Chereads / Oh Mas Arya / Chapter 18 - Maaf aku tidak bisa

Chapter 18 - Maaf aku tidak bisa

Seperti yang sudah direncanakan ibu Ratna, ingin mendekatkan anaknya dengan Arya. Hari itu Arya pulang ke rumah diantarkan oleh Bagas.

Tidak bisa dipungkiri, tentu saja Bagas sangat senang bisa mengantarkan Arya, karena memang itu yang sebenarnya ia harapkan. Tapi entah kenapa pada saat dalam perjalanan, Bagas lebih banyak diam. Canggung dan grogi tidak bisa ia hilangkan dari perasaannya. Mungkin karena ia sudah terlanjur mengungkapan perasaan cintanya pada orang yang sedang duduk di sebelahnya.

Apalagi beberapa kali Bagas menangkap Basah Arya melirlik kepadanya. Hatinya semakin bergemuruh, bergejolak tidak menentu. Timbul perasaan yang sangat sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. Otaknya sampai berpikir yang tidak-tidak.

"Mas ..." Bagas memecah keheningan yang terjadi di dalam mobil.

"Hem..." Arya sedikit tersentak pada saat Bagas memanggilnya.

"Makasih ya mas, udah mau direpotin." Ucap Bagas di sela-selah ia sedang fokus mengemudi.

"Ngrepotin opo dek?"

"Ya mas udah mau nemenin aku,"

Arya tersenyum tipis, pandangannya fokus kedepan, dan wajahnya datar. "Cuma kayak gitu nggak ngrepotin." Ucap Arya dengan gayanya yang tenang.

Bagas hanya tersenyum simpul mendengar ucapan Arya. Kemudian ia kembali berkonsentrasi mengendarai mobilnya.

"Mas...!" Panggil Bagas kembali. Sebenar banyak sekali yang ingin ia obrolkan. Tapi mendadak lidahnya terasa kaku.

"Opo dek?" Jawab Arya sambil melirik heran pada Bagas.

"Aku pingin tanya."

"Tanya apa?" Jawab Arya.

Bagas membuang napas berat untuk melegakan hatinya, agar bisa bisa lancar berbicara.

"Mas nggak takut sama aku?" Tanya Bagas.

"Takut kenapa?" Arya mengkerutkan kening menatap Bagas penuh dengan heran.

"Mas kan udah tahu kalau aku suka sama mas, bahkan aku tu cinta sama mas." Sebenarnya Bagas menanyakan itu hanya sekedar mengingatkan saja. Bagas tidak ingin Arya lupa, jika ia sedang jatuh cinta pada Arya. Entahlah. "Soalnya biasanya tuh laki-laki normal suka takut kalau ada maho. Apalagi kalau laki-laki normal itu tahu kalau mahonya suka ama dia. apalagi sampai jatuh cinta. Ya... kaya aku ke mas ini. Tu temen-temenku yang normal sampai parno dikejer-kejer sama Yance." Sebenarnya Bagas sendiri merasa aneh bertanya seperti itu. Cuma hanya karena penasaran dengan Arya, terpakasa ia sampaikan isi hatinya.

"Maho itu apa ya dek?"

Bagas tersenyum simpul mendengar pertanyaan polos Arya. Sebenarnya ia sendiri juga tahu kata-kata seperti itu denger dari Yance. Karena Bagas type remaja tertutup, meski orientasi seksnya menyimpang ia tidak tahu banyak, istiliah-istilah macam itu.

"He.. he.. maho itu singkatan dari manusia homo mas," Bagas tertawa kecil setelah menjawab pertanyaan Arya. "Aku juga denger dari Yance."

"Oh..." ucap Arya. Ia juga tertawa kecil mendengar jawaban Bagas. "Ada-ada saja."

Beberapa saat kemudian mereka terdiam, dan keduanya nampak terlihat fokus memperhatikan jalan di gelapnya malam.

Terlihat Bagas menoleh sekilas pada Arya dengan raut wajah penasaran. Ia masih menunggu jawaban atas pertanyaan yang baru saja ia tanyakan. "Kok pertanyaan aku nggak di jawab mas?"

"Mas bingung jawabnya dek, tapi kalau menurut mas, si Yance itu nggilani dek. Mas juga ngeri." Jawab Arya sambil bergidig karena membayangkan tingkah Yance.

Sedangkan Bagas tertawa mendengarnya, "terus kalau aku gimana? Mas nggak ngeri? Apa takut gitu?"

Arya menoleh pada Bagas ia memandang remaja itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Arya lepas secara perlahan. "Kamu..."

Bagas menyipitkan matanya melirik pada Arya, nampak ia memasang telinga untuk mendengarkan jawaban Arya. Bagas sangat penasaran.

"Kamu_" Arya mengantungkan kalimatnya. Ia bingung mau menjawab apa? Karena ia memang sudah merasa nayaman sebelum tahu bahwa Bagas mempunyai prilaku seks yang menyimpang. Dan setelah ia tahu kenyataan tentang Bagas, Arya sudah terlanjur dekat, dan sayang. Meski ia hanya menganggapnya sebagai adik. Oleh sebab itu sedikitpun ia tidak merasa apa yang dipikirkan oleh Bagas.

"Kamu kan bukan hantu dek, kenapa mas harus takut?" Arya menjawab sedapetnya.

Sedangkan Bagas terlihat mengembungkan kedua pipinya sambil meniup angin dari mulutnya. Meski sedikit kecewa dengan jawaban yang Bagas dengar, namun ia berusaha untuk tertawa kecil. "Ada-ada saja kamu," Bagas menelan saliva dan wajahnya berubah datar.

"Setelah apa yang sudah kita lakukan, masak iya sih mas kamu ndak ada sedikitpun rasa" Bagas membuang napas lembut dan kembali fokus mengemudi. Bagas kembalai merasakan sulitnya mencintai seorang pria hetero.

Sedangkan Arya meskipun pandangannya ke depan tapi matanya sesekali melirik kearah Bagas. Entah apa yang ia pikirkan.

====

Buugh...!

Buugh...!

Arya dan Bagas menutup pintu mobil secara bersamaan. Kemudian keduanya jalan berdampingan dengan membawa oleh-oleh dari ibu Ratna dengan jumlah yang sangat banyak.

"Lagi ada tamu kayaknya mas?" Tanya Bagas karena ia melihat pintu rumah Arya yang terbuka.

"Hiya kayaknya, tapi sapa malam-malam begini?"

"Assalamualikum"

Bagas dan Arya mengucap salam bersamaan saat mereka sudah tepat berada di depan puntu. Pintu yang tidak ditutup membuat keduanya bisa langsung nyelonong masuk kedalam rumah. Dan terdengar dari dalam, di ruang tengah, suara dua orang wanita menjawab salam mereka berdua.

"Sudah pulang le?" Ibu Sumi lansung beranjak dari kursi menyambut kedatangan anaknya. "Eh... ada dek Bagas."

Bagas tersenyum simpul melihat sambutan hangat dari ibu Sumi. "Iya bu, nganterin mas Arya, oia... ini ada titipan dari ibu," ucap Bagas sambil menyodorkan beberapa kantong plastik besar berisi oleh-oleh. Namun matanya melirik ke arah wanita cantik berambut pirang yang masih duduk sambil tersenyum simpul memperhatikan kehadiran mereka.

"Apa ini? Kok repot-repot segala toh ibu mu itu dek..." ibu Sumi menerima oleh-oleh itu kemudian ia mempersilahkan Bagas dan Arya untuk duduk di kursi. "Sebentar ibu bikinin minum dulu." Ucap ibu Sumi sambil berjalan ke arah dapur dengan membawa oleh-oleh.

"Kamu toh Wi?" Ucap Arya setelah ia duduk berdampingan dengan Bagas. "Udah dari tadi?"

"Belum sih mas, tapi aku udah nidurin Adnan tadi,"

Terlihat Bagas menatap Dewi dengan tatapan yang sulit diartikan. Banyak sekali tanya yang berkecamuk di kepalanya. Apalagi ia melihat cara pandang Dewi yang tidak biasa saat menatap Arya.

"Oia... apa ini mas Bagas yang kemaren pijit sama ibu?" Tanya Dewi sambil melihat ke arah Bagas.

Sedangkan Bagas menganggukan kepala sambil tersenyum, senyum manis namun karena dibuat-buat jadi terlihat sangat kecut. "Iya mbak," jawabnya.

"Wah cakep juga ya kalau liat dari deket gini, kaya artis korea."

"Makasih, bisa aja mbak ini. Mbaknya juga cantik kaya girld band korea," balas Bagas memuji Dewi.

Yang dipuji merasa tersipu sambil merundukan kepala. Namun matanya tidak pernah bosan melirik Arya.

Melihat tingkah Dewi, Bagas mengkerutkan kening. Rasa cemas muncul di hatinya.

Beberapa saat kemudian ibu Sumi datang dengan membawa nampan. Dan di atas nampannya ada satu gelas teh hangat untuk Bagas, dan satu gelas kopi untuk Arya.

"Ayo di minum," titah Ibu Sumi sambil duduk di kursi setelah ia meletakan dua gelas berisi minuman di atas meja. "Gimana kabar ibumu?" Tanya bu Sumi ke pada Bagas.

"Alhamduliah, sehat bu," jawab Bagas. "Karena ada urusan jadi ibu pulang lebih cepet."

Beberapa saat kemudian antara ibu Sumi dan Bagas terlihat mengobrol. Ibu Sumi seperti sudah lama tidak bertemu dengan Bagas. Kehadiran Bagas kembali ke rumahnya, membuat ia terlihat sangat heboh. Banyak pertanyaan yang tidak penting ia tanyaakan pada Bagas. Namun Bagas dengan senang hati menjawabnya, meski dengan perasaan gelisah, karena ia melihat Dewi selau mencuri pandang pada Arya.

"Tak kira kamu udah berangkat lagi Wi?" Arya membuka obrolan untuk Dewi, karena ia melihat ibunya terlalu fokus pada Bagas.

"Kayaknya aku ndak berangkat lagi mas," jawab Dewi.

Arya mengangguk-anggukan kepalanya, "kenapa? Mau nikah opo? Udah nemu calon?" Imbuhnya menggoda Dewi.

Tentu saja yang di goda sontak memudarkan senyumnya, kata-kata Arya seperti tali yang mencekat lehernya.

Obrolan Arya dan Dewi mengundang perhatian Ibu Sumi yang sedang asik berbincang-bincang dengan Bagas. Kemudian wanita paruh bayah itu menoleh pada Dewi yang masih duduk di sampingnya.

"Nduk.. mumpung ada mas Arya, apa ndak sebaiknya kalian ngobrol aja yang serius?"

Bagas merasa gemetaran mendengar kalimat yang keluar dari mulut ibu Sumi. Hatinya tiba-tiba merasa cemas.

"Aku malu bu," ucap Dewi dengan suara yang berbisik, sambil merundukan kepalanya. "Ibu aja yang ngomong."

"Ngobrol serius apa toh bu?" Tanya Arya penasaran.

"Bener ni ibu yang ngomong?" Tanya ibu Sumi. Ia juga berbisik berbicara dengan Dewi.

"Iya." Jawab Dewi.

Menarik napas dalam-dalam lalu ibu Sumi melepaskannya dengan lembut. "Begini Le..." ibu Sumi memulai pembicaraan.

Wajah Bagas terlihat datar memperhatikan bu Sumi. Sekilas matanya melirik pada Dewi yang sedang merunduk karena tersipu.

Sedangkan Arya nampak begitu Fokus  mendengarkan ibunya.

"Sebenarnya ibu mau ngomong besok, nunggu waktu yang pas, tapi berhubung kebetulan kamu pulang, terus Dewi masih di sini, ndak ada salahnya toh ibu ngomong sekarang. Lebih cepat kan lebih baik, biar jelas." Kemudian ibu Sumi kembali menoleh pada Bagas. "Dek Bagas ndak papa toh ibu ngobrol bentar, ikut denger juga boleh. Toh dek Bagas udah ibu anggep keluarga."

"Eh... nggak papa bu," jawab Bagas dengan napas yang tersengal.

Arya sekilas menoleh pada Bagas, lalu kembali menatap ibunya. "Ada apa toh bu?" Tanya Arya makin penasaran.

"Kemaren, bapak sama ibunya Dewi kerumah. Si Santi kan ndak jelas kabarnya gimana? Jadi mereka itu pingin nikahkan Dewi sama kamu."

Deg...! Jantung Bagas tiba-tiba saja seperti berhenti. Tubuhnya mendadak lemas seperti tidak bertulang.

Begitu juga dengan Arya, ia tidak kalah terkejutnya dengan Bagas. "Maksdunya gimana toh bu?"

Ibu Sumi membuang napas lega, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

"Masak ndak ndak paham toh le? Maksudnya Dek Ratno pingin jodohin kamu sama Dewi. Lagian tuh si Santi kan udah ndak perduli lagi sama kamu. Sama anakmu, jadi ndak ada salahnya kalo Dewi gantiin Santi buat jadi ibunya Adnan. Lagian apa ya kamu masih nungguin Santi. Ibu minta maaf le... bukannya ibu mau nyinggung kamu. Tapi mumpung kamu masih muda, Adnan juga kasihan kalo ndak ada kabar dari ibunya. Ibu kasihan sama kamu, kamu jadi banyak diem, kamu jadi minder sama omongan tetangga. Ibu capek dengernya." Ibu Sumi memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Ia merunduk dan bolah matanya berkaca.

Melihat jika bu Sumi sedang sedih, Bagas mengulurkan telapak tangan. Kemudian dengan lembut ia mengusap punggung ibu Sumi. Namun pandangannya tetap tertuju pada wajah Arya. Hatinya harap-harap cemas ingin mendengar keputusan Arya.

"Ibu cuma pingin liat kamu seneng le, ibu sudah tua, kasihan anakmu." Ibu Sumi mengusap air matanya yang tidak terasa udah menetes. "Tapi ibu ndak bisa apa-apa, kamu yang mau menjalani, kamu yang berhak mutusin."

Arya menghela napas untuk melegahkan hatinya, karena kata-kata ibu Sumi juga membuat dadanya terasa sesak. Setelah itu terlihat Arya menatap Dewi yang sedang merunduk. "Benar begitu Wi?" Tanya Arya meminta kejelasan Dewi.

"Maaf mas, bukannya aku mau ngrebut kamu dari Santi. Bukannya aku lancang. Tapi sudah bertahun-tahun mas. Apa iya kamu masih nunggu Santi yang nggak jelas. Aku kasihan sama Adnan. Aku sayang ama dia, aku mau jadi ibunya mas. Sekalipun nanti Santi pulang, aku mau jadi istri keduamu mas."

Ungkapan Dewi membuat Bagas menelan ludah. Ingin tubuhnya gemetaran, yang ia takutkan benar terjadi. Bagas merapatkan tubuhnya ke ibu Sumi, ia menaraik punggung ibu Sumi lalu memeluknya erat. Itu ia lakukan sebenarnya untuk melampiaskan kesedihannya, secara kebetulan ia melihat ibu Sumi juga sedang bersedih. Jadi Bagas bisa menenagkan hati bu Sumi, sekaligus juga menenangkan hati Bagas sendiri.

"Kamu tahu Wi? Nikah itu bukan perkara yang mudah, bukan cuma modal suka terus langsung jadi. Nikah juga bukan sekedar pelukan, tapi akan banyak ada perkelahian juga di sana. Kamu tahukan siapa aku, aku juga suka sudah punya Adnan. Kamu ndak cuma akan hidup denganku saja, tapi juga dengan Adnan. Aku nggak mau kamu akan kerepotan ngurusi Adnan. Aku cuma nggak pingin gagal Wi. Jadi ibunya Adnan, jadi istri kedua, itu cuma esmosi sesaatmu saja. Maaf aku ndak yakin itu. Lagi pula kamu berhak dapet yang lebih baik dari aku, yang masih lajang, tanpa kamu harus jadi ibu dari, anak yang bukan kandung anakmu. Nikah sama bujang kamu lebih leluasa, nggak harus merasa ada tekanan batin jadi istri kedua."

Arya berbicara dengan lembut, agar Dewi bisa memahami.

"Apa itu artinya mas Arya nggak mau nikah sama aku? Apa mas Arya enggak percaya kalau aku bisa ngurus Adnan? Apa mas nggak yakin aku ikhlas jadi istri kedua mu?" Bola mata Dewi sudah mulai berkaca.

"Aku nggak mau kasih harapan Wi? Bukannya aku ndak percaya. Sama kerudung yang nggak ngrepotin aja kamu ndak bisa konsisten, gimana dengan Adnan? Tapi sebenarnya bukan itu alasanku. Intinya Maaf Wi aku ndak bisa, nikah bukan buat main-main. Nanti biar aku ngomong sama pak lik Ratno."

Keputusan Arya rasanya seperti angin segar buat Bagas. Entahlah ia merasa sangat bahagia. Meski ia juga ada sedikit perasaan ibah pada Dewi.

Berbeda dengan Bagas, bagi Dewi keputusan Arya bagaikan petir yang menyambar jantungnya. Harapannya selama bertahun-tahun untuk hidup berdua dengan Arya, hancur seketika.

"Kamu keterlalun mas, kamu ndak tahu Santi kayak apa di sana? Kamu masih nungguin dia?" Dewi berdiri dari duduknya, punggungnya naik turun dan isak tangisnya memecah. "Kamu nggak punya perasaan mas!" Ucap Dewi dengan nada tinggi. Kemudian ia berlari ke arah luar sambil memgangi mulutnya. Hati dan perasaan Dewi hancur berkeping-keping.

Ibu Sumi yang terlihat panik, ia dan berdiri berusaha untuk mengejar Dewi. "Tunggu Wi..."

"Bu... ndak usah dikejar."

Ibu Sumi langsung menghentikan langkahnya saat mendengar perintah Arya.

"Biarin bu, nanti kalau di kejar palah tambah rame, ndak enak sama tetangga. Biar aku yang ngomong besok sama pak lik."

Dengan wajah yang masih terlihat ibu Sumi duduk kembali di kursinya. Wanita tua itu tidak mampu berkata apa-apa. Ia hanya ingin yang terbaik buat anaknya.

Beberapa saat keadaan di ruang tamu terasa sangat tenang. Semua sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Tv yang masih menyalah juga dibiarkan begitu saja.

Terlihat Arya sedang duduk menyandar sambil memijit keningnya. Ia masih terlihat sangat pusing dengan kajadian yang baru saja terjadi.

Sedangkan Bagas ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Bu... mas... aku pamit ya udah malam."

"Dek Bagas itu gimana? Malam-malam kok mau pulang. Mau bikin ibu khawatir opo? Minep sini saja." Biasa ibu-ibu suka cemas kalau orang yang sudah ia anggap sodara pulang malam sendirian. "Lagian besok hari minggu libur sekolah."

Bagas mengkerutkan kening, melirik Arya dengan perasaan tidak enak. "Minep sini? Ama siapa? Eh maksudnya tidur di mana?" Entahlah tiba-tiba saja Bagas merasa gugup.

Terlihat Arya beranjak dari kursi, kemudian ia berjalan ke arah kamar seraya berkata. "Pake nanya dek, biasanya tidur sama siapa?" Ucapnya Arya dengan nada kesal. Ia masih kepikiran kejadian tadi.

Meski Arya berbicara tanpa menoleh pada Bagas. Tapi tetap saja, Bagas merasa sangat senang, karena ia sadar jika Arya masih memikirkan masalah yang baru saja terjadi.

"Ya udah bu, Bagas tidur sini." Jawab Bagas setelah Arya masuk kemarnya.

"Nah gitu..." ibu Sumi merasa sangat legah.