Hidup bersama orang-orang yang baru dan kaya raya membuat Fania sedikit tidak nyaman. Sepanjang perjalanan, Alfito menggenggam erat tangannya. Sebisa mungkin Fania menghindar entah itu garuk-garuk atau melakukan aktivitas tidak berguna
Rumah megah bak istana, sudah terlihat di depan mata. "Kita akan sama-sama menempati rumah itu hingga kulit keriput dan rambut memutih. Hingga di antara kita, meninggalkan dunia. Semoga kita bisa sama-sama melanjutkan cinta kita di surga."
Fania tetap membungkam bibirnya.
'Lebay ... jangan terlalu menunjukkan kebencian kepadanya Fania. Jika kamu terlalu menunjukkan dan menghindarinya, dia pasti curiga,' batin Fania menegur dirinya sendiri.
Mobil berhenti, Alfito segera turun dan membukakan pintu untuk istrinya. Kecantikan dan pesonanya, membuat mata para tamu fokus memandangnya. Ketika Fania berjalan, dia terlihat sangat gugup bahkan keluar keringat dingin. Akhirnya dia memutuskan untuk menggandeng Alfito agar tidak jatuh karena sepatunya.
Alfito adalah pengusaha muda dengan investasi emas dan berlian. Alfito merasa senang ketika istrinya menggandeng tangannya.
"Senyum saja mereka semua teman-teman kerja sekantor." Mendengar ucapan itu Alfito. Fania hendak terjatuh. Alfito segera menahan tubuh istrinya.
"Maaf ya ... keadaan kakak ipar memang kurang baik. Mungkin memang kelelahan mempersiapkan acara pernikahan. Maaf ya ... maaf ya ... silahkan dinikmati lebih dahulu." Dayan berusaha menjelaskan kepada para tamu.
Alfito membopong istrinya, tubuh Fania benar-benar lemas. Alfito membawa istrinya, ke kamar pengantin mereka. "Kamu harus istirahat. Aku tidak ingin kamu sakit."
"Terima kasih Mas." Dengan perasaan ragu akhirnya Fania berpegangan erat kepada bahu suaminya.
"Kamu sangat cantik."
'Dia ganteng, tapi kenapa aku lebih tertarik kepada adiknya. Huft ... Bagaimana aku bisa menumbuhkan perasaan ku untuknya. Entahlah ... jalani saja,' ujar Fania dalam hati lalu menyandarkan kepada di dada Alfito.
***
Pria itu menurunkan istrinya di atas ranjang. "Aku yakin kamu pasti gerah memakai baju seperti ini. Tapi sayangnya hanya ada lingerie. Maaf, Diana yang menyiapkan," ujar Alfito.
"Aku tidak terbiasa dengan pakaian terbuka. Maksudnya aku sangat gugup. Maafkan aku belum siap. Jadi boleh aku minta tolong ambilkan pakaianku?" pinta Fania. Alfito mencium keningnya, jantung Fania semakin berdegup kencang, dia merasa lega ketika suaminya pergi dari kamar.
Fania berbaring dan memejamkan mata. 'Bagaimana mungkin aku memakai pakaian tipis dan kontras dengan kulitku. Untuk membuka hijab ku saja aku merasa tidak nyaman. Sampai kapan aku bisa menghindarinya.' Fania memeluk erat bantal guling.
Ceklek.
Tahu Alfito masuk lagi ke dalam kamar. Fania semakin memejamkan matanya.
"Terima kasih. Sayang ... kalau masih kuat setelah istirahat, temui beberapa klien ku ya," pinta Alfito dengan suara lembut.
***
Setelah tiga puluh menit berlalu Fania turun, dia mengenakan kebaya putih. Kebaya muslim yang satu ini memiliki bentuk tangan lonceng yang menciptakan aksen trendi. Salah satu baju kebaya muslim ini bisa membuat tampilan lebih elegan dengan sentuhan bebatuan atau embellish pada bagian dada. Jika ingin terlihat fresh, padankan saja kain bawahan kebaya dengan warna cerah.
Walaupun sangat sederhana dan elegan. Semua mata tertuju kepadanya terlebih lagi sang suami yang tidak berkedip ketika melihat Fania menuruni anak tangga. Fania mengembangkan senyumnya dengan sempurna. Dia melihat kan keramahannya kepada para tamu undangan.
'Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta kepadanya. Pesonanya selalu menarik hatiku. Hehehe. Alfito ... konyolnya kamu,' batin Alfito lalu berjalan menghampiri istrinya dan menyiapkan lengannya untuk bergandengan.
Banyak sekali yang memuji pasangan ini. Banyak sekali yang mengatakan bahwa keduanya sangat cocok. Dengan perasaan panas dingin, Fania memutuskan bergandengan dengan suaminya, berjalan menuju tamu satu persatu.
Senyum hangat yang melibatkan keramahannya membuat para tamu sangat nyaman. "Terima kasih," bisik Alfito. Fania tersenyum.
"Aku tidak nyaman pakai sepatu hak tinggi. Pegang terus ya," pintar Fania berbisik.
"Pengantin sudah bisik-bisik, sudah tidak sabar ini," ledek teman Alfito. Fania merasa tidak suka. Namun, dia menyembunyikan ketidak sukaannya dengan tersenyum.
Fania terus mengembangkan senyumnya. Menyapa para tamu yang hadir di dalam pernikahannya. Bagaimana pun suaminya adalah seorang CEO ternama.
Sementara Diana berada di dalam kamar. Tiba-tiba dia bangun, dan berlari sekuat tenaga. Dia mengambil ponselnya dan segera menghubungi Dayan.
"Halo Kak. Halo kak, halo kak."
"Halo ... Terlalu berisik aku tidak dengar suaramu. Sebentar aku keluar. Kamu aneh-aneh di dalam rumah pakai telepon. Sabar ini aku sambil berjalan keluar. Ya bagaimana sekarang sudah mendengarmu dengan jelas."
"Ada orang yang memakai baju pelayan. Dia akan menusuk Mbak Anaya, eh ... maksudnya Mbak Fania. Postur wajahnya besar, kumis tebal, mempunyai dua tahi lalat di pipi kanan. Mas cepat cari, nanti terlambat," jelas Diana tergesa-gesa.
Dia menutup telepon, matanya sangat awas memandangi setiap gerak-gerik dari pelayan. Fokus menatap kakak dan kakak iparnya.
Melihat Dayyan, Diana lega. 'Siapa yang menyuruh orang itu menjadi pelayan. Dan kenapa dia membunuh kakak ipar. Apa jangan-jangan dia, suruhan sekretarisnya Mas Alfito? Jelaslah ....' Diana menuruni anak tangga dengan langkah cepat.
Dayan berdiri di belakang pelayan yang tadi digambarkan oleh Diana. Diana memejamkan mata. "Tidak mungkin secepat itu gerak tangannya," gumamnya menjadi tegang.
"Awas Kak Fania ...!" teriakan Diana membuat Alfito tahu kalau ada orang yang akan menusuk istrinya.
Jleb!
Benar saja pisau itu tertancap di perut Alfito. Dayyan menendang namun terlambat. Fania masih terkejut. Dan segera memangku kepala Alfito. Pria itu tersungkur. Dan, beberapa Bodyguard itu segera bertindak.
"Telat. Kalian ini bagaimana sih?!"
Alfito segera dilarikan ke rumah sakit, Fania terlihat bingung. Alfito tersenyum melihat kebingungan istrinya.
"Aku ti_dak ... heh ... papa."
"Tidak papa bagaimananya? Ini darahnya sangat banyak. Jangan berkata apa pun tetaplah diam." Fania menegur suaminya. Alfito meraih tangan istrinya, menggenggamnya dengan sangat erat.
'Kenapa tiba-tiba aku ingin menangis, apa aku juga merasakan sakitnya. Aku harus bagaimana ... rasanya canggung dan terpaksa,' ujar Fania dalam hati. Alfito menggenggam erat sambil mendesis kesakitan.
"Aku mencintaimu Anaya."
Mendengar itu, genggaman tangan Fania mengendur. Namun, Alfito semakin mengeratkan genggaman tangannya. Dengan memejamkan mata dan meringis.
'Bagaimanapun hatiku tetap tidak terima ketika aku dipanggil Anaya.' Fania menitihkan air mata. Semua kejadian yang menyakitkan, hadir menjelma sebagai bayangan. Ingatan kematian Ibu dan Adiknya membuat Fania menelan ludah pahit.
"Jangan menangis ... eh ... rasanya, lebih sakit ketika melihatmu menangis." Sangat lirih ucapan Alfito.
"Aku minta kamu diam," ujar Fania. Tangan kiri Alfito menyentuh pipi istrinya, sambil mengusap air mata yang membasahi wajah Fania. Alfito kemudian memejamkan mata ketika mereka sampai di rumah sakit.
Fania melepaskan genggaman suaminya. Alfito masuk ke ruang UGD.
'Aku pembawa sial? Ibu dan Anaya meninggal di depan mataku. Keduanya berniat menyelamatkanku namun nyawa mereka yang melayang. Dan sekarang Alfito, ya Allah ... ampuni hamba. Hamba sangat merasa bersalah, semoga tidak ada hal buruk menimpa Alfito. Aku akan sangat menyesal jika dia kenapa-napa,' batin Fania resah.
Dia mondar-mandir kesana kemari, dengan tidak tenang sambil menggigit kuku ibu jari kanannya. Sesekali dia menghadap keringatnya sambil memijat keningnya.
"Bagaimana keadaan Mas Alfito, Mbak?" tanya Diana.
"Belum tahu Diana." Fania terlihat sangat sedih dan murung. Diana menepuk bahu kakak iparnya.
"Pasti akan baik-baik saja," ujar Diana.
"Est ... heh ... Kenapa tidak sesuai dengan petunjuk. Petunjuknya memang hanya 2 detik, mana bisa aku mencegah kejadian selama 2 detik," gumam Diana.
"Diana siapa yang melakukan ini semua?"
"Yang menusuk tadi masih di introgasi. Mas Dayyan bersama polisi, semoga menemukan titik terang. Agar tidak kembali lagi hal seperti ini."
"Alfito ...."
Tiba-tiba wanita paruh baya Memanggil nama Alfito. Fania bingung, dia melihat ekspresi Diana yang malas.
"Selalu datang ketika membutuhkan uang," gumam Diana didengar Fania.
Srettt!
Wanita itu menarik bahu Fania, dan sudah mengangkat tangan akan menampar Fania. Dengan sangat cepat Diana menangkis tangan wanita itu.
"Ini rumah sakit! Ibu macam apa yang datang kepada putranya saat butuh uang! Sok perhatian." Suara Diana terpecah.
Fania terlihat bingung dengan keadaan di depannya.
Bersambung.