"Semuanya, mundur. Biar aku yang mengurus bajingan tengik itu." Perintah pria berbadan besar yang ikut bergabung dalam medan pertempuran.
"Ketua!"
Para kawanan bandit itu mundur dan memberikan ruang untuk ketua mereka masuk. Dariel menatap pria berbadan besar itu dengan santainya.
"Apa ini? Apa aku akan melawan bos terakhirnya sekarang?" Tanya Dariel sambil mencemooh pria berbadan besar itu.
Pria besar itu membalas Dariel dengan menyeringai percaya diri, "Kenapa? Apa kau takut?"
"Takut? Hahaha!" Dariel tertawa sambil meremehkan, "Sebenarnya yang takut itu kau, bukan?" Balas Dariel dengan santai.
Pria besar itu menggertakkan gigi sambil meremas pedangnya dengan erat, emosi.
"Kita lihat, apakah kepercayaan dirimu akan bertahan lama atau tidak."
Pria besar itu segera menerjang Dariel hingga pedang mereka beradu dan menimbulkan bunyi berdesing.
Dariel mengernyit setelah menerima serangan dari pria besar tersebut.
"Bagaimana? Setelah melihat reaksi wajahmu, sepertinya kau menyesal sudah memancingku." Ujar pria bertubuh besar itu sambil memberikan tekanan pada pedang yang di tahan oleh Dariel.
Dariel mengatupkan giginya sambil menyeringai lebar, "Menyesal? Asal kau tahu, tidak ada kata menyesal di dalam kamusku."
Dariel mendorong pedang milik pria besar itu dan segera melompat ke belakang. Ia mengakui bahwa bos dari para bandit itu benar-benar kuat dan jika dia tidak menghalau pedang itu sedetik saja, mungkin kepalanya akan terbelah menjadi dua.
'Sepertinya aku harus serius sekarang.' Batin Dariel dalam hati.
Tiba-tiba, aura di sekeliling Dariel berubah menjadi sangat dingin. Tekanan besar mulai menguar dari tubuh Dariel hingga membuat para kawanan bandit itu jatuh berlutut dan tak dapat bergerak, kecuali pemimpin mereka, si pria besar. Pria besar itu menahan tekanan yang menimpa tubuhnya dengan mana yang ia miliki.
'Apa-apaan ini? Bagaimana bisa bajingan tengik itu memiliki kekuatan sebesar ini?' Batin si pria besar sambil menancapkan pedang besar miliknya ke tanah untuk menahan tubuhnya.
Reinhardt yang berlari untuk membantu Dariel pun berhenti dan merasakan tekanan dahsyat menyerang tubuhnya. Walaupun begitu, tekanan itu mampu ia tahan dan ia pun beralih menatap kedua pria yang bertarung tadi. Ia merasa pernah merasakan seperti ini sebelumnya, dan tekanan itu ia rasakan dari Kaisar Abraham Crescentia, ayah dari Cornelia Harvey.
"Bagaimana bisa..."
Reinhardt termangu ditempat dan memandang punggung Dariel dari jauh. Aura yang dikeluarkan Dariel saat ini sangat berbahaya, sepertinya laki-laki itu akan memulai pembunuhan massal jika tidak ada yang menghentikannya.
'Tidak, aku tidak peduli dengan bandit-bandit lainnya, tapi dia tidak boleh membunuh pria besar itu, dia harus kubawa kehadapan kaisar dalam keadaan hidup.' Pikir Reinhardt kemudian mencoba untuk melangkahkan kakinya ke arah Dariel.
Dariel menatap pria besar itu dengan dingin dan angkuh, "Jadi, apa kau sekarang menyesal sudah memprovokasiku?"
"Keugh. Kau bajingan gila..."
Dariel mulai mengayunkan pedangnya. Namun beberapa detik sebelum mata pedang miliknya mengenai leher pria besar itu, seseorang membawa pria besar itu menjauh dari hadapan Dariel dengan secepat kilat.
Suara hantaman pedang berkekuatan besar dengan tanah pun terdengar memekakkan telinga. Debu-debu berterbangan diiringi dengan tanah yang hancur. Reinhardt yang hampir dekat dengan Dariel mengangkat lengannya untuk mencegah hidungnya menghirup debu-debu tersebut. Dengan mata yang setengah terpejam, ia mencaritahu apa yang terjadi setelah Dariel mengayunkan pedangnya.
"Colubra?" Tanya pria bertubuh besar pada seseorang yang sudah menyelamatkannya dari pedang kematian itu.
Wanita dengan nama panggilan Colubra itu menatap dingin pada pria bertubuh besar itu, "Berterimakasihlah padaku, nyawamu selamat karena aku datang tepat waktu, Canis."
Pria bertubuh besar dengan nama panggilan Canis itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Colubra memang menyelamatkannya saat ini, namun ia tahu tujuan asli dari kedatangan Colubra saat ini. Sesuatu yang lebih mengerikan dari bajingan tengik itu akan menjemputnya setelah ini.
"Siapa pria muda itu? Kenapa aura yang dia miliki sangat mirip dengan Abraham Crescentia?" Tanya Colubra pada Canis.
Canis menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu."
Colubra menatap sosok di dalam kabut debu itu. Sinar mata yang sangat tajam terpantul dari dalam kabut itu dan sedang menatapnya. Colubra yang tadinya tidak ada kepentingan dengan situasi yang terjadi di tempat itu, mulai tertarik pada Dariel.
"Hei kau," Panggilnya pada Dariel dari atas pohon yang tak jauh dari Dariel, "Kau kuat. Maukah kau bergabung dengan kami?" Tanyanya pada Dariel.
Reinhardt yang menyadari identitas Colubra pun segera berteriak pada Dariel, "Tidak! Jangan Dariel!"
Colubra segera mengalihkan perhatiannya pada Reinhardt, "Aku tidak butuh jawaban darimu." Ucapnya sambil mengayunkan kipas yang di pegangnya ke arah Reinhardt. Dengan cepat Reinhardt menangkis angin yang ditimbulkan dari kipas tersebut menggunakan pedang andalannya. Jika saja ia lambat menangkis serangan itu, mungkin dirinya akan tercabik-cabik oleh angin tersebut.
"Pedang itu...!"
Colubra menggertakkan giginya. Ia tidak menyangka master pedang dari keluarga Ulbretch ada di tempat itu. Dengan kekuatannya saat ini, tidak akan mungkin untuknya untuk memenangkan pertarungan antara dirinya dan dua pria itu. Itupun jika pria kuat yang melawan Canis tadi menolak tawarannya untuk bergabung.
Dariel yang sedari tadi diam tak menjawab pertanyaan Colubra, menarik pedangnya dan memasukkannya ke dalam sarung pedang yang tersampir di pinggangnya.
"Kau dengar kan, kalau tuanku melarangku untuk bergabung dengan kalian." Jawab Dariel pada Colubra.
"Hahaha!"
Colubra sudah menduga kalau tawaran yang ia berikan pada pria itu akan di tolak olehnya, "Jadi itu jawabanmu. Baiklah, kalau begitu sebagai gantinya aku akan membawa pergi pria besar ini. Dah~"
Sebuah lingkaran sihir besar muncul di bawah kaki Colubra dan Canis, kemudian kedua orang itu menghilang.
Dariel dan Reinhardt berdiri diatas tanah yang hancur dengan mayat-mayat berserakan. Mayat-mayat itu merupakan para bandit yang tewas akibat tidak bisa menahan tekanan yang dikeluarkan oleh Dariel. Reinhardt menatap ke arah pohon yang sebelumnya digunakan untuk berlindung oleh kedua penjahat yang baru saja menghilang.
'Tch, seharusnya aku segera menangkap mereka.' Sesal Reinhardt lalu matanya beralih pada Dariel. Pria itu tampak diam dengan pedang yang terkepal di tangannya.
"Tuan! Dariel! Apa kalian baik-baik saja?" Panggil Tom yang berlari kearah mereka berdua.
Reinhardt mengangguk sekali menanggapi pertanyaan Tom, sedangkan Dariel tidak menanggapi sama sekali. Ia hanya terlihat fokus menatap kosong ke arah pohon dengan wajah yang sulit dilukiskan.
"Dariel?" Panggil Tom lagi, membuat Dariel tersadar dari lamunannya.
"Iya?" Tanya Dariel pada Tom.
"Bajingan ini, apa kau baik-baik saja?" Tanya Tom sambil merangkul leher Dariel dengan kasar.
"Ugh. Ya, aku baik-baik saja."
"Tak kusangka kau mampu menghabisi kumpulan bandit sendirian! Kau benar-benar hebat, Dariel!" Pungkas Tom sambil menepuk punggung Dariel dengan keras.
"Aduh! Hei Tom, apa kau ada dendam padaku?!" Tanya Dariel tak terima diperlakukan kasar oleh Tom sedaritadi.
"Huh? Kau menyadarinya ternyata." Balas Tom dengan wajah tanpa dosa.
"Brengsek." Maki Dariel menatap Tom dengan kesal.
Reinhardt segera menengahi mereka berdua, "Kalian berdua, hentikan. Kita harus mengurus mayat-mayat ini sebelum fajar tiba."
Tom dan Dariel pun menatap sekeliling mereka. Mayat-mayat bandit banyak yang tergeletak tanpa nyawa dimana-mana. Reinhardt pun menginstruksikan pada semua sukarelawan dan bawahan tetapnya untuk mengubur mayat-mayat tersebut secepatnya karena bau darah yang tersisa dari tubuh mayat-mayat itu akan memancing binatang buas datang ke perkemahan mereka dan bau bangkai bandit-bandit itu akan menyebar dengan keras jika tidak segera dikuburkan.
Reinhardt menatap Dariel yang mulai sibuk mengurusi mayat-mayat yang berserakan disekitar mereka.
'Dariel, sebenarnya siapa dirimu?'