Awalnya aku sangat membenci pekerjaanku. Tapi, seseorang memaksaku untuk menyukai pekerjaan ini. Ini sama saja seperti pekerjaan detektif. Yah, kenapa tidak? Aku harus lebih berhati-hati, berani, dan siap untuk datang ke lokasi kejadian. Baik itu pembunuhan, kasus korupsi, tauran, perampokan, bahkan bisa saja aku akan ditugaskan yang lebih berbahaya, yakni mencari tahu kehidupan para teroris.
Wah! Kalau aku sampai tiba di tempat yang sangat berbahaya ini, nyaliku seakan terbuat dari beberapa logam tembaga dan baja yang siap melindungi tubuhku, jika ada yang melempariku dengan bom andalannya.
Grup TNC sekarang adalah andalanku, tempat tinggal keduaku. Aku sekarang lebih sekadar mencintai tempat ini. Apalagi sekarang, seseorang lebih perhatian padaku. Perasaan suka ini ternyata begitu nyata dan benar! Jebran—CEO muda dan tampan berhasil mendapatkan hatiku. Padahal diriku sangat pemilih.
Aku berjalan keluar dari gedung itu dengan mobilku, berhenti sejenak memperhatikan gedung yang ternyata tertanam impian untukku.
Aku tersenyum, tapi seseorang tiba-tiba datang menegurku lalu mengetuk kaca jendelaku.
Dur! Dur!
Aku tertoleh karena suara itu lalu membuka kaca jendela mobil. Jebran membungkukkan tubuhnya lalu melambai.
"Malam ini ikutlah bersamaku!"
"Aku akan menjemputmu," ajaknya.
"Yah, apa boleh buat?!" sahutku sembari menutup kaca jendela. Aku segera bergegas pergi dari sana, aku tak tahan melihat wajah Jebran yang sungguh membuatku gila!
Ah, perasaan apakah ini? Sungguh! Apa aku segila ini?
Jebran tersenyum sambil melambai mobilku yang sudah terlihat menjauh. Dari sisi belakang Jebran, berdiri seorang wanita yang tidak asing lagi, Anindira. Ialah sekretaris seksi dan bohai yang menatap sinis ke arah Jebran. Arga melewati dirinya sembari melirik wanita itu dengan menggoda.
"Apa kau cemburu?" ledek Arga.
"Apa maksudmu?!" gerutu Anindira.
"Itu, pak Jebran sedang gila-gilanya dengan Emira. Kurasa sebentar lagi, Emira akan dipanggil nyonya!" tutur Arga.
"Kau pikir Jebran lelaki sebodoh itu?!" kelit Anindira mendongakkan dagunya ke atas menghindari Arga. Persis dengan tatapan bersaing lagi cemburu buta. Matanya begitu menyipit saat meninggalkan Arga yang sedang meledeknya.
Apa aku termasuk wanita yang paling beruntung di dunia ini? Seorang CEO kaya dan muda jatuh hati padaku. Walau kecantikanku memang tak kalah menarik, hanya saja sifatku agak keras dan suka mendumal.
Aku menggeleng-geleng di sepanjang jalan, saat memandang tingkah Jebran yang tersenyum-senyum layaknya orang gila.
Sedangkan aku memang bukan reporter berbakat. Tapi, keberanianku membalikkan yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Semua yang kita lakukan pasti akan terjadi jika tekad itu benar-benar menyala bebas.
***
Dilan mendapat sebuah telepon dari bertuliskan Mehmed. Matanya begitu mencuat saat mendengar kata, "Temui aku di gedung kosong di dekat jalan. Pangandaran nomor 321. Kau akan mendapatkan jawaban untuk adikmu yang kuambil. Pergilah sendiri!"
Dilan tak menyahut apapun yang terdengar itu, ia pun segera meminta bantuan.
"Adikku! Tolong temukan adikku yang keterbelakangan mental, aku mohon Pak!" pinta Dilan.
"Tolong, Pak! Aku mohon, temukan adikku. Aku sudah menemukan tempatnya," ungkapnya.
Seorang ketua melirik pria ini dengan mengernyitkan dahi. Namun, melihat raut Dilan yang tidak main-main dan ia pun merasa iba. Akhirnya, ia pun berkata ,"Baiklah!"
Kini, pencarian pun dikerahkan oleh Dilan dan kawan-kawan. Kawasan yang mereka singgahi begitu sepi dan sunyi.
"Apa benar di sini?" tanya kawannya.
"Tunggu! Aku punya ide," usul Dilan.
Dilan terdiam dan berbisik pada salah satu rekannya. Mereka pun mengangguk dengan pelan.
Seseorang berdiri di depan ruang gelap. Ruangan itu diterobosi dengan secercah cahaya bohlam lampu yang berasal dari dalam. Hingga terlihat jelas bahwa Dilan berdiri dengan kesendiriannya.
"Hahaha," kekeh seseorang dari dalam ruangan.
Dilan masih berdiri dengan urat menegangnya, seluruh kepalan tangan ia genggam, urat-urat nadi berkerut di sisi kulit tangan.
Mehmed melangkah mendekati Dilan dengan tatapan sayu lagi mengejek. "Apa kau selugu itu? Sampai-sampai kau mau kuperintahkan untuk datang sendirian ke sini?!"
"Tampaknya kau sendirian, bukan?!"
Dilan merunduk, diam namun terangkat dengan lukisan senyuman sinisnya. Dilan akhirnya tertawa dengan lantang, "Hahaha."
Mehmed mengerutkan keningnya hendak bertanya-tanya, ada apa dengan anak muda ini? Pikirnya dalam hati. "Ada apa denganmu? Bukannya takut, tapi tertawa seperti orang gila!"
"Paman, apa paman tidak pernah tahu bahwa aku adalah seorang Polisi?!" ucap Dilan menyeringai.
"Aku akan menangkap paman sekarang juga!"
Mehmed mendengar perkataan si bocah ini yang mungkin hanya Candaan semata. Di balik Candaan itu ternyata bukanlah lelucon biasa yang dipakai oleh Dilan lagi. Akhirnya, Mehmed mulai merasa ketegangan yang membungkus dirinya pada ketakutan.
Akhirnya, Mehmed dan kawan-kawan terkepung di dalam gedung itu.
"Licik sekali kau!" gerutu Mehmed.
"Heh!" dengus Dilan.
Beberapa rekan Dilan menyergap dengan senjata api. Kini, posisi Mehmed dikepung oleh beberapa rekan Dilan.
"Di mana surat penangkapanmu? Apa alasan kalian untuk menangkapku?!" adu Mehmed.
"Cari di dalam!" pekik Dilan.
"Aku akan membuktikannya."
Dilan menyeringai lalu memasuki ruang gudang itu. Gedung kosong yang dikelilingi oleh pagar beton yang teramat tinggi. Menjuntai ke atas, seluas mata memandang. Sebuah gedung yang tidak terpakai. Kini, Mehmed terkepung akibat penculikan seorang pemuda, yakni adik laki-lakinya.
Namun, beberapa dari mereka tidak menemukan tanda-tanda kekerasan maupun penculikan. Dilan mencoba membuka segala ruangan yang ada di sana. Wajahnya mulai gusar saat dirinya tidak menemukan Riffat.
Perasaan mulai kacau, ketegangan semakin gusar, bahkan putus asa ini akan terlihat jelas di raut Dilan. Kedua tangannya menggusar kesal ke atas rambut. Dia pun merunduk dan hampir terjatuh.
"Aaahhh!!"
Teriakan itu semakin membekuk dirinya pada suatu kegagalan.
Langkahnya mendekati Mehmed yang sudah terikat dengan borgol. Lalu menatapnya dari belakang. Tanpa menunggu lagi, Dilan pun meraih kerah baju Mehmed dengan kuat dan kesal. Bibirnya begitu mencibir kasar seimbang dengan emosional membuncah.
"Di mana kau sembunyikan adikku?!!" geramnya.
Mehmed memandang wajah Dilan dengan kerutan di kening. Benar-benar mengherankan bahwa tidak ada jawaban yang ia berikan.
"Apa maksudmu?!" ucap Mehmed merendahkan nada suaranya.
"Katakan padaku! Di mana kau menyembunyikannya?!" bentak Dilan.
Seorang rekan menarik lengan Dilan, "Dilan, hentikan! Mungkin, kita sudah salah sangka. Ayo kita kembali saja."
"Tidak akan pernah! Aku harus menghajar orang ini," berang Dilan dengan emosinya. Akhirnya satu pukulan keras melayang ke pipi Mehmed.
Pow!!!
Tubuh Mehmed terdorong olehnya sambil menggerutu, "Wah! Dia kurang ajar sekali. Dia tidak pantas menjadi menantuku."
"Anakmu saja tidak mau denganmu, bagaimana bisa kau mengatakan itu?!"
"Kau bukan ayah yang baik!" lanjut Dilan dengan segala emosinya.
"Sudah, cukup Dilan!" cecah beberapa rekan mencoba menahan tubuh Dilan agar tak lagi menyerang.
Dilan akhirnya kewalahan akibat perasaan menyerah itu. Para rekan membawa pergi Dilan untuk meninggalkan lokasi. Dan akhirnya, Mehmed selamat dari ancaman Polisi. Entah taktik apa yang ia gunakan? Sehingga ia tidak ketahuan bahwa Riffat telah diculiknya.
Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya. Kira-kira seperti apa cerita selanjutnya?
Ikuti terus hingga akhir. Tambahkan ke raknya, review cerita dan undi hadiahnya.
Sekarang juga!
Follow juga ig : @rossy_stories.
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk sepatah kata dari cerita ini.