Pagi itu setelah Bagas memutuskan cintanya dengan Anggun, dan sebelum ia datang ke toko bangunan. Ternyata ibu Ratna sudah lebih dahulu menemui Arya di tokonya.
Arya yang Baru saja memakirkan sepeda motornya di parkiran khusus. Ia tidak langsung masuk ke dalam ruko karena melihat mobil ibu Ratna memasuki halaman. Sambil menggendong Adnan kemudian Arya berjalan mendekati mobil ibu Ratna yang sudah berhenti di halaman.
Ibu Ratna membuka pintu mobilnya saat Arya sudah berdiri di dekat pintu bagian kemudi.
"Asslamulaikum bu..." sapa Arya penuh takjim, saat ibu Ratna sudah berhadapan dengannya.
"Walaikumsalam..." jawab ibu Ratna sambil membuka kacamata hitam miliknya. Wajahnya terlihat sangat breseri, dan bibirnya selalu tersenyum manis tiap kali ibu Ratna berhadapan dengan Arya.
"Tumben, ibu pagi-pagi sekali udah sampe sini?" Tanya Arya.
"Iya mas, aku mau minta tolong sama kamu." Jawab ibu Ratna sambil mencubit gemes pipi Adnan.
Sedangkan Adnan yang memang sudah sangat akrab dengan ibu Ratna, langsung mengulurkan kedua tangan mungilnya kemudian nemplok di gendongan ibu Ratna.
"Tolong apa ya bu?" Tanya Arya setelah memindahkan Adnan di gendongan ibu Ratna.
"Temenin aku ke Jogja bisa mas?" ujar ibu Ratna. Ia tidak menatap Arya tapi lebih asik mencium hidung, sambil bercanda dengan Adnan.
"Ke Jogja? Mau ngapain?" Tanya Arya lagi.
Beberapa saat kemudian, terlihat ibu Ratna mulai serius menjelaskan maksud dan tujuannya. Sedangkan Arya sangat antusias menyimak dan mendengarkannya.
Setelah ibu Ratna menyelesaikan obrolannya, terlihat Arya mengangguk-anggukan kepala. Terlihat ia mengangkat tangan kanannya seraya berteriak, "Wanto!"
Tidak lama kemudian, Wanto sudah berdiri tepat diantara Arya, dan ibu Ratna yang sedang menggendong Adnan.
"Ada apa ya mas?" Tanya Wanto, kemudian ia menoleh ke ara ibu Ratna sambil membungkuk penuh takjim. "Eh ibu, Assalamulaikum bu."
Ibu Ratna tersenyum simpul menyambut pegawainya, Wanto. "Waalaikumsalam" balas ibu Ratna.
"Gini To..." Arya mulai menjelaskan maksudnya kenapa ia memanggil Wanto. "Bu Ratna minta tolong ditemenin ke Jogja, mau liat stand di Mall, mau buka butik lagi di sana. Mungkin agak lama, agak jauh juga To. Soalnya Mallnya itu Di Ring Road utara Jogja." Ucap Arya menjelaskan.
Sedangkan Wanto menyimaknya penuh antusias.
"Jadi mumpung di Jogja mungkin nanti sekalian liat rumah makan sama butik yang udah di sana." Ibu Ratna mengimbuhi.
Wanto hanya mengangguk-anggukan kepala tanda ia sudah mengerti.
"Nanti tolong jagain kasir ya To," perintah Arya. "Oia... kamu nanti Antar Adnan pulang, soalnya takut kemaleman, nanti capek kasihan. Ibu ada di rumah kok."
"Oh... iya mas," ucap Wanto.
"Jangan sampe Adnan liat kita berangkat, nanti dia nangis. Ajak kemana dulu gitu?" Usul ibu Ratna.
Setelah itu terlihat Wanto mulai merayu Adnan agar mau digendongnya. Lumayan sulit membujuk Adnan yang sudah nyaman di gendongan ibu Ratna. Memerlukan waktu beberapa menit hingga pada akhirnya Adnan pun bersedia digendong Wanto.
Arya dan ibu Ratna masuk kedalam mobil setelah Wanto berhasil membawa Adnan meninggalkan mereka.
Tidak selang berapa lama mobil yang dikendarai ibu Ratna mulai bergerak, berjalan meninggalkan toko bangunan.
"Njenengan nggak butuh sopir apa bu?" Tanya Arya saat dalam perjelanan menuju kota Jogja. "Kalau perjalanan jauh gini kan enggak capek kalau ada sopir."
Ibu Ratna menoleh sekilas ke arah Arya yang duduk di sebelahnya. "Aku udah lama nggak ke Jogja mas. Biasanya aku cuma termia laporan lewat pesan saja. Dulu kalau mau ke Jogja, atau jalan jauh aku minta diantar sopir matreal."
Arya mengangguk-anggukan kepalanya, kemudian ia menoleh ka arah ibu Ratna. "Kalau aku yang nyetir, apa njengan nggak keberatan. Kok kayaknya enggak enak amat saya leha-leha tapi njenegan yang capek nyetir."
"Hah?" Ibu Ratna terkejut menatap Arya. "Mas Arya bisa bawa mobil?" Tanya ibu Ratna seakan tidak percaya.
Selama ini jika berpergian Arya lebih banyak diam dan tidak memberi tahu bu Ratna. Mungkin karena jaraknya yang dekat, sehingga Arya tidak mau memberi tahu kemampuannya dalam mengemudi mobil.
Arya tersenyum nyengir, hingga mempertontonkan giginya yang putih dan terawat. "Dulu aku pernah jadi kernek mobil truk bu. Kadang suka gantiin sopirnya kalau ngantuk. Tapi ya itu, ndak punya SIM." Imbuh Arya menjelaskan.
"Yaudah mas Arya saja yang bawa mobilnya." Ucap ibu Ratna dengan senyum yang sangat bahagia. Kemudian ia meminggirkan mobilnya, dan berhenti di pinggir jalan.
Terlihat ibu Ratna dan Arya keluar dari mobil, untuk bertukar posisi. Beberapa saat kemudian, mobil yang dikendarai Arya mulai berjalan dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Ibu Ratna tidak menyangka, jika Arya benar-benar ahli membawa mobil.
"Ternyata diem-diem, mas Arya punya banyak keahlian ya?" Puji bu Ratna, sambil memandangnya bangga.
"Yah... namanya pekerja serabutan bu, apa saja dipegang. Yang penting halal." Jawab Arya seadanya.
====
Beberapa jam kemudian, ibu Ratna dan Arya sudah memasuki area basement di Mall yang mereka tuju. Setelah memarkirkan mobil Arya dan ibu Ratna jalan beriringan menuju kantor pemasaran yang ada di dalam Mall. Mereka akan menemui bagian marketing yang sudah janjian dengan ibu Ratna sebelumnya.
Membutuhkan waktu yang lumayan lama, meeting dengan bagian marketing untuk membicarakan soal sewa tempat yang akan dijadikan butik oleh ibu Ratna. Setelah perundingan selesai ibu Ratna dan Arya diantar oleh bagian marketing untuk melihat-lihat tempat tersebut.
Setelah berunding kembali ditempat yang akan disewa oleh ibu Ratna, dan akhirnya deal terjadi kesepakatan antara pihak marketing dan ibu Ratna. Kemudian ibu Ratna dan Arya berpamitan pada bagian marketing.
Saat sedang berjalan menuju basement, secara tidak sengaja Arya menoleh pada stand yang menjual isi ulang parfum.
"Bu..." panggil Arya di sela-selah mereka sedang berjalan.
"Kenapa mas?"
"Kebetulan parfumku sudah mau habis, kalau aku beli sebentar apa ndak papa?" Ijin Arya. Ia merasa tidak enak karena takut membuang waktu ibu Ratna.
Sedangkan ibu Ratna tersenyum simpul melihat Arya, "ya nggak papa toh mas, kamu itu ada-ada saja." Ucap ibu Ratna. "Yuk..."
Kemudian keduanya berjalan mendekati stand penjual parfum tersebut.
Saat sudah berada di tempat penjual parfum itu, Arya menyebutkan janis parfum yang sering ia pakai.
Awalnya Ibu Ratna hanya melihat-lihat saja. Namun tiba-tiba ia merasa penasran dengan wangi parfum yang dipakai oleh Arya setiap harinya.
"Coba sih mas, aku tak nyobain parfumnya," pinta ibu Ratna pada penjual parfum. Ia mengulur tangannya dengan posisi telapak tangan menadah ke arah penjual parfum. Setelah penjual parfum itu memberikan beberpa tetes bibit parfum di telapak tangan ibu Ratna. Kemudian ibu Ratna menggosok dengan tangan satu sambil menghirup dan meresapi aroma khasnya.
Arya hanya tersenyum melihat ibu Ratna.
Setelah menggosok parfum di tangan, ibu Arya mengoleskannya di leher bagian bawah telinganya.
Sedangkan Arya membayar sambil menerima parfum yang sudah di masukan ke kantong plastik berukuran kecil. Beberapa saat kemudian, keduanya meninggalkan stand penjual parfum, melanjutkan langkah menuju area parkir.
"Mas bawa sini parfumnya, aku simpen di tasku, dari pada dicangking kayak gitu," ujar bu Ratna di selah-selah langkah kaki mereka.
"Gak apa ni bu?" Tanya Arya yang masih merasa tidak enak hati.
"Nggak papa," ucap bu Ratna sambil mengambil plastik kecil berisi parfum dari tangan Arya.
Arya hanya pasrah, dan tersenyum simpul saat melihat ibu Ratna memasukan parfumnya ke dalam tas ibu Ratna. Setelah itu keduanya nampak melanjutkan langkah mereka, berjalan secara beriringan.
Hari itu merupakan hari yang melelahkan bagi Arya dan ibu Ratna. Perjalanan jauh, bertemu dengan client, mengunjungi butik dan rumah makan, ternyata memerlukan waktu yang tidak sebentar. Makan, dan menunaikan ibadah sholat pun mereka kerjakan di sela-selah kesibukan mereka.
Hingga akhirnya semua dapat terselesaikan, dan keduanya bisa kembali pulang ke Purworejo hingga waktu menjelang maghrib.
Lalu karena rasa lelah itu, Arya sampai lupa mengambil kembali parfum yang ia titipkan di tas ibu Ratna.
====
Bagas masih sangat gelisah, pikirannya juga semakin kacau. Entahlah, ia benar-benar merasa takut dan khawatir dengan bau parfum yang menyengat dari tubuh ibunya.
Hampir semalaman Bagas tidak bisa tidur hanya karena memikirkan masalah itu. Ia sendiri merasa sangat heran, kenapa ia begitu sangat khawatir dengan kedekatan Arya dan ibunya. Sulit sekali baginya untuk memungkiri, jika ia sedang cemburu dengan ibunya.
Karena pada kenyataannya Bagas cemburu memang cemburu, Bagas takut, Bagas gemetar, dan Bagas merasa sangat gelisa. Oleh sebab itu, hari itu Bagas memutuskan untuk tidak masuk ke Sekolah. Karena rasanya juga percuma, otaknya tidak akan mampu menyerap materi pelajaran jika sedang dalam kondisi seperti itu.
Entahlah, seorang Arya yang hanya diam, bisa sampai membuat Bagas menjadi seperti itu.
Tidak lama kemudian Bagas sudah sampai di halaman toko bangunan. Setelah memarkirkan mobil, ia turun dari mobil dan langsung berjalan menuju ruko. Suasana masih terlihat sangat sepi, Arya dan pegawainya juga belum datang.
Rolling door-pun, juga belum dibuka sepenuhnya oleh pakde.
"Lho... mas Bagas udah di sini?" Tanya pakde yang sedang menyapu di dalam ruko. "Opo ndak sekolah?" Imbuhnya bertanya.
"Iya de," jawab Bagas sambil berjalan menuju kusri kasir. Tempat dimana Arya biasa duduk. "Mas Arya sama yang lain belum dateng pakde?" Tanya Bagas basa-basi.
"Belum mas, bentar lagi palingan."
Setelah beberapa menit berlalu satu dami satu, para pegawai sudah mulai berdatangan. Mereka langsung terlihat sibuk melakukan pekerjaannya masing-masing. Rolling door juga sudah dibuka lebar oleh Saring tadi.
Bagas membuang napas kasar, ia merasa gelisah karena lelaki yang sangat disayangi melum menampakan dirinya.
"Mas Arya biasanya dateng jam berapa?" Tanya Bagas pada Panjul yang kebetulan sedang menumpuk cat di dekat meja kasir.
"Bentar lagi paling mas, biasane jam segini sih mas Arya udah sampe." Jawab Panjul seadaanya. "Itu kayaknya?" Ucap Panjul sambil mendengar suara motor Arya yang baru saja masuk kedalam halaman.
Bagas mengangguk-anggukan kepalanya, "kayaknya sih iya..." Bagas mencoba untuk bersikap datar dan biasa. Meskipun sebenarnya ia sangat senang, tidak susah menahan senyum karena kehadiran Mas Arya. Tapi sebisa mungkin ia bersikap wajar di hadapan Panjul.
Sebenarnya sih Bagas ingin berlari menymbut kedatangan Arya, tapi mana mungkin ia lakukan di hadapan semua orang. Cukup hatinya saja yang tahu. Oleh sebab itu ia hanya berjalan secara perlahan saja.
Bagas tertegun, memandang Arya yang baru menurunkan kakinya dari atas motor. Sangat gagah dengan memakai celana jeans berwarna biru. Dan tubuhnya terlihat perkasa karena dibungkus dengan jaket kulit berwarna hitam. Semakin hari Mas Arya semakin ganteng, saja. Wajar kalau sehari saja tidak bertemu Bagas sudah sangat gelisa. Bagas melamun dan terpesona mentap wajah tampan Arya.
"Dek..." sapa Arya saat ia sudah berada di hadapannya. "Fhuuh..." Arya meniup wajah Bagas dan membuatnya tersentak.
"Ngalamun..." ucap Arya sambil berjalan kerah meja kasir. "Kamu nggak Sekolah opo? Kok udah di sini?"
Bagas yang masih merasa tersipu menjawab sekenanya saja. "Nggak belajar mas, persiapan UN."
"Udah sarapan belum?" Tanya Arya sambil merapihkan meja kasir.
"Belum mas," jawab Bagas.
"Sarapan dulu, tuh bekel makan siang mas banyak kok," tawar Arya.
"Nanti aja," ucap Bagas sambil mendudukan bokongnya di kursi depan meja kasir. Matanya teduh memandang wajah Arya yang sedang merapikan nota-nota dan buku catetan.
Hati Bagas sangat resah, ingin sekali ia langsung menanyakan unek-unek yang mengganjal di hatinya. Tapi ia bingung harus memulainya dari mana. Selain itu Arya juga masih terlihat sedang sibuk.
"Mas..."
"Heem..." jawab Arya tanpa menoleh.
Lidah Bagas terasa kelu, ia hanya diam dan membisu.
"Apa dek?" Tanya Arya sambil menatap Bagas. Ia seperti sedang menunggu apa yang akan di ucapkan oleh Bagas.
"He he... nggak papa," Bagas hanya tersenyum nyengir. Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya sekarang. Ia menungu waktu yang tepat, mungkin nanti saat makan siang sambil ia memikir kalimat yang pas agar Arya tidak curiga jika dirinya sedang menyelidikinya.
Sedangkan Arya hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum nyengir.
Sambil menunggu jam makan siang, Bagas memanfaatkan waktunya untuk menonton TV. Kadang tiduran, dan kadang membantu melayani pembeli jika sedang rame.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, jam makan siang pun telah tiba.
Setelah menyuruh pegawainya untuk makan siang, terlihat Arya mulai membawa bekal sendiri. Ia dan Bagas duduk di kursi yang memang sudah di sediakan untuk bersantai-santai.
Belum sempat Bagas dan Arya menyantap makan sing, sudah terlihat mobil ibu Ratna memasuki halaman ruko.
Kehadiran ibu Ratna sedikit membuat Bagas merasa takut, karena ia tidak masuk sekolah hari ini.
"Lho dek ibu sama siapa itu?" Tanya Arya saat melihat ibu Ratna turun dari mobil, lalu diikuti oleh seseroang yang belum ia kenal.
"Ooh... itu temen ibu, tante Erta," jawab Bagas yang sudah paham dengan orang tersebut.
"Dokter?" Duga Arya, karena ia melihat pakaian yang dikenakan teman ibu Ratna.
"Iya..." jawab Bagas.
"Assalamulaikum..." sapa dua wanita berumur, namun masih terlihat cantik.
Bagas dan Arya beranjak dari duduknya untuk menyambut kedatangan mereka. "Waalaikumsalam" Balas Arya dan Bagas secara bersamaan.
"Lho Gas, kamu di sini? Udah pulang apa bolos?" Ucap bu Ratna saat melihat Bagas berdiri di depannya.
"Lagi nggak belajar bu," jawab Bagas berbohong.
"Jangan bohong," ucap ibu Ratna.
"Enggak," jawab Bagas.
Kemudian ibu Ratna menoleh pada ibu Erta karena sahabatnya itu mencoleknya.
Terlihat ibu Erta mendekatkan wajahnya di telinga ibu Erta seraya berbisik. "Pantes kamu betah jadi janda lama-lama, ternyata model begini yang kamu cari," goda ibu Erta sambil melirik ke arah Arya. "Bikin tenggorokan kering, nelen ludah terus sih." Imbuhnya sambil tersenyum nyengir.
"Ah kamu ngomong apa sih jeng?" Ibu Ratna tersipu, kemudian ia menoleh pada Arya seraya berkata. "Oh iya mas Arya, kenalin ini temenku, Dokter Erta." Ucap bu Ratna, ia langsung melupakan kekesalannya pada Bagas yang tidak masuk Sekolah.
Arya mengangunk tajim seraya tayangannya mengulur pada Dokter Erta, untuk bersalaman.
Ibu Erta langsung menyambutnya dengan hangat. Kemudian bu Ertapun bersalaman dengan Bagas.
"Oia mas Arya, kemaren parfumnya kebawa masih di tas aku, kayaknya tumpah lho... soalnya agak berkurang dikit," ucap ibu Ratna sambil mengambil Parfum di dalm tasnya. "Nih... pantes wanginya kemana-mana." Imbuh bu Ratna kemudian ia mengembalikan parfum milik Arya.
"Oh nggak apa-apa bu, aku yang lupa. maaf," ucap Arya sambil menerima parfumnya.
Mendengar itu Bagas seperti sedang di terpa angin segar. Kecemasan yang ia takutkan ternyata hanya kecemburuannya yang tidak beralasan. Terlihat Bagas menatap teduh wajah Arya yang rupawan. Akhirnya ia bisa bernapas dengan legah, namun merasa sedikit berdosa karena sudah salah sangka.
"Oh iya...Kebetulan banget ya ada Bagas, kan ibu pingin ngobrol sama kamu Gas." Dokter Erta membuyarkan lamunan Bagas.
"Hah? Aku?" Bagas sedikit tersentak, karena tidak biasanya Dokter Erta mengajaknya bicara. "Ngobrol apaan bu?" Bagas merasa penasaran.
"Bukan apa-apa, ibu minta tolong anter ke rumah sakit yuk, tadi rencana mau makan siang bareng ibumu di sini." Dokter Erta melihat arlgi di pergelangan tangannya. "Tapi kayaknya udah telat, bisa antar ibu kan Gas? Udah lama juga ibu ndak ngobrol-ngobrol sama kamu."
Tidak ada alasan bagi Bagas untuk menolaknya. Akhirnya meski dengan berat hati Bagas terpaksa menyanggupi permintaan Dokter Erta. "Yaudah bu... aku antar."
Sementara Bagas mengambil kunci mobilnya di meja kasir, terlihat ibu Ratna dan Dokter Erta sedang cupika-cupiki.
"Oh iya, seneng bisa ketemu mas Arya, aku pamit dulu." Pamit Dokter Erta.
"Sama-sama bu," ucap Arya penuh takjim.
Beberpa saat kemudian Dokter Erta dan Bagas pergi meninggalkan ruko, dangan menaiki mobil milik Bagas.
Arya dan ibu Ratna berdiri mematung melepas kepergian mereka. Kemudian terlihat Arya mengkerutkan keningnya, saat melihat motor Honda beat yang masuk ke halaman, berpapasan dengan mobil Bagas.
Setelah pria itu memarkirkan motornya, dengan senyum dan wajah ceria berjalan mendekati Arya dan ibu Ratna yang masih berdiri mematung.
"Assalamulaikum nak Arya," sapa pria yang kepalanya sudah dipenuhi dengan uban.
"Walaikumsalam pak," balas Arya.
"Siapa mas?" Tanya ibu Ratna.
Menarik napas dalam-dalam sebulm akhirnya Arya lepaskan secara perlahan. "Pak Darto, mertuaku bu."
Ibu Ratna hanya membuka mulutnya, membentuk huruf 'O' tanpa bersuara.