Chereads / I Choose Basketball / Chapter 30 - Minimarket

Chapter 30 - Minimarket

Seorang gadis berjalan ketika langit sudah tidak menampilkan kecerahannya. Angin dimalam hari memang tak menyehatkan untuk tubuh, tapi jika bukan perintah sang ibu, Zara juga tak akan keluar rumah dijam setengah tujuh ini. Menjelang Maghrib tadi, sang ibu memberikan selembaran kertas yang berisikan bahan-bahan kue dan beberapa keperluan rumah yang sudah habis. Jarak rumahnya dengan minimarket itu cukup jauh, mau tidak mau Zara juga harus memerlukan banyak waktu untuk sampai di minimarket depan gang. Huft, acara menonton drama jadi tertunda lagi.

Sesampainya di minimarket, Zara mengambil keranjang belanja, ia mengitari setiap rak agar tak ada rak yang terlewati. Bukan hanya makanan yang Zara cari, ia juga mencari perlengkapan kamar mandi rumahnya. Melihat satu persatu manfaat pasta gigi yang berbeda jenis dari kardusnya. Dia itu selalu bingung jika harus membeli pasta gigi, bertahun-tahun ia menggunakannya, dia belum pernah mendapat manfaat yang seperti diiklankan. Iya, sudah pasti ini karena gigi Zara yang salah, bukan cara pemasarannya mereka.

Tidak tahu berapa lama yang Zara butuhkan untuk memenuhi keranjangnya dengan barang-barang yang tertulis dikertas, yang jelas keranjang itu sudah tidak bisa Zara angkat. Saking beratnya, dia menggunakan kekuatan kaki kirinyanya untuk mendorong keranjang belanjanya sampai tepat didepan kasir. Satu persatu barang ia letakkan diatas meja kasir sampai pada barang terakhir, segera Zara mengembalikan keranjang itu pada tempatnya. Selagi dihitung, ia mengeluarkan dompetnya, menyiapkan uang yang ibunya berikan.

Dibelakang tubuhnya, terdengar suara beberapa gadis yang tertawa. Jika Zara boleh jujur, dia merasa terganggu dengan suara itu. Mereka seperti tidak memiliki urat malu, tertawa dengan suara lantang seperti itu. Karena rasa penasarannya juga, Zara sempat menoleh ke arah mereka. Disaat itulah jantung Zara mulai berdegup kencang, dia mulai panik ketika yang ia lihat adalah teman disekolah lamanya. Karena tolehan Zara, dua gadis yang berada dibelakang Zara pun juga terkejut melihat Zara, mereka memberikan senyuman yang tak bisa diartikan.

Bersamaan dengan seluruh barang belanjanya yang selesai dihitung, Zara dengan cepat memberikan uang pas agar dirinya tidak perlu menunggu lama menerima uang kembalian. Dengan langkah cepat dia keluar dari minimarket itu. Sayangnya, belum terlaksana, kakinya lebih dulu tersandung oleh salah satu kaki dari dua gadis dibelakangnya. Untung saja Zara bisa menyeimbangkan tubuhnya. Dirinya memilih abai, dan tetap keluar dari minimarket.

Memang bukan hari keberuntungannya, baru akan menuruni anak tangga, hujan deras turun. Zara sudah panik jika ia harus lebih lama lagi berada di minimarket ini, ditambah dua teman lamanya itu sudah keluar dari minimarket, dan sekarang mereka berdiri mengapit Zara. Dia hanya bisa tertunduk dengan menggenggam erat kantung plastik belanjaannya.

"Sudah lama kita tidak bertemu," ucap salah satu dari dua gadis.

Dua gadis yang merupakan teman Zara disekolah lamanya adalah siswi yang berasal dari keluarga yang terlampau kaya. Tak jarang status kekayaan mereka, digunakan untuk menindas orang yang lebih kecil dari mereka. Bisa dibilang, Zara adalah salah satu dari korban mereka yang paling banyak menderita.

"Aku mohon, aku sudah tidak ada urusan dengan kalian. Biarkan aku pergi," Zara memohon pada mereka.

"Kau jangan membuat kami seperti penindas. Kami tidak seburuk itu," ujar teman Zara sembari menyentuh rambut Zara.

Sedangkan satu gadis lainnya, mengangkat salah satu tangan Zara. Ia meraba tangan Zara dengan lembut. "Wah, kulitmu jauh lebih bersih dan cerah, ya," dia menjeda kalimatnya menatap lekat Zara yang terpejam. "Kau tidak sejelek dulu," lanjutnya yang disambung dengan tawa kedua teman lama Zara.

Masih pantaskah Zara memanggil mereka teman? Atau memang lebih pantas mereka disebut sebagai penindas? Zara tidak bisa memikirkan itu sekarang. Dia tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, keadaan minimarket juga tak ramai, para pegawai berada didalam minimarket. Tak ada satupun dari mereka yang memperhatikan Zara yang ketakutan. Hujan yang semakin deras, juga membuat hawa semakin dingin pun tangannya juga ikut membeku. Sudah putih pucat.

"Dimana rumahmu?" tanya teman Zara lagi.

Zara sengaja tidak ingin menjawab pertanyaan itu, karena ia tak ingin mereka mendatangi toko ibunya lagi seperti dulu, biarlah dia diam disini sampai dua teman lamanya itu pergi. Dan benar saja, usaha Zara tidak sia-sia, dua gadis itu memilih untuk pulang. Mereka juga sempat mengatakan sesuatu, "Baiklah, baiklah, kami akan pulang. Tapi, jika kita bertemu untuk yang kedua kalinya setelah malam ini, akan aku ajak kau bersenang-senang bersama kami," pungkasnya yang meninggalkan Zara sendirian.

Zara masih mematung, dia sama sekali tidak bergerak, bahkan sampai mobil temannya itu pergi meninggalkan minimarket. Walaupun dalam diam, dengan sekuat tenaga dia menahan air matanya turun. Sepuluh menit Zara masih berdiri ditempat, sampai salah satu pegawai menghampirinya menawarkan payung untuknya. Tapi, Zara menolaknya dan segera meninggalkan minimarket walaupun keadaan masih hujan deras.

Selama diperjalanan pulang, Zara sudah tidak bisa menahan tangisnya, ia menumpahkannya tepat dibawah guyuran air hujan. Untuk saat ini, hanya menangis yang bisa ia gunakan untuk melegakan hatinya. Zara bersyukur dia tidak menerima payung dari pegawai minimarket tadi, dia bisa bebas menangis tanpa terlihat menangis. Dia sudah tidak peduli bagaimana basahnya tubuhnya saat ini dan rambut yang berantakan. Zara pikir, setelah ia pindah sekolah, dia tak perlu kembali merasakan penindasan dari teman sekolahnya. Nyatanya, bayangan yang sudah ia usahakan untuk dihapus dari kehidupannya, datang kembali setelah kejadian malam ini.

"Apa menjadi miskin itu adalah sebuah dosa?" gumam Zara sendirian dengan tatapan yang sayu.

Beberapa meter rumahnya akan terlihat, hujan masih tak kunjung mereda. Kulit Zara sudah seperti mati rasa ketika merasakan dinginnya malam serta air hujan yang terus jatuh ke tubuhnya. Seharusnya disaat seperti ini, dia bisa meminta seseorang untuk menolongnya, tapi untuk mengucapkan satu huruf pun dia sudah tidak bisa.

Tibalah dirinya didepan pintu rumah, terlihat ibunya berlari setelah Zara membuka kenop pintu. Ibunya memutar arahnya untuk mengambilkan handuk kering untuk Zara. Ketika ibunya nampak khawatir, Zara masih bisa memasang senyumnya didepan sang ibu. Dia juga menunjukkan kantung belanjanya yang ia pastikan tidak ada barang pembeliannya yang akan basah, karena tadi dia meminta plastik tambahan pada pegawai minimarket.

"Kenapa tidak membawa payung, sih?" tanya sang ibu khawatir.

"Zara 'kan tidak tahu jika akan hujan," jawab Zara.

Ibunya menuntun Zara untuk segera masuk ke dalam rumah, ibunya menyuruh Zara untuk mengeringkan tubuhnya selagi akan merebus air hangat untuk Zara mandi. Sang ibu sengaja memaksa Zara untuk mandi malam ini untuk menghilangkan sisa air hujan ditubuhnya. Sedangkan Zara hanya bisa memperhatikan tubuh sang ibu yang dengan cekatan membuatkan minuman hangat untuknya.

"Ma, sampai kapanpun, Mama harus tetap menjadi Mamanya Zara, ya," pinta Zara saat ibunya memberikan teh hangat padanya.