Chereads / I have to Love You / Chapter 25 - Kemarahan Dilan.

Chapter 25 - Kemarahan Dilan.

Sosok Riffat terlihat di dalam ruangan gelap. Dirinya membungkus ketakutan dalam gelap sambil memeluk lutut. Seseorang memperhatikan dirinya lalu memajukan langkah ke arah pemuda keterbelakangan mental itu. Pria itu berjongkok di hadapan Riffat lalu meraih dagu untuk mendongakkannya.

"Hahaha, andai saja aku tertipu dengan kakakmu itu, pasti aku akan tertangkap. Tapi, aku juga memiliki keuntungan setelah penangkapanku tanpa bukti sama sekali."

"Huft ... Akhirnya aku merasa terlahir kembali!" ujar Mehmed dengan senyuman tersinisnya.

"E, e hiks ...." Riffat mengeluarkan air mata ketakutan menyelimutinya. Bahkan, matanya tak berani menatap Mehmed dari dekat.

"Aaaa!" Tangisan Riffat tampak bergelut sendu di hadapan Mehmed. Lantas, ia sama sekali tidak merasa kasihan terhadap pemuda yang memiliki keterbelakangan mental ini. Sungguh pilu nasib Riffat!

"Orang macam kau ini tidak bisa gunakan, sama sekali membuatku repot!" gerutu Mehmed.

"Aku hanya ingin memancing Dilan untuk datang ke sini. Tapi, aku lupa bahwa dia juga pintar. Mau sampai kapan kakakmu menyembunyikan perbuatan buruknya itu?!"

"Untuk sementara waktu, kau tetap berada di sini untuk beberapa hari agar aku bisa menarik kembali putriku." Mehmed beranjak dari tempat itu, lalu menaiki sebuah tangga. Ruang bawah tanah yang tidak bisa ditemukan oleh siapapun. Bahkan, seseorang dari sana pun tidak akan mengetahuinya. Hanya Mehmed dan satu pria kepercayaannya.

Mehmed berjalan lalu menghilang dari ruang bawah tanah itu. Hanya secercah cahaya kecil yang bergelantungan di atas langit ruangan.

Riffat memperhatikan seisi ruangan yang sangat menyeramkan lagi sunyi. Matanya berkeliling gemetar apalagi dirinya terbekuk oleh ikatan tali yang sangat kuat. Meringis yang tak henti hanya seorang diri dengan remang-remang cahaya redup.

***

Blam!

Dilan memukul meja kerjanya setiba ia di kantor. Para temen menyimak dengan terpelangah kepada Dilan. Sosok ketua mendekatinya, "Lain kali, cari dan pastikan informasi yang benar. Jika tidak boleh melakukan tindakan gegabah."

"Yah," sahut Dilan mengangguk sekali.

"Bersabarlah! Kami akan membantu mencari adikmu," ucap salah satu rekannya menepuk bahunya.

Dilan hanya termangu diam, ia pun bergegas pergi meninggalkan ruangan kerja tanpa satu kata apapun. Dengan pandangan tertunduk, tangan mengepal keras menuruni anak tangga. Seluruh rautnya kini begitu membuncah dan tertanam rasa kecewa.

Di depan kantor, aku dan Jebran berjalan ke arah pintu. Tak sengaja kami pun berpapasan dengannya, Dilan.

"Dilan," panggilku.

Dilan berhenti tiba-tiba melihat kami menemuinya, "Kalian?"

"Apa yang sudah terjadi?" tanyaku.

"Tidak ada," sahutnya menghindar.

Aku meraih lengannya yang dilengkapi dengan seragamnya. Aku memandang sahabatku ini dengan mencoba meminta jawaban darinya, namun ia menolakku.

"Biarkan aku pergi," pamit Dilan.

"Dilan, kau bisa pergi sendiri. Tapi, kami datang untuk memperdulikan mu. Kita cari tempat agar lebih nyaman untuk berbicara," timpal Jebran.

Dilan menoleh ke arah Jebran dengan raut geramnya. Sesekali ia melirikku dan ke arah Jebran secara berulang-ulang. Aku melihat matanya yang terlihat bukan main-main.

"Apa itu dapat mengembalikan adikku?!" ketusnya.

"Yah, aku akan melakukannya untukmu. Tapi, kita bisa membicarakannya secara baik-baik. Paling tidak, hargailah temanmu ini!" tutur Jebran menunjuk kepadaku.

Dilan melirik diriku yang hanya terdiam sambil berharap agar ia dapat memberikan waktu untuk kami.

Kami membawanya, mendorongnya untuk mengatakan apa yang sudah ia lakukan? Mengajukan pertanyaan tentang adiknya. Mengkhawatirkan Riffat dengan segala kegundahan hati.

Di dalam sebuah rumah makan, kami duduk mengelilingi meja yang sudah berisi makanan basah, minuman kaleng dingin dan beberapa camilan.

Aku melihat wajah Dilan tertunduk lesu sembari meneguk minuman kaleng dengan perlahan. Jebran menengok ke kiri dan ke kanan seakan mengawasi keadaan yang mungkin agak mencurigakan. Sedangkan, aku memandangi keduanya.

"Aku akan menyiarkan berita ini untukmu!" putusku di atas meja.

"Untuk apa? Tidak usah!" kelit Dilan.

"Ku mohon!" pintaku.

"Untuk apa, Emira?! Kau menyiarkannya, tapi tidak sama sekali bisa menemukan adikku," gerutu Dilan.

"Aku dan rekan-rekanku sudah cukup mencarinya, tapi ...," ucap Dilan berhenti.

"Lalu, apa yang kalian dapatkan?" tanyaku mengarah pada Dilan.

"Tidak ada," sahut Dilan.

"Tidak ada yang kami temukan, dia membodohiku diriku untuk mengunjungi gedung kosong lalu aku tertipu. Awalnya dia menyuruhku untuk datang sendiri, namun aku tidak menuruti perkataan ayahmu."

"Ayahmu sudah menyembunyikan adikku."

Dilan menatapku dengan raut pilunya.

"Aku tahu kau tidak memiliki siapa-siapa lagi. Tapi, apa kau tidak mencoba mencari kakakmu juga?" kataku spontan.

Aku tiba-tiba saja mengatakan tentang kakak perempuannya. Aku tidak merencakan mengatakannya, sungguh! Aku sedang tidak bersungguh-sungguh. Akan tetapi, Dilan menyergah menatapku lalu mendorong wajahnya ke arahku.

"Apa kau tahu di mana kakakku itu?!" tanya Dilan.

"Eh, a—aku tidak bermaksud untuk melukai hatimu," ungkapku.

Jebran menatap diriku dan Dilan dengan sangat bingung, "Hei, memangnya ada apa?"

"Kau tahu? Ayahmu sudah membawanya pergi, tapi kau bahkan tidak mengetahuinya," geram Dilan.

Aku merundukkan rautku saat Dilan menaikkan nada bicaranya. Dilan terus memakiku dengan menyebutkan ayahku, ayahku, dan ayahku. Aku terpojok di dalam sudut ruangan sempit. Mataku mulai memerah padam saat Dilan mengatakannya dengan geram.

"Semua itu karna ayahmu! Semuanya karna ayahmu!! Ayahmu," berang Dilan sembari memukul meja.

Blam!

Jebran menarik tubuh Dilan agar menjauhi diriku yang sudah mengeluarkan air mata. "Sadarlah, Dilan! Dia itu tidak bersalah. Jangan buat dia malu!"

"Aku sungguh tidak bisa memaafkan ayahnya, Jebran!" bentak Dilan di hadapan Jebran.

Aku tak kuasa memandang wajah Dilan yang terus memakiku. Aku pun beranjak dan mengambil tas kecilku lalu pergi dari rumah makan itu.

"Emira," panggil Jebran.

Bersama air mataku ini, aku terus berjalan ke depan tanpa melihat. Aku tahu Jebran menyusul kepergianku. Aku tahu bahwa ayahku sangat jahat dan bejat. Dia pantas mati jika sudah diberikan hukuman. Tapi, aku hanyalah manusia biasa yang terlahir dari genetikanya. Tapi, perasaan maluku begitu besar ketika Dilan mengatakan itu di hadapan umum.

Harus aku bawa ke mana rasa maluku ini. Aku terus berlari di pinggiran jalan perkotaan. Aku berhenti di sudut jalanan lalu menepi di bawah pepohonan. Isak tangisku menyorakkan kesepian di kala malam itu. Tak banyak dari orang-orang yang berlalu. Aku bahkan tidak perduli dengan siapapun yang melewatiku.

"Emira," panggil Jebran sembari memegangi pundakku.

Dia berjongkok di sampingku, sedangkan aku menangis menjerit.

"Apa salahku? Hiks ...," rintihku.

"Aku bahkan tidak pernah menemui ayahku. Aku baru sadar kalau ayahku sejahat itu!"

"Kenapa dia harus mengatakan itu di depan semua orang."

Jebran seketika memelukku dengan erat. Kepalaku menyender di dadanya, yang berlapis kemeja halus. Air mataku membasahi bajunya, aku pun tak perduli lagi.

Tangannya tetap mengelus rambutku dengan lembut dan perlahan. Wajahnya mengikuti irama piluku yang mendalam.

"Katakan semua yang ingin kau katakan! Aku akan mendengarnya," resah Jebran masih memelukku.

"Hii ...."

Aku tetap menangis di dalam pelukannya. Sungguh aku tak tahu malu lagi!

Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya. Kira-kira seperti apa cerita selanjutnya?

Ikuti terus hingga akhir. Tambahkan ke raknya, review cerita dan undi hadiahnya.

Sekarang juga!

Follow juga ig : @rossy_stories.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk sepatah kata dari cerita ini.