanya saja jika itu merupakan pertanda, Haya tidak mengetahui penyebabnya. Memang dia tidak ingin memercayainya, tetapi firasatnya tidak enak. (Lebih baik berjaga-jaga daripada tidak) pikir Haya.

Sadar akan waktu, dia bergegas mempersiapkan diri. Mencuci mukanya dan tidak lupa menyikat giginya. Membuka lemari pakaian, dia mengganti pakaian yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Mengambil tasnya dan berjalan keluar dari kamarnya. Brick dan Clarissa sudah menunggu Haya di luar bersama Virelin dan kendaraan yang diparkir.

Haya melihat orang tuanya dengan wajah sedih. Ia menundukkan kepalanya.

"Jangan sedih. Lagipula ini bukan perpisahan terakhir. Ini lebih tepatnya awal bagimu." ucap Brick yang berdiri di dekat kendaraan yang diparkir.

"Kita pasti akan bertemu lagi. Jangan lupa untuk pulang sesekali." Clarissa meminta Haya untuk kembali sesekali.

"Ya." jawab Haya.

"Dengar kata Virelin. Jangan melawannya."

"Ya."

"Makan-makanan yang bergizi. Jaga kesehatanmu."

"Ya."

"Bantu Virelin membereskan tempat tinggal kalian nanti."

"Ya."

"Jangan mau di ajak orang tak dikenal, kecuali kau mengajak Virelin atau setidaknya bilang kepadanya agar dia tidak khawatir."

"Ya." Haya selalu menjawab dengan singkat.

"Maaf karena permintaanku terlalu banyak."

Haya menggelengkan kepalanya. Menerima semua permintaan ibunya.

Clarissa mulai meneteskan air matanya. DIa berusaha menahan rasa sedihnya dengan tetap tersenyum.

"Tidak apa-apa Clarissa. Lagipula dia anak kita yang sangat kuat dan bisa diandalkan." Brick menenangkan Clarissa yang mengelap air matanya.

"Ya, kau benar." ucap Clarissa setuju.

Haya dan Virelin naik ke dalam kendaraan yang telah disiapkan. Barang-barang juga sudah diangkut ke dalamnya. Mereka berdua siap berangkat kapan saja.

"Kami pergi dulu, bos, Bu Alivair." ucap Virelin

"Ya, kami titip Haya denganmu." ucap Brick.

Virelin menganggukkan kepalanya.

"Ibu, ayah, aku pergi dulu." Haya berpamitan dengan Brick dan Clarissa.

Kendaraan mereka mulai maju perlahan keluar dari area rumah.

"Hati-hati di jalan!" teriak Clarissa.

Brick melambaikan tangannya kepada Haya yang pergi. Begitu juga dengan Haya yang membalas lambaian tangan Brick. Akhirnya, mereka pergi dengan tujuan Kota Fonchalk.