Chereads / Oh Mas Arya / Chapter 19 - Cintaku tulus

Chapter 19 - Cintaku tulus

Usai menjalankan ibadah sholat isya berjama'ah, Bagas terlebih dahulu masuk ke dalam kamar Arya. Sedangkan Arya sendiri masih khusuk dengan do'a-do'a dan wiridnya di ruang sholat.

Mereka berdua melakukan sholat isya hampir tengah malam. Karena pada saat kembali dari rumah Bagas, mereka sudah disambut oleh kehadiran Dewi.

Setelah mengganti baju koko dan sarung dengan pakaian yang dipinjami Arya, Bagas merebahakan tubuhnya di atas dipan. Kemudian sambil menunggu Arya masuk ke dalam kamar, Bagas bermain-main dengan HPnya untuk menghilangkan rasa Bosan.

Beberapa saat kemudian, Bagas meletakan HPnya di Bawah bantal, karena melihat tubuh gagah Arya sudah masuk kedalam kamar.

Satu lagi hal dari Arya yang menarik perhatian Bagas. Meskipun berasal dari kampung, cuma Arya selalu rajin memakai parfum non alkhol tiap kali habis mandi, atau akan sholat. Selain itu parfum yang Arya pakai tidak pernah ganti, sehingga aromanya sangat khas, dan sudah melekat di indra penciuman Bagas. Aromanya sangat menentramkan hati dan perasaan Bagas.

Saat sedang berjalan Arya selalu membusungkan dadanya ke depan. Sehingga ia terlihat sangat begituh perkasa, di tambah dengan dada yang bidang dan bahu yang lebar.

Rasanya Bagas ingin sekali selalu tidur di atas dada bidang itu, sambil mendekap tubuh kokoh Arya yang begitu hangat.

Arya sekilas melirik ke arah Bagas saat ia sedang membuka satu demi satu kancing pada baju kokonya.

Merasa tertangkap basah karena mencuri pandang, Bagas memalingkan wajahnya, memiringkan badan memunggungi Arya sambil memeluk guling.

Melihat tingkah Bagas, Arya menarik ujung bibirnya dan tersenyum menceng. "Opo dek?" Arya bertanya dengan maksud menggoda.

"Enggak...!" Jawab Bagas tanpa menoleh Arya. Ia gugup dan tersipu.

Beberapa saat kemudian terlihat Arya terdiam, ia mengkerutkan kening seperti sedang mengingat-ingat sesutu. Kemudian terlihat senyum Arya mengembang saat ia berhasil mengingat, dan mengambil kesimpulan atas sikap Bagas yang baru saja ia liat.

Arya mengangguk-anggukan kepalanya seraya berkata. "Heem... wah... berarti kamu sering ngintip mas ya dek?" Arya kembali menggoda Bagas.

Pertanyaan sepontan Arya benar-benar membuat Bagas merasa terpojok. Ia mengkerucutkan wajahnya dan merekatkan kelopak matanya. "Enggak..." jawab Bagas tanpa melihat Arya. Ia terpaksa berbohong karena benar-benar merasa malu.

"Halah... ngapusi," sepertinya Arya tahu jika Bagas sedang berbohong. "Lha buktinya, tadi ketahuan..." ia semakin bersemangat menggoda Bagas.

Setelah selesai memakai kaos dan celana kolor, Arya naik ke atas dipan sambil melihat Bagas yang masih meringkuk memunggunginya. "Ndak usah ngintip, nanti bintitan, liat aja langsung, toh kamu juga udah pernah ngerasain. Hiya kan?" Ucap Arya yang sudah tidur terlentang sambil menoleh ke arah Bagas.

Deg...! Arya kembali membuat jantung Bagas rontok dan berceceran. Bagas semakin bingung dibuatnya. Kenapa Arya tidak marah lagi seperti waktu itu? Justru Arya seperti memberikan lampu hijau pada Bagas. Hanya sekedar menggodakah? Atau Arya sudah benar-benar ikhlas, bisa menerima dengan kejadian malam itu? Entahlah. Itu semua membuat Bagas binggung. Kemudian Bagas memutar tubuhnya, untuk menghadap ke arah Arya.

"Mas udah nggak mempermasalahkan lagi? Mas udah nggak marah lagi?" Tanya Bagas. Tatapannya teduh memandang Arya.

Arya menghela napas sambil melipat kedua tangannya untuk di taruh di bagian belakang kepalanya. "Kenapa harus marah dek? Awalnya emang mas kesel. Tapi bukan sama kamu, kesel sama diri mas sendiri. Mas khilaf, harusnya mas bisa nahan, tapi udah terjadi. Ndak ada yang perlu disesali lagi. Setelah mas pikir lagi, marah juga percuma. Ndak akan merubah keadaan yang udah terjadi." Arya menoleh pada Bagas, kemudian ia tersenyum simpul pada anak remaja itu.

Kedunya saling bersitatap, dan melemparkan senyum khasnya masing-masing.

"Maaf ya mas..." ucap Bagas dengan sangat lembut. "Makasih masih mau deket sama aku."

Arya mengulurkan telapak tangannya yang kasar, ia memegang puncak kepala Bagas dan mengucaknya.

Terlihat Bagas memejaman mata, meresapi dan menikmati.

"Ndak usah minta maaf, kamu anak baik, lucu, mas jadi sering ketawa sejak kenal kamu. Jadi bisa curhat, sama sering ngobrol."

Mendengar itu hati Bagas seperti di siram air dingin, adem. Rasnya juga seperti habis makan permen rasa mint. Plong semriwing. Bagas kembali jatuh cinta untuk kesekian kalinya, dan pada orang yang sama. Arya.

"Udah dek, tidur sudah malam," imbuh Arya. Kemudian ia memejamkan matanya.

"Mas..." panggil Bagas dengan tatapan yang masih teduh.

"Hem..." jawab Arya tanpa membuka matanya.

"Aku boleh nanya nggak sih?"

"Tanya opo?"

"Kok tadi mas ndak mau nerima mbak Dewi?"

"Kan mas udah bilang, nikah itu bukan untuk mainan. Lagian mas ndak respek sama Dewi dek. Aku cuma anggap dia temen. Ndak lebih. Lagian dia itu temen akrab Santi, istriku. Apa kata orang nanti." Jawab Arya dengan mata yang masih terpejam.

Mendengar itu Bagas tersenyum simpul, jawaban yang membuat hati Bagas terasa sangat Bahagia.

"Mas masih cinta nggak sih? sama mbak Santi? Mas kangen sama dia?"

"Kan kamu udah pernah tanya toh dek?"

"Belum, waktu itu aku nanyanya cinta apa enggak? Sekarang tanya masih cinta apa enggak? Kangen enggak?" Jelas Bagas.

"Beda toh?"

"Ya beda lah mas."

Arya membuka matanya, ia menghembusakan napas legah sebelum menjawab pertanyaan Bagas. Namun pandangan matanya masih menatap langit-langit. "Cinta..." Arya tertawa kecil sebelum melanjutkan kalimatnya. "Mas nggak tahu dek, dia yang udah ngajarin mas jadi terbiasa hidup tanpa dia. Tadinya mas berharap dia pulang terus jelasin kalau gosip itu nggak bener. Tapi sampe sekarang masih belum ada kabar apa-apa, lama-lama mas capek nunggu. Mas nggak tahu apa mas masih cinta atau enggak. Tapi gimanapun dia masih istriku, ibu dari anaku, kita pernah susah seneng bareng, rasa kangen pasti ada dek. Itu naluri." Arya  sudah lebih leluasa menceritakan semuanya pada Bagas. Entahlah.

Bagas menatap Arya dengan tatapan yang teduh. Ia tertegun dengan jawaban Arya, dan itu semua membuat rasa sayangnya semakin bertambah.

"Udah tidur... udah malem." Arya mengahiri kalimatnya sambil menutup kedua matanya.

Namun Bagas hanya tersenyum simpul, bola matanya tidak bosan memandang wajah gagah Arya.

"Mas..."

"Hem..."

"Nggak papa kan? Kalau aku sayang sama mas?"

Arya tersenyum simpul mendengar pertanyaan Bagas. Tapi matanya masih tetap terpejam. "Nggak papa, mas ya seneng ada yang sayang mas. Mas yo sayang sama dek Bagas." aku Arya

Bagas memanyunkan bibir bawahnya, ia tidak sepenuhnya senang mendengar kata 'sayang' dari mulut Arya. "Tapikan sayangnya mas beda."

"Udah dek ah, tidur."

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Bagas hembuskan secara perlahan. "Mas..." panggil Bagas kembali.

"Apa lagi toh dek...?" Tanya Arya dengan lembut, dengan mata yang masih terpejam.

"He.. he.." Bagas tersipu, ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi masih merasa ragu. "Boleh... em... boleh meluk nggak sih?" Jantungnya berdegup kencang setelah kalimat itu berhasil ia luncurkan dari mulutnya.

Terlihat Arya membuka sedikit bola matanya melirik Bagas. "Mau ngapain?"

Wajah Bagas berkerut, ia merasa sedikit gugup. "Meluk doang kok," ucapnya. "Ya udah kalau nggak boleh."

Menarik napas dalam-dalam sebelumnya Arya hembuskan dengan berat. Terlihat tangannya yang kekar mengulur, menggangkat tengkuk Bagas dan kemudian ia menidurkan kepala Bagas di dada bidangnya. "Tapi jangan aneh-aneh lho ya." Pesan Arya setelah kepala Bagas tidur nyaman di dadanya.

Entahlah Arya merasa tidak ada salahnya melakukan itu. Seperti apa yang sudah Arya akui, karena ia juga sayang pada remaja itu.

Sedangkan Bagas yang mendapat perlakuan seperti itu jantungnya semakin berdetak sangat kencang. Ia sedikit terkejut seakan tidak percaya. "Iya nggak aneh-aneh meluk aja." Ucap Bagas dengan napas yang tersengal-sengal.

Secara perlahan Bagas manaruh tangannya di dada bidang Arya. Ia mendekapnya penuh dengan perasaan sambil menikmati hangatnya tubuh kokoh Arya. Bau parfum dari tubuh Arya, membuat Bagas semakin nyaman. Ia memejamkan mata meresapi aroma khas tubuh Arya.

Kemudian alat vital Bagas yang sudah mengeras ia tekan kan di kasur. Sengaja tidak ia tempelkan di tubuh Arya. Karena Bagas tidak ingin Arya tahu jika libidonya naik.

"Aku sayang banget sama mas, maaf ya mas kalau aku cinta sama mas..." ucap Bagas dengan lembut, penuh dengan perasaan. Hatinya berdesir dan bola mata tiba-tiba berkaca.

Sedangkan Arya menatap teduh puncak kepala Bagas. Ia tertegun mendengar ungkapan hati, yang Bagas utarakan.

===

"Sepertinya kamu lagi seneng jeng?" Ucap ibu Erta dengan senyum simpul. "Ini mengejutkan, kondisi jantungmu akhir-kahir ini membaik, sangat stabil."

Ibu Ratna hanya tersenyum simpul mendengerkan ibu Erta, dokter pribadi sekalis sahabatnya sejak jaman SMA.

"Sebenarnya ini berpengaruh juga dengan hatimu yang kelihatannya sedang bahagia. Apa ada sesuatu yang bikin kamu seneng? Soalnya aku lihat kamu sering senyum-senyum nggak jelas?"

Setelah memeriksa Ibu Ratna, ibu Erta berjalan ke arah sofa yang ada di ruang kerjanya, lalu mendudukan bokongnya di sana. Kemudian di ikuti ibu Ratna setelah ia bangkit dari tempat tidur. Tempat di mana ia baru saja diperiksa.

"Tapi tetep ya jeng, kamu harus rutin dateng ke mari, tahu sendiri penyakit jantung itu suka dateng tiba-tiba. Kamu harus tetep rajin kontrol."

"Pasti jeng..." jawab ibu Ratna menanggapi anjuran dari sahabatnya. Bibirnya tidak berhenti tersenyum, pandangan matanya tidak jelas. Entah apa yang ia pikirkan.

Dokter Erta mengkerutkan kening, matanya menyipit, menatap penuh selidik pada sahabatnya itu.

"Jenk... sepertinya ada yang kamu sembunyikan dariku?"

"Ah.." ibu Ratna gugup dan tersentak. "Nggak ada jenk, kamu ada-ada saja." Jawab ibu Ratna berbohong.

"Kamu nggak bisa bohong sama aku, ayo cerita apa kamu lagi jatuh cinta?" Tebak ibu Erta.

"Ngomong apa kamu itu jeng? Usia setua ini apa iya masih bisa jatuh cinta?" Ibu Ratna mengelak.

Namun Dokter Erta paham betul dengan sahabatnya itu. "Aku marah sama kamu, kalau kamu enggak mau cerita sama aku ya." Ancamnya.

Ibu Ratna merundukan kepala, ia merasa tersipu dengan sahabatnya. "Sebenarnya_" ibu Ratna menggantungkan kalimatnya ia masih merasa belum siap dan malu untuk bercerita.

Terlihat Dokter Erta berdiri, kemudian berjalan mendekati ibu Ratna, dan duduk di sebelahnya. "Siapa sih orangnya? Aku jadi penasaran kaya apa bentuknya? Sampai bisa bikin temenku ini senyum-senyum nggak jelas." Dokter Erta menggunakan telapak tanganya untuk mengangkat wajah sahabtnya yang merunduk. "Tapi aku juga harus bilang makasih sama dia, berkat dia kamu semakin sehat."

"Dia itu sederhana jeng, baik, jujur, sopan, alim, tapi_" ibu Ratna menggantungkan kalimatnya ia merunduk dan kembali tersipu.

"Tapi apa?" Dokter Erta semakin penasaran.

"Dia lebih pantes jadi kakaknya Bagas, usianya jauh di bawahku." Jawab ibu Ratna.

Menghela napas lembut, Dokter Erta tersenyum simpul memandang sahabatnya. "Jangan ngomong gitu. Kamu masih kelihatan cantik kok jeng, laki-laki mana yang enggak ke goda liat kamu. Lagi pula cinta itu nggak lihat umur, cinta bisa dateng sama siapa saja."

Ibu Ratna terdiam nampak ia sedang berpikir. "Sebenarnya aku sering kasih sinyal sih jeng sama dia, tapi dia terlalu menghormatiku."

"Apa dia kelihatan suka sama kamu?"

Ibu Ratna menggelngkan kepalanya. "Nggak tahu."

"Jangan dipendem jeng, ungkapin, jangan gengsi karena dia lebih muda. Soalnya kalau liat dari karakter anaknya, kayaknya dia mikir sejuta kali buat bilang sama kamu. Nggak ada salahnya kamu yang membuka."

"Gitu ya?"

Dokter Erta tersenyum simpul sambil menganggukan kepalanya.

"Aku cuma takut, kalau Bagas nggak setuju, dia itu susah anaknya jeng. Sebenarnya aku juga lagi berusaha deketin mereka, dan aku lihat mereka udah akreb jeng." Ungkap bu Ratna.

"Apa perlu aku yang ngomong ke Bagas?" Saran Dokter Erta.

"Eh jangan jeng...!" Ibu Ratna tersentak, "biar aku aja. Aku cuma butuh waktu yang tepat saja."

"Ya sudah, aku percaya sama kamu. Kalau butuh ngomong saja."

"Iya pasti."

"Oia jeng... katamu Bagas dapet tawaran beasiswa kulia di luar negeri? Bagus itu jeng" Dekter Erta mengalihkan topik pembicaraan.

"Iya jeng, kalau kulia di luar, nggak pake jalur beasiwa juga aku mampu, tapi aku nggak setuju. Di negara kita juga banyak universitas yang bagus, ngapa jauh-jauh keluar negeri. Lagian aku nggak akan tega bayangin dia tinggal sendiri di sana. Dia itu manja jeng, padahal aku udah tegas didik dia."

"Ya udah gimana baiknya aja, toh dia bisa nerusin bisnis-bisnis Alm. Bapaknya," ucap Dokter Erta. "Oia si dia juga bisa bantu kamu lho... ajarin dia, biar kamu enggak capek." Dokter Erta mengedipkan sebelah matanya.

Ibu Ratna hanya tersenyum simpul mendengar saran, namun terkesan menggoda dari Dokter Erta.

"Kamu bisa aja jeng?" Ucapnya.