Dilan berdiri sembari menatap kepergian mobil Endru yang semakin jauh. Dari kegelapan malam hanya terbias cahaya lampu jalanan di tiap-tiap tiang listrik. Dilan menghentikan jalannya mobil taksi yang terlihat mendekati dirinya. Tangannya melambai perlahan untuk memberikan kode kepada si supir.
Mobil taksi menepi di jalanan, ia pun segera memasuki taksi untuk kembali ke tempat asalnya bekerja. "Ke kantor Polisi yang ada di jalan berikutnya, Pak!" perintah Dilan.
"Yah, Tuan," sahut si supir.
Dari dalam mobil, Dilan mulai masuk ke dalam pemikiran malamnya yang terlintas seorang pria yang sempat membawa dirinya pergi.
Endru, pria masa lalu kakak perempuannya yang menghilang sejak sepuluh tahun yang lalu. Setelah kejadian buruk menimpa kakak perempuannya, Dilan tidak pernah bertemu dengannya. Apalagi dirinya masih berusia remaja.
Tepat sepuluh tahun yang lalu, Dilan mengingat kejadian tentang Endru.
Endru yang berusia dua puluhan tahun itu mendekatiku dan Dilan yang sedang bergegas pulang dari sekolah.
Sosok Endru mendorong diriku ke pepohonan besar.
"Katakan! Di mana ayahmu membawa pacarku?!" cecah Endru menekan tubuhku.
Kini, tangannya berpindah ke badan leher lalu mencekikku secara kuat.
"Eergh!" ringisku menahan sakit.
"Endru! Apa yang kau lakukan pada temanku?!" teriak Dilan memukul kepalanya dengan sebongkah kayu besar.
"Aw!!" jerit Endru melepaskan cekikan terhadapku. Dengan secepat kilat aku menghindar sosok Endru dan menarik tangan Dilan untuk menjauh. Endru tetap mengejar kami berdua, namun tiba-tiba saja aku melihat paman Jaki dan dua pria lainnya berjalan berbalik arah dari kami yang berlari. Aku melihat kejadian itu dari belakang. Sosok Endru telah dihentikan oleh ketiga pria dewasa itu.
Dilan menghamburkan lamunannya dalam sesaat, ketika si supir menyergah dirinya bahwa ia sudah tiba di depan kantor.
"Oh, terima kasih, Pak!" Dilan memberikan ongkos kepada si supir lalu keluar dari mobil. Pikirannya mungkin sedikit kacau, ketika dirinya mengenang kejadian sepuluh tahun yang lalu.
***
Dari balik layar kamera, diriku berdiri dengan tegak sempurna untuk bersiap menyuarakan berita terkini di balik kerumunan masyarakat.
"Berita terkini, di belakang saya ini terjadi ledakan yang cukup hebat! Diduga dari seorang saksi mata bahwa seseorang terekam kamera CCTV dari balik gedung membawa sebuah bom berukuran mini."
"Bersama dengan dirinya, bom tersebut diledakkan di depan sebuah gedung Perhotelan Gelora Lima. Diperkirakan bom itu meledak, sekitar pukul empat dini hari."
Aku berjalan sembari memperlihatkan sisa-sisa pecahan kaca yang masih berlimpah ruah di jalanan.
"Inilah sisa-sisa dari pecahan kaca yang dihantam oleh bom bunuh diri tersebut. Beberapa benda rusak, mobil dan motor ikut terbakar oleh percikan api. Kejadian ini menyebabkan empat orang terluka parah dan dua orang meninggal dunia. Menurut aparat yang mengidentifikasi bahwa direncanakan oleh teroris yang selalu hadir di bumi pertiwi kita."
"Kejadian ini akan terus dipantau dan diselidiki lebih dalam oleh aparat keamanan gabungan."
"Inilah kabar terkini dari kami. Saya Emira, dari TNC Jakarta melaporkan."
Arga menutup kamera besarnya untuk menutup bagian terakhir. Aku bernapas lega dan berbalik arah memandang kerusakan yang tampak di antara jalanan di dekat bangunan Perhotelan tersebut. Mataku memandang kejut menyaksikan seluruh kaca berhamburan.
"Mereka hadir kembali," sebutku menggeleng.
"Emira, ayo kita kembali!" Arga menarik tanganku dengan paksa.
Kali ini, aku benar-benar menyiarkan dengan sangat hati-hati! Siapa tahu mereka mengintai kami di sesuatu tempat?! Bahkan, diriku bergelut keberanian yang dapat menutup ketakutanku dalam sekejap.
Aku dan Arga memasuki kantor dengan perasaan lega dengan berembus napas panjang.
"Sudah kuduga! Mereka pasti akan kembali lagi. Kurasa negara kita tidak akan bisa menyelesaikan konflik Teroris," keluh Rendi.
"Bukan begitu! Teroris hidup dalam berkelompok, mereka bukan orang bodoh. Kita tidak pernah tahu kehidupan mereka seperti apa? Mungkin saja, di antara kita memiliki darah teroris?" sambung Arga.
"Eh, aku pikir juga begitu! Tapi, tidak semua orang hidup di bumi baik-baik saja, mungkin mereka diam-diam bergerak di belakang kita," lanjut Gilang.
"Hei, kalian ini berdebat masalah teroris. Tugas kita hanya membantu untuk menyiarkan bukan untuk mencari tahu," sosor Susi.
"Siapa bilang kita tidak mencari tahu. Kurasa tugas reporter akan lebih berbahaya dari seorang detektif. Bagaimana tidak? Di salah satu dari kita, bisa saja dikirim ke Gaza, Palestina. Itu bahkan bisa membunuh kita!" Kini, aku menambah dari debat mereka yang saling melempar kata dan pendapat.
"Maaf, aku masih baru. Jadi, aku baru saja memulainya," bela Susi.
"Susi, kau bisa memulainya dari sekarang! Kurasa, kau bisa mengetahuinya ketika suaramu bergema di antara kerumunan masyarakat," timpalku.
Susi menatapku dengan perasaan malu dengan merunduk lesu. Aku tak sempat menajamkan kata-kataku, dengan segaris senyuman mungkin dapat meredupkan suasana panas.
"Jadi Reporter itu sangat menantang. Jadilah generasi Bangsa yang kuat!" tuturku.
Susi akhirnya membalas senyum saat kata-kata semangatku muncul begitu saja.
Tiba-tiba suara memanggilku, "Emira."
Aku menoleh, pak Manajer memanggilku dengan raut serius.
"Yah, Pak!" sahutku berdiri.
"Kau boleh ikut denganku," pintanya.
Aku tanpa menoleh ke arah teman-temanku, dan kini akhirnya aku mengikuti langkah si Pemegang saham kedua perusahaan ini, pak David.
Ia berhenti di depan pintu ruang rapat. Aku sedikit canggung ketika tangannya sudah membuka pintu dengan lebar.
"Ayo!" ucapnya.
Aku pun melangkah maju dengan segala kewaspadaanku. Namun, kutepis rasa takut dan maluku di hadapan staf tertinggi di kantor.
Jebran duduk di kursi paling depan, paling ujung, tanpa menatapku. Aku duduk di samping pak David yang membawaku ke dalam.
Jebran mendongakkan dagunya seraya menatapku dari kejauhan.
"Selamat siang semua!"
"Selamat siang, Pak!" sahut kami serempak.
"Baiklah! Semua sudah hadir di sini. Hari ini saya akan menginformasikan bahwa ada kenaikan pangkat atau yang dinamakan karier setingkat. Setelah saya prediksi hasil usaha dan kerja keras kalian. Saya akan merekrut Reporter inti untuk khusus di dalam kantor."
"Saya apresiasikan kepada dua wanita yang berhasil menduduki peringkatnya. Beri tepuk tangan kepada Emira dan Heni Gustiani!" lontar Jebran bertepuk tangan.
Sontak diriku terpelangah dengan kenaikan pangkat setingkat yang tidak ada tempo waktu ini.
Semua bertepuk tangan menatap diriku dan salah satu rekanku yang duduk di hadapanku. Aku cukup terkesima dengan keputusan dirinya. Padahal aku bekerja belum lama, ini sebuah apresiasi atau hanya taktik jitunya?
Semua berjalan melewati diriku sembari mengucapkan ucapan.
"Selamat, Emira!"
"Selamat, Emira!"
"Yah, terima kasih," sahutku.
Beberapa dari mereka melewatiku, tidak pada Anindira yang terlihat sinis kepadaku.
"Selamat yah! Ternyata kau layaknya duta besar, yang begitu cepat dikenal banyak orang," ketusnya.
Aku menatap tajam pada wanita itu yang mengucap, tapi tidak begitu ikhlas.
"Biarkan dia!" sebut Jebran yang sudah di belakangku.
"Hah!" sergahku.
Aku berbalik dan tertegun saat tubuhnya hampir mendekati diriku.
"Apa kau sengaja?!" gerutuku.
"Hei, itu wajar! Aku berikan untukmu, karena kau sangat pekerja keras dan berani. Aku tidak ingin kau selalu di luar sana yang terkuras oleh keringat dan lelahmu," adu Jebran mengerutkan kening.
Entah aku harus berterima kasih atau tidak. Tapi, aku sedikit pesimis terhadap Jebran.
Bukan malah semangat, tapi aku sedikit curiga.
Follow ig aku : @rossy_stories
Fb : Rossy
Tinggalkan review dan simpan ke rak yah.