Akhirnya dengan gaya bicara Arya yang dewasa. Tutur bahasanya yang sopan, dan dengan berbagai macam penjelasan, Arya bisa membuat sepasang suami istri pak Suratno dan ibu Ningsih bisa mengerti. Mereka bisa memahami jika Arya tidak bisa menikah dengan anaknya, Dewi.
Sikap santun dan penjelasan yang masuk akal, juga tidak membuat kedua pasangan suami istri itu lantas menjadi benci kepada Arya. Mereka tetap ramah, dan masih menjalin hubungan baik dengan Arya dan ibu Sumi.
Akan tetapi berbeda dengan orang tuanya. Penolakan Arya agar menikah dengan Dewi, membuat wanita berambut pirang palsu itu, semakin uring-uringan. Menangis dua hari dua malam menjadi pelampiasan, sebagai bentuk rasa kekecewaannya.
Tapi mau bagaimana lagi? Meski cinta itu datang tidak di undang, tapi cinta juga tidak bisa dipaksa untuk datang. Arya juga tidak ingin main-main dalam menjalani hubungan rumah tangga untuk kedua kali. Selain itu Arya juga mempunyai banyak alsan, untuk tidak bisa menerima Dewi menjadi istri keduannya.
Intinya Arya tidak mencintai Dewi. Karena pada hakikatnya, pernikahan adalah menyatukan dua hati yang sang saling mencintai. Jika hanya ada cinta di satu hati saja, maka rumah tangga akan berjalan pincang. Meskipun Dewi seorang wanita yang cantik, masih muda, dan menggariahkan, tapi sebenarnya bukan itu yang Arya cari.
Dan pada akhirnya, karena hati yang merasa terluka, dan kecewa, sehingga Dewi dengan berat hati memutuskan untuk melanjutkan kontraknya menjadi TKI di Luar Negeri. Dewi belum siap jika harus terus-terusan melihat laki-laki yang dicintai, namun tidak bisa ia miliki.
Waktu begitu cepat berlalu, tidak terasa sudah hampir dua bulan lebih antara Arya, Bagas, dan ibu Ratna sudah saling mengenal.
Hubungan mereka bertiga semakin hari, makin terasa hangat.
Benih-benih cinta yang ada di hati bu Ratna kepada Arya, juga semakin tumbuh dan berkembang. Namun hingga saat ini, baru sinyal-sinyal cinta saja yang bu Ratna bernai berikan. Ia masih belum siap, untuk mengutarakan langsung, apa yang ada di hatinya. Meskipun begitu, ibu Ratna sangat menikmati perasaannya. Bisa selalu dekat dan melihat Arya tiap hari saja, ibu Ratna sudah sangat bahagia.
Sejak ibu Ratna sering membantu Arya, memberikan arahan bagaimana cara memulai suatu usaha. Arya dan ibu Ratna memang jadi lebih sering bertemu, keduanya juga sering pergi bersama untuk keperluan usaha baru yang mereka kelola. Oleh sebab itu antara Arya dan ibu Ratna juga semakin terlihat sangat dekat. Namun Arya tetap memberikan batasan, ia masih sangat menghormati ibu Ratna sebagai orang baik yang sudah banyak jasa padanya.
Dan kini, dua bulan sudah berlalu, usaha yang dikelola Arya sudah berjalan normal. Arya sudah bisa mengurus usahanya sendiri dengan bantuan lima orang karyawannya. Namun meski Arya sudah bisa mengurus usaha sendiri, tapi tetap saja, ibu Ratna selalu rutin menemui Arya dengan alasan mengontrol pembukuan. Paling tidak dalam seminggu bisa empat kali ibu Ratna memeriksa laporan keuangan di tempat Arya. Padahal untuk usaha-usahanya yang lain, ibu Ratna cukup menerima pesan Whatsap atau email untuk menerima laporan keuangan dari orang-orang yang dipercayakan untuk mengurus cabang usaha atau bisnisnya.
Semua itu ibu Ratna lakukan, semata-mata hanya ingin tetap dekat, dan selalu bisa melihat Arya.
Begitu juga dengan Adnan, anak berusia lima tahun itu, seperti menemukan sosok ibu, pada diri ibu Ratna. Karena hampir setiap hari Adnan yang memang belum sekolah itu sering diajak Arya ke toko matrealnya. Sehingga mau tidak mau, waktunya kini sering dihabiskan bersama ibu Ratna kalau pagi.
Dan sore harinya, giliran Bagas yang menemani Adnan bermain.
Semenjak Arya mempunyai usaha baru, tentu saja ia sudah tidak pernah lagi menampakan tubuh gagahnya di depan Sekolah Bagas. Arya sudah tidak lagi menjual aksesoris dan mainan anak-anak. Ia sudah sibukan dengan rutinitasnya yang baru.
Akan tetapi Arya masih sering ke sawah untuk mengurus tanamannya, karena bagaimanapun itu adalah satu-satunya warisan dari orang tuanya. Sehingga jika sedang luang, Arya selalu menyempatkan diri untuk mengurus sawahnya itu.
Karena hal itu, banyak sekali anak-anak sekolah yang merasa kehilangan sosok Mas Arya. Banyak yang bertanya-tanya di manakah mas Arya? Terlebih anak-anak di sekolah Bagas. Para fans Mas Arya Lover's banyak yang sedih karena tidak bisa melihat sosok Mas Arya lagi.
Begitu juga dengan Yance, pria gemulai itu juga sangat kehilangan pemilik tubuh perkasa itu, Arya. Ia merasa tidak bersemangat karena sudah tidak lagi bisa mencuci matanya dengan melihat tubuh gagah, dan wajah ganteng mas Arya.
Tapi, namanya juga Yance, tiada rotan akarpun jadi. Tidak ada mas Arya, ia masih tetap bisa menggoda cowok-cowok cakep di sekolahnya. Rasa sedihnya bisa langsung hilang, jika mata Yance melihat cowok bening, atau berondong cakep yang kebetulan lewat di depannya.
Yah begitulah Yance, lihat kambing jantan pakai baju kemeja saja, Yance bisa langsung kelepek-kelepak jatuh hati. Bagi Yance yang penting lelaki.
Tentu saja, kesedihan yang dialami anak-anak sekolah karena tidak bisa lagi melihat sosok mas Arya, tidak berlaku untuk Bagas. Bagaimana tidak, toko bangunan yang dikelolah Arya jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolahnya. Bahakan lebih deket dari jarak pulang ke rumah. Oleh sebab itu Bagas selalu menyempatkan waktunya untuk mampir ke toko setiao pulang sekolah. Entah itu hanya untuk membantu seperlunya, atau sekedar menjaga Adnan dan bermain dengannya.
Kecuali jika hari juma'at. Karena Arya sengaja menutup tokonya setiap hari itu. Itupun terkadang Bagas menyempatkan waktu untuk bertemu dengan Arya. Dan jika sedang hari libur, Bagas menghabiskan waktunya bersama Arya.
Arya sama sekali tidak keberatan, justru ia merasa sangat senang. Karena selain Adnan ada teman bermain, kehadiran Bagas sering membuat bibirnya tersenyum. Meskipun Arya tahu jika Bagas masih sangat menyayangi, dan mencintainya, tapi itu tidak membuat Arya merasa risih. Bahkan jika Bagas tidak datang Arya merasa seperti ada yang kurang dalam dirinya.
Karena Bagas sendiri sangat pandai dalam bersikap. Ia bisa membuat Arya merasa nyaman, Bagas lebih mengedepankan hati dan cintanya, ketimbang hawa nafsu yang memang selalu datang menggebu. Bagas bisa mengontrol, dan menahan dirinya. Tapi tetap saja, ia selalu mengingatkan Arya jika perasaan cintanya masih tetap bertahta di hatinya.
Meski Arya hanya menjawab dengan senyuman, tapi itu sudah cukup bisa membuat Bagas merasa senang.
Siang itu hari minggu, udara di kota Purworejo terasa sangat panas, karena saat itu sedang musim kemarau. Bagas yang sudah berada di toko sejak pagi, sedang tiduran di lantai beralaskan permadani. Ia sedang sibuk bermain-main dengan HPnya, dan ada Adnan di sebelahnya sedang tidur siang.
Sedangkan Arya, ia sedang duduk di kursi kasir yang tidak jauh jaraknya dari tempat Bagas tiduran. Ia sedang memeriksa buku, nota, dan atau apalah, sekedar mencocokan angka di nota dengan buku akuntansi. Yang jelas ia sedang sibuk menghitung pengeluaran dan pemasukan hari ini.
Dua karyawan sedang keluar mengantar pesanan menggunakan mobil pick up. Tiga karyawan lainnya nampak sedang melayani pembeli, dan menyusun barang dagangan.
"Mas..." panggil Bagas sambil melihat Arya yang masih sibuk dengan nota-notanya.
"Hem..." jawab Arya tanpa menoleh.
"Tadi ibu bilang, katanya mas suruh beli hape baru." Ucap Bagas, kemudian ia kembali sibuk dengan HPnya.
"Buat apa dek?" Tanya Arya. "Mas udah punya."
"Iya tapi hape mas itu jadul, ibu suka kesel kalau lagi telfon ujug-ujug mati."
Arya tertawa kecil mendengar penjelasan Bagas. "Tapi masih bisa dipake dek, masih bisa sms kamu kan?"
Bibir Bagas langsung tersenyum dengan ucapan Arya, ia merasa seperti menjadi orang sepesial. Seolah hanya ia satu-satunya orang yang selalu dihubungi oleh Arya.
"Lagian itu hape banyak sejarahnya dek, mas beli hasil dari nguli bangunan pas masih bujang." Imbuh Arya menceritakan sejarah hape jadulnya.
"Awet banget mas?"
Arya menoleh pada Bagas yang sedang menatap kagum padanya, "mas gitu dek, orangnya setia, kalau udah sayang itu susah buat dilepas, ama barang juga gitu, mas jaga, mas rawat baik-baik." Imbuh Arya sambil mengangkat kedua alisnya ke arah Bagas.
"Cie... setia," goda Bagas.
Arya tersenyum simpul, kemudian ia membalikan tubuhnya menghadap buku catetannya.
"Pokonya mas kudu ganti hape, minimal Android mas, toh bentar lagi juga mas banyak yang ngubungin, pelanggan makin banyak," ujar Bagas penuh dengan semangat merayu Arya. "Ya mas... nanti aku temenin, biar aku yang pilihin type hapenya." Bagas berdiri dari tidurannya, kemudian ia berjalan mendekati Arya yang masih duduk di kursi kasir. Setelah sampai Bagas meletakan pergelangan tangannya di bahu Arya.
"Ganti ya mas, hapenya." Bagas memasang raut wajah memohon.
Semenatara Arya terdiam memandang wajah Bagas. Ia mengkerutkan kening dan nampak sedang berpikir. Beberapa saat kemudian Arya tersenyum nyengir, hingga mempertontonkan deretan giginya yang rapih dan bersih. "Yawes," ucap Arya sambil mengangguk-anggukan kepalanya. "Nanti dek Bagas yang pilih hapenya, soalnya mas ndak tahu hape yang bagus kayak apa?" imbuh Arya.
"Iyees..." Bagas mengepalkan telapak tangannya.
Sedangkan Arya hanya tersenyum nyengir melihat tingkah Bagas.
Tiin... tiin...!
Suara klakson mobil yang ditekan oleh pengemudinya mengalihkan perhtian Arya dan Bagas. Keduanya nampak memenatap datar pada seorang pria yang baru saja turun dari mobil tersebut, dan sedang berjalan mendekat ke arah mereka.
"Selamat siang mas, Assalamualaikum..." sapa seorang pria itu.
Waalaikumsalam.
Bagas dan Arya menajwab salam secara bersamaan.
Terlihat pria yang berpakaian seragam dealer motor itu merogoh dan mengambil sesuatu di kantong baju seragamnya.
"Ini bener toko bangunan UD. BERKAH ARYA?" tanya pria berseragam dealer setelah ia membaca alamat yang tertulis pada nota, atau infois.
"Iya bener," jawab Arya. "Ada apa ya?"
"Nggak papa cuma mau antar pesenan, oia mas Arya yang mana?" Tanya pria tersebut.
"Saya."
"Kalau gitu mas Arya tanda tangan di sini." Ucap pria itu sambil menaruh nota dan pulpen di atas etalase.
Arya dan Bagas bengong dan saling bersitatap. Keduanya sama-sama tidak tahu mengenai pesanan yang di maksud pegawai dealer motor tersebut.
"Maaf mas saya ndak pesen, mungkin mas salah alamat?" Ucap Arya. Ia masih belum mau menandatangani nota yang sudah berada di atas etalase itu.
Merasa penasaran kemudian Bagas mengambil dan membaca alamat pada nota tersebut. "Alamatnya bener, namanya juga bener mas Arya." Ucap Bagas menatap wajah Arya.
"Ya udah kalau gitu kita turunin sekarang aja ya?" Ujar pagawai dealer itu, sambil berjalan ke arah mobil pick up yang membawa satu unit sepeda motor Honda CBR150R.
"Eh... mas tunggu dulu," Arya keluar dari etalase mengejar petugas dealer tersebut.
Sedangkan Bagas terlihat menoleh pada HPnya yang berdering di atas bantal, di dekat Adnan yang sedang tidur. Kemudian Bagas mengambil HPnya yang berdering karena ada panggilan masuk untuknya. Setelah ia melihat nama pemanggil pada layar HP itu, Bagas langsung menggeser timbol jawab dan menempelkan benda persegi empat itu di telingannya.
Di halaman toko bangunan, terlihat Arya sedang sibuk mencegah beberapa karyawannya yang sedang membantu petugas dealer untuk menurunkan motor tersebut.
"Tunggu dulu mas, aku ndak merasa ambil kereditan motor. Coba konvirmasi lagi sama kantor njenegan. Bisa saja ini salah alamat kan?" Ujar Arya meyakinkan petugas itu.
"Mas ini bukan motor kereditan, tapi ini sudah lunas. Dan alamatnya udah jelas banget, udah di chek berkali-kali." Jawab petugas Dealer sambil menujukan alamat yang tertulis pada lembaran invoice.
"Tapi_"
"Mas...!"
Arya mengantungkan kalimatnya karena terdengar suara Bagas memanggilnya. Saat ia menoleh terlihat Bagas sedang menyodor HP ke arahnya.
"Ibu mau ngomong," ucap Bagas sambil memberikan HPmiliknya pada Arya.
Arya mengkertukan kening sambil perlahan mengambil HP dari tangan Bagas.
"Jadi gimana ni? Turunin apa enggak?" Tanya salah seorang karyawan Arya di atas bak mobil. Ia akan membantu beberapa karyawan untuk menurunkan motor tersebut.
"Turunin aja mas nggak papa," perintah Bagas setelah Arya pergi mencari tempat berbicara dengan ibu Ratna melalui telfon.
Beberapa saat kemudian setelah memberikan surat-surat kepada Bagas, mobil beserta karyawan dealer sudah meninggalkan halaman toko bangunan. Tinggal ada Bagas dan karyawannya yang sedang menaiki atau sekedar duduk di motor baru milik Arya.
"Dek...!"
Bagas menoleh pada Arya yang baru saja memanggilnya.
"Ibu mu toh...?" Ucap Arya sambil memberikan kembali HP milik Bagas.
Bagas hanya tersenyum simpul menatap wajah Arya yang masih bingung.
Setelah berbicara dengan ibu Ratna lewat telfon, Arya baru tahu ternyata motor itu sengaja dibeli oleh ibu Ratna untuk Arya. Seperti biasa Arya selalu kalah jika berdebat dengan ibu Ratna.
Wanita elegan, dan smart itu selalu punya cara atau alasan yang membuat Arya pada akhirnya harus menerima pemberiannya.
"Mas beli hapenya naik motor baru yau," ajak Bagas sambil menggoda Arya.
"Wah mas bisa dipenjem buat ngapel ni." Ucap Panjul. Salah satu karyawan yang masih naik di atas motor baru Arya.
"Boleh," jawab Arya singkat.
Kemudian Arya berjalan mendekati motor, ia naik dan duduk di atas motornya setelah Panjul turun.
Bagas tidak berkedip, ia tertegun memandang betapa gagahnya Arya duduk di atas motor itu. Sangat serasi, motor yang gagah dengan pemilik yang juga gagah.
"Dek..."
Bagas tersentak saat Arya memanggilnya, karena ia sedang melamun, terpesona melihat lelaki kesayangannya di atas motor.
"Eh iya mas..."
"Bangunin Adnan, kita cari hape sekarang"
"Iyaa... yess..." Ucap Bagas sambil berlari ke dalam toko.
Tidak berapa lama kemudian Bagas sudah kembali dengan menggendong Adnan yang masih mengantuk. Setelah mendudukan Adnan di bagian depan, terlihat Bagas penuh riang naik di bagian belakang.
"Pegangan yang kenceng dek," pesan Arya sebelum ia menghidupkan mesinnya.
Bagas hanya tersenyum meringis. Ia tidak mungkin memeluk Arya di depan karyawannya.
"Pakde, nanti tutup cepet aja, sore ke rumah ya makan-makan itung-itung syukuran," pesan Arya pada karyawannya yang paling tua.
"Injeh mas Arya, wah asik ni," ucap pria yang dipanggil 'pakdek' oleh Arya.
"Kasih tahu Wanto, sama Saring kalau udah pulang antar pesenan," imbuh Arya.
Beberapa saat kemudian, Arya menjalankan mesin motor baru, ada Adnan di depan, dan Bagas di belakangnya. Bagas sudah berani memeluknya erat Arya saat motor sudah meninggalkan toko.
Malam hari setelah karyawan Arya pulang, terlihat Bagas yang masih di rumah Arya, ia sedang tiduran tengkurap di kasur sambil bermain-main dengan HP miliknya. Adnan sudah tertidur pulas, ibu Sumi sedang mencuci piring sisa-sisa makan bersama karyawan.
"Dek, jama'ah yuk... isya," tegur Arya sambil memakai sarungnya.
"Duluan mas, aku nanti," jawab Bagas tanpa menoleh Arya. Ia masih sibuk dengan HPnya.
"Jangan di tunda-tunda kalau ndak sibuk dek," ucap Arya memberi nasehat.
"Iya mas bentar, aku sholat sendiri aja, ini aku lagi baca-baca komentar di instragam, tadi posting foto mas naik motor mas, banyak banget yang koment." Jelas Bagas sambil tertawa nyengir.
Arya mendengus, dan membuang napas kasar, kemudian ia memukul pelan punggung Bagas menggunakan sajadahnya.
"Ngadep layar hape sampe berjam-jam bisa betah ya dek? Ngadep yang sama ngasih rejeki buat beli hape paling cuma lima menit aja ogah-ogahan." Sindir Arya.
Bagas tersenyum simpul, kemudian ia menekan tombol power untuk mematikan layar HPnya.
"Iya.. iya..." ucap Bagas sambil beranjank dari tidurannya.
"Yaudah mas tunggu," pesan Arya sambil berjalan keluar kamarnya.
Kemudian Bagas bangkit, dan dari dipan. Tanpa sengaja Bagas melihat HP baru Arya yang di taruh di atas kasur. Lalu pada saat Bagas mengambil HP Arya, bibirnya tersenyum dan matanya terbelalak. Ia merasa sangat senang karena melihat fotonya yang sedang menggedong Adnan dijadikan tema atau foto profile di layar HP Arya yang baru saja dibeli tadi siang.
Jantung Bagas kembali berdesir. Dengan perasaan yang bahagia, Bagas kelur dari kamar, untuk sholat isya berjama'ah bersama Arya.
====
Kampung di mana Arya tinggal bersama ibu Sumi dan Adnan tidaklah terlalu besar, cenderung kecil. Sehingga jika ada berita apapun akan cepat tersebar luas dari mulut ke mulut.
Termasuk berita tentang perubahan ekonomi Arya, yang makin hari semakin membaik. Saat ini Arya sedang menjadi buah bibir, atas usaha toko bangunan yang ia miliki bersama ibu Ratna. Arya yang kini sudah tidak lagi memakai sepeda ontel, dan berganti dengan motor bagus, juga menjadi pusat perhatian tetangga atau warga setempat.
Berita tentang Arya sudah tersebar luas hingga sampai ke telinga pak Darto, mertua Arya.
Hong Kong...
Santi yang sedang tidur di kamar dan menggunakan selimut tebal untuk menutup tubuhnya. Terlihat tangannya yang mulus sedang merabah-rabah HP karena mendengar dering panggilan masuk.
Setelah menemukan HPnya santi duduk menyandar di sandaran dipan. Saat nelihat layar HPnya tertera di sana ada tulisan...
Bapak
Is calling...
Setelah menggulir tombol jawab, santi menyelikan rambut panjang yang menutupi telinganya.
"Halo pak...!" Sapa Santi setelah HP ia tempelkan pada daun telingannya.
"Siapa sayang?" Tanya seroang pria dengan suara yang terdengar paruh karena masih mengantuk.
Santi sontak menutup mulut pria yang masih berada di dalam selimut. Ia tidak ingin jika Ayahnya mendengar ada seorang pria sedang bersamanya.
Pria itu bisa langsung mengerti, dan akhirnya masuk kembali kedalam selimutnya.
"Halo nduk... kamu sedang apa?" Tanya pak Darto dari ujung telfon.
"Bangun tidur pak, ada apa? Mau minta duit lagi?" Tebak Santi. Karena ia sudah paham sekali akan kebiasaan orang tuannya.
"Bukan nduk, kiriman mu yang kemaren juga belum bapak ambil, masih di rekening."
"Terus ada apa pak?"
"Bapak mau tanya, kapan kontrak kerja kamu habis?"
"Lima bulan lagi pak, emang kenapa?"
"Baiknya kamu ndak usah perpanjang lagi, kamu pulang saja. Sekarang Arya udah sukses nduk."
"Sukses gimana pak?" Tanya Santi sedikit tersentak.
"Sekarang Arya sudah punya toko bangunan, besar terus rame, kemaren juga baru beli motor nduk, bapak seneng lihatnya."
"Duit dari mana pak?" Santi masih belum yakin dengan kabar dari orang tuanya.
"Bapak ndak tahu, pokoknya Arya sudah banyak duit sekarang. Udah kamu ndak usah cari duit lagi. Tabungan kamu kan udah banyak, suamimu juga udah pinter cari duitnya."
"Seirus pak? Tapi bukannya kabar saya nikah lagi udah santer ya di kampung? Apa mas Arya masih mau ama saya?"
"Udah nduk kamu ndak usah khawatir, Arya pasti masih nungguin kamu. Buktinya sampe sekarang dia belum mau nikah lagi. Kemaren bapak sempet denger katanya Dewi minta di lamar Arya, tapi Arya ndak mau."
"Dewi?" Santi kembali terkejut mendengar kabar dari bapaknya. "Maksud dia apa pak?" Wajah Santi terlihat sangat emosi.
"Ya makanya kalo bisa kamu pulang, mumpung belum terlambat. Nanti bapak maj nemui Arya. Mau minta maaf sama dia. Bapak sekarang udah seneng dia sukses. Lagian nduk, kalo kamu terlalu lama nanti anakmu ndak mau deket kamu"
Santi terdiam, ia tertegun memikirkan kata-kata pak Darto dari ujung telfon.
"Halo nduk..."
"Eh ... iya pak.."
"Pokonya nanti kita bicarakan kalau kamu sudah pulang, inget jangan sampai nambah kontrak lagi. Arya itu baik pasti dia masih mau maapin bapak."
Santi diam dan nampak ia sedang berpikir. "Ya sudah pak, aku pikir-pikir lagi... nanti aku kabari, aku bisa pulang kapan aja kok nggak harus nunggu habis kontrak. Assalamulaikum."
Santi menutup telfonya, kemudian ia menidurkan kepalanya di sandaran dipan. Pikirannya melayang entah kemana.