Chereads / In The Heart Of The Rock / Chapter 12 - Emilia

Chapter 12 - Emilia

Flashback on…

Habis gelap terbitlah terang. Dunia ini memang penuh dengan keseimbangan, keadilan dan pasangan. Harapan akan selalu ada bagi mereka yang dilanda bahaya dan bencana. Tuhan tidak akan membiarkan hamba-Nya larut dalam cobaan dan menyerah. Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak bisa dilalui oleh hamba-Nya. Kesabaran untuk berprasangka baik adalah kunci. Cobaan memang datang dari tempat dan waktu yang tidak dapat diprediksi. Kapan pun dan di mana pun bisa terjadi. Seorang hamba sudah semestinya untuk terus berjuang. Terus berjuang untuk bertahan dan maju. Hadapi segala cobaan dan menang.

Emilia ... aku selalu mengangap dia sebagai pemenang. Sebanyak apa pun cemoohan dan hinaan yang dia terima, tidak pernah dia hiraukan. Sedikitpun tidak terlihat keinginan untuk membalas di wajah dan sikapnya. Bagiku seseorang yang selalu meluapkan emosi dengan kemarahan dan tidak bisa bersabar untuk menahan sikap buruk, mereka yang seperti itu adalah mereka yang telah kalah. Kemarahan adalah keburukan dan keburukan akan selalu meninggalkan keburukan. Selama aku melihatnya dan mengetahuinya, sekalipun aku tidak pernah melihat Emilia marah ataupun melihat dia melakukan sesuatu yang buruk. Namun dunia ini memang mempunyai cara sendiri untuk terus berjalan. Terkadang kebaikan pun bisa melahirkan keburukan.

Selama di kelas, pada awalnya Emilia memang mempunyai kesan yang baik di mata mahasiswa lain, bahkan mungkin terlihat sangat baik. Banyak mahasiswa yang menyukainya. Sikapnya yang tenang, baik, pintar, cuek dan pendiam, itulah yang mereka sukai dari kebanyakan pembicaraan di kelas yang selalu kudengar. Sikapnya yang tenang, baik dan pintar adalah sikap yang disukai para mahasiswi di kelas. Selain karena parasnya yang bisa dibilang manis, sikap yang cuek, pendiam dan selalu menyendiri itulah yang membuat para mahasiswa penasaran. Semua orang memang terlihat sangat tertarik untuk berteman dengannya. Banyak teman-teman di kelas yang berusaha untuk mengobrol dengannya, dengan usaha yang baik Emilia pun meresponnya dengan baik. Ya, walau dengan sedikit ekspresi cuek dan balasan pembicaraan yang sangat singkat. Terkadang sering juga terlihat Emilia dan beberapa orang yang kebetulan duduk berdekatan dengannya saling mengobrol dan berdiskusi sambil melihat catatan materi kuliah mereka. Namun kondisi itu tidak bertahan lama.

Berubahnya kesan Emilia di mata mahasiswa lain, diawali dari seorang mahasiswa yang menyatakan perasaanya kepada Emilia. Bisa dibilang dia adalah mahasiswa terbaik di kelas, emmm... mungkin juga se-fakultas, nilai kuis dan praktik yang hampir sempurna, paras yang menawan dan fans yang lumayan. Kejadian ini adalah titik awal kemalangan dan mimpi buruk Emilia.

Hari itu setelah kuliah selesai dan dosen pun sudah mulai berjalan ke arah pintu keluar kelas. Terlihat seorang pria yang berjalan mendekati Emilia yang tengah merapikan buku dan akan memasukan buku dan perlengkapan menulisnya ke dalam tas. Pada awalnya aku tidak tahu apa yang akan dilakukan mahasiswa itu. Setelah memasukkan semua peralatan tulis ke tas, aku langsung berjalan ke arah pintu keluar kelas. Sesampainya di luar kelas, tiba-tiba terdengar teriakan histeris dan suara sorak sorai dari dalam kelas. Aku terkejut dan kembali masuk ke dalam kelas. Kelas kami yang berbentuk seperti ruang bioskop dengan pintu keluar berada di bagian belakang yang tentu posisinya lebih tinggi daripada posisi area utama kelas yaitu area papan tulis. Memungkinkanku yang masih berdiri di dekat pintu masuk kelas, untuk bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi.

Aku melihat mahasiswa yang berjalan mendekati Emilia tadi dan Emilia yang masih berada di baris bangku kedua dari depan. Mereka berdua dikelilingi mahasiswa dan mahasiswi yang kebetulan tadi masih belum meninggalkan kelas. Terlihat cukup ramai. Mahasiswa tadi terlihat hendak memberikan seikat bunga kepada Emilia. Aku tidak tahu apa maksud dari pria itu, tapi dari teriakan-teriakan teman-teman sekelas aku bisa mengerti.

"Terima ... Terima ... Terima ..."

Tidak lama, aku melihat Emilia menggerakkan kedua tangan untuk mengambil seikat bunga yang mahasiswa itu berikan. Semua bersorak sorai dan mahasiswa itu pun terlihat sangat senang. Tapi tidak lama, aku melihat Emilia mengatakan sesuatu, sambil meraih kedua tangan mahasiswa itu dan mengembalikan bunga tersebut ke dalam genggaman tangannya. Mahasiswa itu terdiam, semua orang terdiam, aku pun hanya bisa terdiam. Setelah itu, Emilia mengambil tas yang dia letakan di atas meja, kemudian berjalan sendirian ke arah pintu keluar. Aku yang masih berdiri di dekat pintu keluar pun melihat secara langsung Emilia berjalan ke arahku, saat itu aku benar-benar bisa melihat matanya, bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas, ini adalah posisi terdekatku dengan Emilia saat itu. Anehnya entah kenapa aku merasa dia seakan-akan juga melihat ke arahku, melihat mataku dan melihat wajahku, tapi secara bersamaan seakan-akan dia tidak menganggapku ada, dia hanya terus berjalan menuju pintu keluar kelas dengan sedikit tergesa-gesa. Setelah Emilia berjalan melewati pintu keluar, mahasiswa tadi masih dalam posisi di dalam kelas, hanya bisa terduduk menerima keputusan yang Emilia berikan. Beberapa teman sekelas yang dekat dengan mahasiswa tadi itu pun terlihat berusaha menghiburnya.

Keesokan harinya di kelas, seperti biasa terdengar obrolan teman-temanku yang berada di belakang, samping dan depan tempat dudukku. Aku hanya bisa mendengarkan, aku tidak pernah bergabung dan sedikitpun tidak pernah berusaha untuk mengobrol dengan teman-teman sekelasku. Hal yang bisa aku simpulkan, kejadian kemarin sepertinya sudah diketahui banyak orang dan menurutku kesan baik yang teman sekelasku berikan kepada Emilia sepertinya sedikit banyak sudah berubah.

Dia adalah Zack, mahasiswa yang kemarin terlihat memberikan bunga kepada Emilia. Dari pembicaraan yang terdengar dari teman-teman di sebelah kananku, sepertinya hari ini dia tidak masuk kelas. Tidak lama aku melihat Emilia berjalan ke posisi tempat duduk kesukaannya, kursi di bagian tengah pada baris ke dua. Menyadari kedatangan Emilia di kelas, seketika itu juga keadaan kelas berubah menjadi hening. Tidak ada sedikitpun pembicaraan yang terdengar. Aku pun melihat beberapa mahasiswa melihat Emilia dengan pandangan yang dingin. Sepertinya pandangan mereka terhadap Emilia memang sudah berubah. Aku jadi penasaran, sebenarnya apa yang Emilia katakan kepada Zack.

"Hari ini, ayo kita permalukan dia."

Aku mendengar seseorang berbicara dari arah belakang, hanya suara bisikan tapi terdengar cukup jelas.

Pagi ini adalah jam kuliah kalkulus 2 untuk mahasiswa tahun pertama. Di tengah perkuliahan seperti biasanya dosen menuliskan satu persoalan di papan tulis dan meminta salah satu mahasiswa untuk menyelesaikannya. Dosen tersebut memberikan waktu setengah jam kepada mahasiswa untuk menyelesaikannya.

Waktu sudah hampir habis, dosen itu pun terlihat menutup laptop yang dari beberapa saat lalu dia pakai untuk mengetik sesuatu.

"Ada yang sudah selesai mengerjakan?" tanya dosen itu kepada mahasiswa di kelas.

Semua orang hanya terdiam, tak ada seorang pun yang menjawab dan memang selalu seperti ini. Hah, padalah semua orang juga tahu seseorang pasti sudah menyelesaikannya. Zack dan Emilia, hanya dua orang itu yang selama ini mampu menyelesaikan persoalan yang dosen berikan ketika kuliah.

"Emilia, Pak. Dia sudah selesai!" Seseorang di belakangku berteriak ... tidak tahu siapa.

"Maaf, Pak. Itu tidak benar. Aku belum meyelesaikannya," jawab Emilia pelan

"Tidak apa-apa. Kau bisa mencoba menyelesaikanya di papan tulis seperti kemarin-kemarin."

"Tapi, Pak ..." Belum sempat Emilia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seseorang berkata.

"Hari ini Zack tidak masuk, Pak. Hanya dia yang bisa menyelesaikannya."

"Ayo Emilia, maju saja ke depan dan selesaikan soalnya." Ajakan dosen itu kepada Emilia

"Baik, Pak."

Emilia pun berjalan ke depan, mengambil kapur tulis dan mulai menyelesaikan persoalan matematika yang dosen berikan. Awalnya Emilia terlihat sangat lancar dan cepat menulis jawaban di papan tulis. Namun, tiba-tiba dia berhenti menulis kemudian terlihat sedang berpikir, sepertinya jawaban yang ditulis belum selesai.

"Maaf, Pak. Hanya sampai di sini jawaban saya, saya belum bisa memecahkan sampai ke jawaban paling akhir, saya tidak tahu langkah apa lagi yang harus saya buat."

"OK, tidak apa-apa. Emilia, terima kasih. Kau bisa kembali ke tempat dudukmu," jawab sang dosen.

Ketika Emilia hendak menyimpan kapur tulis dan posisi badannya yang masih menghadap papan tulis, tiba-tiba beberapa orang di belakangku berbicara, walaupun tidak berteriak tapi suaranya masih terdengar nyaring, aku yakin semua orang di kelas bisa mendengarnya dengan jelas.

"Kalau tidak bisa, ya jangan maju ke depan."

"Iya. Sangat memalukan. Dasar bodoh"

"Zack tidak masuk, soalnya jadi tidak bisa diselesaikan."

"Jangan-jangan sebelumnya dia menyontek jawaban Zack."

"Tidak bisa selesaikan soal masih juga maju, berarti bodohlah."

"Dasar orang bodoh"

Semua orang hanya terdiam mendegar ocehan beberapa mahasiswi itu. Dari suara mereka, aku sangat yakin mereka semuanya adalah mahasiswi.

"Tidak apa-apa, Emilia. Kau bisa kembali ke tempat dudukmu, jawabanmu sudah benar dan menuju ke hasil akhir."

Tiba-tiba Emilia mengambil kembali kapur tulis yang telah dia simpan sesaat yang lalu, kemudian meneruskan jawabannya. Sangat cepat, dia menulis dengan sangat cepat. Tidak lama kemudian.

Trak!

Suara patahan kapur tulis pada 'titik' yang Emilia buat di papan tulis untuk mengakhiri jawabannya. Setelah meletakkan sisa patahan kapur tulis, Emilia langsung berjalan kembali ke tempat duduknya. Semua orang terdiam melihat kejadian itu. Dosen pun terlihat memeriksa jawaban Emilia dengan seksama.

"Well done, Emilia. Jawabanmu sangat tepat!"

"Terima kasih, Pak," jawab Emilia pelan kepada sang dosen.

Setelah itu, kondisi kelas menjadi sangat hening. Tak seorang pun yang berbicara, tidak seperti biasanya. Kalkulus adalah pelajaran yang sangat membosankan, sebagian besar mahasiswa di kelas memang terlihat tidak menyukainya karena biasanya ketika kuliah kalkulus suasana kelas tidak pernah sehening ini, selalu saja terdengar obrolan-obrolan mahasiswa di bagian tempat duduk belakang. Hari ini sepertinya Emilia berhasil menutup mulut mereka.

"Selesai kuliah ini saja bagaimana?"

"OK!!! Aku kesal sekali melihat sikap dia tadi."

"Iya, aku juga. Kita selesaikan saja dia hari ini."

"OK, setuju. Supaya semua orang di kampus ini tahu."

Sepertinya orang-orang di belakangku ini sedang merencanakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan dan siapa sasaran mereka. Mungkinlah Emilia? Jika pun itu Emilia, apa yang bisa aku lakukan? Hah, aku benci kondisi seperti ini.

Selesai kuliah kalkulus, aku hanya berusaha untuk memperhatikan orang-orang yang duduk di posisi belakang tempat dudukku. Memastikan jika mereka tidak akan melakukan sesuatu kepada Emilia. Aku tunggu sampai mereka dan Emilia keluar dari kelas, baru aku pun keluar kelas. Sampai di depan pintu keluar kelas, karena jadwal kuliah kedua adalah di kelas kecil yang bersifat responsi, mahasiswa di kelas besar dibagi menjadi dua kelas kecil. Aku berjalan menuju kelas yang berbeda dengan kelas yang Emilia tuju.

Jam kuliah responsi pun selesai, waktu sudah memasuki jam makan siang. Sebenarnya aku sangat malas di jam makan siang ini untuk masuk area cafetaria. Tapi entah kenapa aku sangat khawatir, aku masih khawatir dengan apa yang dikatakan beberapa mahasiswi di jam kuliah kalkulus tadi pagi. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.

Seperti biasa area cafetaria di jam makan siang sangatlah ramai, hampir semua mahasiswa dan staff kampus di fakultas datang untuk santap makan siang atau sekedar membeli makanan. Aku tahu Emilia selalu datang ke cafetaria untuk membeli makan siangnya. Sambil pura-pura mencari makanan dan mengantri, aku terus memperhatikan sekeliling berusaha mencari keberadaan Emilia.

"Hei, sudah tahu belum, ada gadis yang menolak Zack?"

"Wah, bodoh sekali gadis itu. Banyak gadis yang ditolak Zack, dia malah menolak Zack."

"Iya memang. Dia memang bodoh. Itu dia orangnya."

"Mana-mana?"

"Itu … di antrian toko roti, gadis yang di tasnya tertempel kertas."

"Hahaha ... iya, benar. Dia memang bodoh."

Tak sengaja aku mendengar obrolan mahasiswi di sebelah antrianku. Aku pun keluar dari antrian dan berusaha untuk melihat antrian toko roti. Terus berjalan ke arah antrian toko roti, aku pun terus mencari posisi Emilia di antrian. Akhirnya aku berhasil menemukannya, posisi dia sudah berada di depan sedang memesan roti ke pelayan toko.

Kertas tersebut bertuliskan:

BODOHNYA AKU,,, MENYESAL AKU,,, MENOLAK CINTA ZACK.

Jadi itu maksud perkataan 'ada kertas menempel' dari mahasiswi yang sedang mangantri tadi. Aku perhatikan keadaan sekeliling, ada mahasiswa-mahasiswa yang tersenyum melihat kertas yang tertempel di tas Emilia, ada juga yang merasa kasihan, tapi kebanyakan mahasiswi-mahasiswi yang melihat itu terlihat sangat kesal. Ingin rasanya aku berjalan ke sana dan melepaskan kertas itu. Tapi aku siapa? Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya teman sekelas. Bukan juga teman. Dia tidak kenal aku, aku tidak kenal dia. Hanya sebatas tahu nama. Tidak ada untungnya bagiku untuk membantunya. Aku melihat Emilia sudah selesai membeli roti, dia pun terus berjalan ke arah luar area cafetaria. Saat dia terus berjalan, semua mahasiswa yang melihatnya dari arah belakang langsung menertawakannya. Dan entah kenapa sepertinya aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Aku pun terus mengikutinya dari belakang, berusaha berjalan lebih cepat dan mengejarnya tapi jangan sampai dia menyadarinya. Aku ingin melepas kertas itu.

"Hahaha ... bodoh sekali gadis itu."

"Iya. Bodoh ya."

Banyak mahasiswa yang melihat kertas itu dan menertawakannya dari belakang. Aku pun semakin mempercepat langkah. Sebentar lagi aku bisa meraih kertas itu. Mendekati pintu keluar area cafetaria, aku dekati dia dari arah kiri, sambil menyusul dan melewati dia dari samping kiri, aku ambil kertas itu cepat dengan tangan kanan. Akhirnya aku berhasil melepas kertas itu diam-diam dan sepertinya Emilia tidak menyadarinya. Seketika setelah mengambil kertas itu dan melewati posisi Emilia, aku remas kertas itu dan lagsung membuangnya ke tong sampah dekat pintu keluar area. Hatiku cukup tenang sekarang, aku sudah lakukan apa yang ingin aku lakukan. Aku pun lanjut berjalan ke arah taman untuk makan siang dan beristirahat. Hari ini memang sedikit tidak biasa, aku harap semua akan baik-baik saja.

Jam istirahat sebentar lagi selesai, aku berjalan keluar dari taman menuju kelas kuliah ke-3. Sesampainya di kelas, aku duduk di lokasi kesukaanku, barisan tengah dan benar-benar di posisi tengah kelas.

"Hei, orang bodoh datang tuh."

"Hahaha ... siang tadi di cafetaria benar-benar memalukan ya dia."

"Iya, dasar orang bodoh."

"Aku tahu, panggil saja dia Ob"

"Apa tuh?"

"Orang bodoh ... hahaha."

Keempat mahasiswi tadi, ternyata memang mereka yang merencanakan sesuatu dan menempelkan kertas pada Emilia. Walapun aku belum tahu pasti yang menempelkan kertas siapa, tapi aku yakin itu pasti salah satu dari keempat mahasiswi ini. Aku tahu orang yang baru masuk kelas dan akan duduk di tempat duduk saat ini adalah Emilia, tidak ada orang lain lagi. Pastinya yang mereka maksud orang bodoh itu adalah Emilia. Mereka berempat adalah mahasiswa yang sejak awal perkuliahan selalu mendekati Zack dan mereka sangat menyukai Zack, karena kecocokan itulah mereka selalu terlihat besama dan sepertinya mereka berteman satu sama lain. Sepertinya mereka sangat kesal pada Emilia, karena kejadian kemarin tentunya. Aku tidak tahu alasan pastinya, apakah mereka kesal karena mereka pernah ditolak Zack dan ternyata Zack menyukai Emilia, ataukah karena Emilia sudah menyakiti Zack yang mereka sukai? Aku tidak tahu, yang pasti saat ini mereka sepertinya sangat membenci Emilia.

Sejak saat itu, sikap Emilia pun menjadi lebih dingin kepada teman-teman sekelasnya. Mungkin karena keempat mahasiswi yang terus menerus menjahili dan menghina Emilia dengan sebutan Ob. Emilia sama sekali tidak mau dekat dengan seorang pun di kelas dan terus menyendiri. Menolak semua orang yang ingin mendekatinya. Karena sikap dingin dan tertutup Emilia itu juga, teman-teman sekelas tidak mau dekat kemudian menjauhi Emilia. Kesan yang awalnya baik, suasana yang awalnya sangat normal, sekarang sudah berubah. Tak seorang pun yang mengakui keberadaan Emilia di kelas. Tak seorang pun mau bicara lagi dengan Emilia. Tak seorang pun tahu Emilia, tidak ada lagi Emilia, hanya ada seseorang yang dipanggil Ob. Ob yang semakin menyendiri dan tidak peduli pada sekitar.

Flashback off…