Walaupun sebenarnya sudah tidak ada perasaan khawatir lagi saat Arya sedang bersama ibunya. Tapi tetap saja, saat itu Bagas benar-benar merasa resah. Bagaimana tidak, harusnya hari itu Bagas bisa menghabiskan waktunya untuk bersama dengan Arya, tapi kenayataannya ia dimintai tolong untuk mengantarkan Dokter Erta ketempat kerjanya.
Dan yang membuat Bagas semakin tidak nyaman, Bu Erta bukannya langsung minta antar ke Rumah Sakit. Tapi malah mengajaknnya mampir di sebuah rumah makan untuk makan siang bersama.
Di rumah makan Bagas lebih banyak diam dan melamun. Ia sama sekali tidak mempunyai selera makan, makanan yang sudah dipesankan untuknya. Ia hanya mengaduk-aduk makanan yang sudah tersaji di atas meja, menggunakan sendok dan garpu. Wajahnya menatap malas melihat ibu Erta yang nampak lahap menikmati makan siangnya.
Sesekali ibu Erta melihat Bagas, ia tersenyum simpul sambil mengunyah makanan yang di dalam mulutnya.
"Kok nggak di makan Gas?" Tanya Dokter Erta yang duduk tepat di hadapannya. Hanya ada meja kecil sebagai penghalang. Di atas meja itu sudah ada menu makan siang, dua gelas Es jeruk dan dua gelas air mineral . "Kamu bosen ya nemenin ibu makan siang?"
Sepertinya ibu Erta sudah bisa membaca gelagat Bagas, dari raut wajahnya.
"Eh... enggak, enggak kok bu." Bagas mengelak, ia berusa mengubah ekspresi wajahnya agar tidak terlihat sedang jengah. Bagas memberikan senyum, namun senyum yang dipaksakan. "Lagi nggak leper bu," ucap Bagas berbohong.
"Oh..." ucap Dokter Erta. Tapi ia tahu jika Bagas sedang berbohong. Oleh sebab itu Dokter Erta menyudahi makan siangnya, meski baru setengah ia memakannya. Dokter Erta mengambil gelas yang berisi air mineral, setelah meminum hingga tandas Dokter Erta meletakan kembali gelas itu di atas meja.
Akhirnya Bagas bisa bernapas dengan lega. Artinya ia bisa mengantar Dokter Erta, dan kembali lagi menemui Arya.
Namun sepertinya harapan Bagas musnah. Karena ia melihat Dokter Erta melihat arlogi yang melingkar di pergelannya seraya berkata, "30 menit lagi ya Gas, ibu minta waktu kamu 30 menit lagi. Ada yang mau ibu omongin sama kamu."
Bagas membuang napas berat, rasa malas tergambar jelas di raut wajahnnya. Namun ia berusaha menutupinya dengan senyum yang terlihat kecut. "Ngomong apa sih bu? Nggak biasanya?" Bagas mengkerutkan keningnya.
"Ini soal ibu kamu."
"Ibu? Kenapa sama ibu? Apa Ibu sakit?" Tiba-tiba saja Bagas merasa cemas.
Menarik napa dalam-dalam lalu Dokter Erta melepaskannya dengan lembut.
"Bagas..." suara Dokter Erta terdengar penuh keibuan. "Sebenernya, ibumu ngelarang ibu buat ngomong ini sama kamu_" Dokter Erta menggantukan kalimatnya. Ia kembali membuang napas lega.
Bagas meminum ES jeruknya memelaui sedotan, sepertinya ia benar-benar merasa cemas.
"Tapi ibu yang maksa." Lanjut Dokter Erta.
"Emang ibu kenapa sih? Ibu sakit apa?" Tanya Bagas panik.
Dokter Erta tersenyum simpul, ia mengulurkan tangan meraih telapak tangan Bagas. "Kamu nggak usah kuatir, ibumu sekarang baik-baik saja. Bahkan sangat baik." Ucap Dokter Erta sambil melepaskan telapak tangan Bagas setelah mengusapnya dengan lembut.
Bagas mengkerutkan keningnya, ia masih belum mengerti maksud Dokter Erta.
"Sekarang? Jadi maksudnya ibu pernah sakit? Kok aku nggak tahu?" Bagas makin penasaran.
"Kamu tahu kan? Almarhum bapak kamu waktu meninggal, itu ninggalin banyak usaha di mana-mana. Jadi semua usahanya yang banyak itu mau nggak mau ibu kamu yang ngurus semua."
Dokter Erta mensruput Es jeruk melalui sedotan sebelum ia melanjutkan. Sedangkan Bagas makin antusias mendengarkannya.
"Ibu kamu terlalu sibuk ngurus semua bisnis bapak kamu. Belum lagi ibumu itu juga punya banyak bisnis yang harus diurus juga. Sampe-sampe ibumu lupa sama dirinya sendiri. Lupa sama kesehatanya. Sampe akhirnya ibumu terkena tekanan darah tinggi karena kelelahan dan kadang banyak masalah yang dateng. Terus_" kalimat Dokter Erta kembali menggantung. Ia menatap lekat-lekat wajah Bagas.
"Terus apa bu?" Tanya Bagas.
"Hem... ibu kamu kena serangan jantung, akibat hipertensi."
Deg...!
"Apa!?" Tubuh Bagas mendadak lemas, mulutnya menganga dan wajahnya berkerut.
Melihat Bagas yang terlihat sangat khawatir, Dokter Erta buru-buru menenangkannya.
"Tapi seperti yang ibu bilang tadi, kamu nggak usah kuwatir, ibumu sekarang baik-baik saja. Bahkan sangat baik."
"Tapi ibu nggak pernah bilang sama aku." Suaranya sangat pelan. Bagas merundukan kepala. Wajah ibunya melintas di benaknya. Terlihat bola mata Bagas sudah mulai berkaca.
"Ibumu cuma nggak pingin kamu cemas. Udah jangan disesali. Tapi beliau rutin berobat, rajin check up."
Tidak terasa air mata yang menggenang di kelopak mata Bagas lolos, menetes di pipinya. Bagas menyekanya menggunakan telunjuk. Kemudian ia juga menarik hidungnya, menghasilkan suara isakan.
"Sudah nggak usah nangis, ibumu baik-baik saja sekarang." Dokter Erta memberikan tisue pada Bagas.
Namun Bagas hanya meremas tisuenya sambil merundukan kepala. Ia tidak mengggunakan tisue itu untuk menghapus air matanya yang sekarang sudah mengalir.
"Bagas... kamu tahu nggak? Kalau ternyata ada seseorang yang bisa bikin kesehatan ibu kamu jauh lebih baik."
"Bagas mendongakan kepala dan mengekrutkan kening. "Maksudnya?"
Dokter Erta tersenyum simpul sebelum menjawab kebingungan Bagas.
"Jadi gini Gas, ibu kamu kan sudah lama sendiri. Dia rela betah melajang karena sayang sama kamu. Selain itu juga ibumu belum nemu orang tepat buat gantiin posisi bapak kamu. Nah... kamu kan sudah dewasa seakarang. Suatu saat kamu bakal nikah."
Bagas semakin mengkerutkan keningnya, ia sudah mulai mengerti kemana arah pembicaraan Dokter Erta.
"Suatu saat kamu bakal ninggalin ibumu. Kamu bakal hidup sama keluargamu. Jadi wajar kalau ibu kamu butuh seorang buat menemaninya." Lanjut Dokter Erta.
"Maksudnya, ibu mau nikah lagi?" Tebak Bagas.
Ibu Erta membuang napas lega, kemudian ia mengembangkan senyumnya. "Sebenarnya ibumu ngelarang ibu buat nyampein ini ke kamu. Cuma ibukan tahu gimana kondisi ibumu. Jadi ibu berharap, kalau nanti ibu kamu minta ijin sama kamu, semoga kamu bisa menanggapinya dengan bijak."
"Emang siapa yang lagi deket sama ibu?" Tanya Bagas. Ia sangat penasaran sekaligus hatinya mulai dag dig dug tidak karuan.
"Deket sih enggak, cuma ibu bisa menebak orang itu orang yang tepat buat dampingin ibumu. Dia bikin ibumu semangat menjalani hari-harinya. Dia juga bisa bikin kondisi ibu kamu semakin membaik."
Dokter Erta belum menjelaskan secara sepesifik orang yang dimaksudnya. Ia cuma ingin agar Bagas bisa memahami maksudnya, dan mengerti akan keadaan ibu Ratna.
"Iya tapi siapa laki-laki itu bu? Ibu nggak pernah ngenalin siapapun sama aku."
"Gimana mau ngenalin, orang kamu kenal kok." Dokter Erta menyipitkan matanya, menggoda Bagas. "Bahkan kelihatannya kamu sudah akreb sama orang itu. Ibu yakin kamu setuju. Tapi yaitu, ibumu masih malu buat ngomong langsung sama kamu."
"Emang siapa sih bu? Kok aku nggak tahu?"
Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Dokter Erta lepaskan secara perlahan. Ia memejit keningnya, merasa heran kenapa Bagas masih belum tahu dengan orang yang dimaksudnya.
"Itu lho... mas Arya."
Deg...!
Tubuh Bagas mendadak lemas, ia mengkerucutkan wajahnya. "Hah?" Suaranya sangat pelan, hampir tidak terdengar. Bibir dan permukaan wajahnya semua berketar. Sekujur tubuhnyapun langsung gemerataran.
"Tolong ya Gas, inget! kalau nanti ibumu minta ijin kamu harus bijak menanggapinya. Kasihan ibumu, inget juga kondisinya." Dokter Erta kembali berpesan sambil mengembangkan senyumnya.
Semantara Bagas hanya mampu menelan salivahnya. Ia terdiam, membisu, dan menatap nanar wajah Dokter Erta. Tiba-tiba saja dadanya terasa sangat nyeri, dan bola matanya kembali berkaca.
Ternyata ini lebih mengerikan dari sekedar yang dibayangkan oleh Bagas.
====
Di toko bangunan, ibu Ratna sedang duduk di kursi yang sudah disediakan jika ada tamu yang datang.
Sedangkan pak Darto duduk di kursi berbeda di depan ibu Ratna. Bola mata pak Darto menebar ke segala arah melihat betapa besar dan lengkapnya toko milik Arya. Nampak kegaguman tergambar di raut wajahnya.
"Gimana kabar ibu pak?" Tanya Arya sambil berjalan ke arah pak Darto dan bu Ratna. Ia membawa satu botol air putih dan dua gelas kosong. "Kok nggak diajak?" ucapnya sambil meletakan botol dan gelas di atas meja.
Meski masih ada rasa sakita di hati Arya dengan sikap pak Darto sebelumnya, namun ia tetap berusaha serama mungkin dalam bersikap.
"Alhamdulilah, ibu baik kok le," jawab Pak Darto. Matanya masih jelalatan di sekitaran. Bahkan ia sedikit mengabaikan sosok ibu Ratna yang sedang duduk di depennya.
Melihat tingkah pak Darto ibu Ratna hanya tersenyum tipis.
"Sebenernya bapak tuh sudah lama pingin main kerumahmu." Ucap pak Darto setelah ia sadar jika Arya sudah duduk berdampingan dengan ibu Ratna, sedang memperhatikannya. "Tapi bapak sibuk di sawah. Makanya baru hari ini bapak sempetin ke rumah. Eh... tadi bapak ke rumah kata ibumu kamu di sini. Yasudah bapak langsung ke sini."
Arya hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Bibirnya juga tersenyum, namun sangat tipis.
Maksud tujuan pak Darto menemui Arya sebenarnya untuk meminta maaf atas sikapnya selama ini. Ia juga ingin memberitahu jika berita tentang pernikahan Santi di Luar Negeri hanya gosip semata. Tapi berhubung sedang ada ibu Ratna di situ, rasanya kurang tepat jika membicarakan urusan keluarga namun disaksikan orang lain. Oleh sebab itu pak Darto mengurungkan niatnya. Menunggu waktu yang tepat untuk berbicara masalah sepenting itu, tanpa ada orang lain yang mendengarnya.
"Oh iya... le, bapak seneng denger kamu katanya udah sukses sekarang, tokomu juga lumayan besar ya?" Pak Darto kembali menebarkan pandangan di sekitar toko.
"Sukses kados pundi pak?" Ucap Arya mencoba merendah. "Saya cuma karyawan di sini, kuli, yang punya toko initu ibu Ratna." Arya menoleh pada bu Ratna sambil tersenyum nyengir.
"Ah... yang beneeer..." pak Darto menarik wajahnya, ia tersenyum seolah tidak percaya sama menantunya.
"Estu Pak, aku cuma kuli." Arya menegaskan. "Duit dari mana pak buat bikin toko begini?" Imbuh Arya meyakinkan pak Darto.
Terlihat manik mata ibu Ratna melirik ke arah pak Darto. Ia melihat raut wajah pak Darto yang penuh dengan kekecewaan. Ia terdiam dan nampak sedang berpikir. Meskipun itu kali pertama ibu Ratna bertumu dengan pak Darto. Tapi ia sering mendengar bagaimana sifat pak Darto dari ibu Sumi.
"Bohong pak!"
Ucapan bu Ratna membuat Arya dan pak Darto menoleh padanya.
"Mas Arya ini terlalu merendah, saya itu cuma pelanggan di toko ini, kebetulan sudah lumayan akrab." Lanjut ibu Ratna menjelaskan.
Arya menarik wajahnya saat sedang menoleh ke arah ibu Ratna, ia nampak heran dibuatnya.
Sedangkan pak Darto kembali mengembangkan senyumnya.
"Begitu?" Tanya Pak Darto menggeleng-gelengkan kepalanya. Senyum bangga pada Arya terpancar di mulutnya.
"Injeh pak. Kalau ini toko punyaku, masak iya namanya BERKAH ARYA? Aku kesini cuma mau nawarain mobil. Soalnya kemaren aku denger mas Arya lagi cari mobil. Ya walaupun katanya mau beli mobil baru saja, tapi mobilku jugakan masih baru. Barang kali saja mas Aryanya mau." Ibu Ratna kembali melirik ke arah pak Darto. Ia melihat ekspresi pak Darto yang semakin terkagum-kagum.
Sedangkan Arya hanya bengong dan membisu. Ia semakin dibuat bingung oleh sikap bu Ratna.
Pak Darto menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap kagum kepada Arya. "Bapak bangga sama kamu le," ucapnya.
"Tapi pak_"
Arya menghentikan kalimatnya karena bu Ratna langsung memotongnya.
"Yha pasti bangga pak, aku aja salut sama Arya, masih muda tapi sudah sukses. Orang tua mana yang nggak bangga liat orang kayak mas Arya? Selain masih muda, mas Arya itu ganteng, rajin ibadah juga iya."
Ibu Ratna menoleh pada Arya dan tersenyum simpul padanya. Kemudian ia menoleh pada pria yang masih bersetatus mertua Arya.
Sebenarnya ia merasa tidak enak hati sudah bersikap demikian pada mertua Arya. Tapi ia merasa perlu memberi pelajaran pada orang seperti pak Darto.
"Lagian pak ya. Kok bisa-bisanya njenengan baru tahu kalau menantunya sudah sukses? Apa rumahnya jauh apa gimana?" Ibu Ratna berpura-pura tidak tahu. Ia sudah dengar dari bu Sumi kalau rumah Arya dengan mertuanya cuma beda dusun, tapi masih satu desa.
Pertanyaan ibu Ratna membuat pak Darto celingukan. Ia mengkerjap-kerjapkan matanya, dengan raut wajah yang malu pak Darto tersenyum pada bu Ratna, namun senyum itu telihat sangat dipaksakan.
"Jadi njenengan juga nggak tahu, kalau mas Arya mau beli rumah di deket pasar ini?" Ibu Ratna semakin bersemangat menggoda pak Darto. Meski masih ada perasaan tidak enak pada Arya.
Pak Darto hanya menggelang-gelengkan kepalanya.
"Oalah... aku kira suksesnya mas Arya itu berkat dukungan dari mertuanya juga."
Sindiran demi sindiran terus dilontarkan dari mulut ibu Ratna. Semua kata-kata ibu Ratna juga semakin membuat pak Darto merasa tidak nyaman berlama-lama di tempat itu.
Oleh sebab itu pak Darto memutuskan untuk bermaitan dengan alasan mau pergi ke sawah. Mungkin ia akan kembali lagi bertemu dengan Arya, tapi bukan di toko. Melainkan di rumahnya.
Ibu Ratna membuang napas lega setelah pak Darto sudah tidak ada lagi di tempat itu. Ia menegug segelas air putih untuk membasahi tenggorkannya yang kering karena terlalu banyak bicara.
Setelah mengantar mertuanya sampai halaman, Arya kembali berjalan mendekati ibu Ratna dan duduk di sebelahnya. Bagaimanapun pak Darto masih mertuanya, meski sudah banyak luka yang diberikan pak Darto untuk Arya, tapi tetap saja, perlakuan ibu Ratna membuat hatinya tidak nyaman.
Arya terdiam dan bengong, wajahnya terlihat sangat datar.
"Mas..."
Suara ibu Ratna membuat lamunan Arya membuyar.
"Eh... i-iya bu."
Menarik napas dalam-dalam sebelum Akhirnya bu Ratna hempaskan secara perlahan. "Aku minta maaf atas sikapku sama mertua mas Arya tadi. Sebenarnya aku ndak enak sama kamu. Tapi aku tuh gemes sama pak Darto itu."
"Nggak papa bu," hanya itu yang bisa Arya ucapkan. Suarannya sangat datar.
"Jangan marah lho mas, aku bener-bener minta maaf."
"Iya nggak papa."
Dan sebenarnya kedatangan pak Darto ke toko bangunan itu membuat ibu Ratna berpikir keras. Ia sudah paham dengan maksud dan tujuan bertemu dengan Arya. Oleh karena itu, ibu Ratna merasa harua bertindak lebih cepat.
"Sebenarnya aku pingin ngajak njenengan ngobrol mas." Ibu Ratna menganti topik pembicaraan.
"Ngobrol?"
"Iya, ada yang pingin sampaikan sesuatu sama kamu."
"Soal kerjaan?" Tanya Arya.
Ibu Ratna membuang napas lembut, "bukan kerjaan mas, tapi lebih ke soal pribadi. Ini antara kita." Jelas ibu Ratna.
"Pribadi? Kita?" Arya menyipitkan matanya, menatap bu Ratna penuh dengan rasa penasaran.