Waktu terasa cepat berlalu. Pagi itu Fania tirai, dia menatap sejenak pemandangan luar.
"Hari ini aku akan menikahi kekasih adikku. Jika dia benar orang baik apa aku bisa mencintainya. Tapi aku tidak bisa di cintai sebagai Anaya. Walaupun dia sudah memanggilku Fania tetap saja yang dicintainya adalah Anaya. Anaya ... maafkan Kakak."
"Neng, perias pengantin lnya sudah datang." Bik Sri membawakan dua perias.
"Wah ... pengantinnya ini cantik banget tapi kurus ... makan tidak sih kok sampai kurus kayak gini."
Fania berwajah datar dan tidak mengatakan apa pun. Gadis ini memilih gaun berwarna pastel. Dan berhias payet-payet dan brokat di beberapa bagian gaunnya. Manik-manik yang berada di bagian dada gaun itu sangat mempercantik Fania.
"Wajahnya sudah cantik begini, cakep banget. Cuma ada memar-memarnya ini kenapa Neng ...."
"Sudahlah Mbak ... jangan banyak bicara rias saja." Fania merasa lelah dia kemudian duduk.
"Anaya, kok beda sih, biasanya kamu ramah ini jutek amat. Sejak kapan juga kamu pakai hijab, tapi semakin anggun mempesona. Calon seorang istri itu harus ramah. Walau aku kayak gini, kita kan teman sudah lama. Sikapmu ini aneh," ujar perias itu.
"Maaf ya Ingatanku memang sedikit lemah. Aku juga lagi nggak mood banget."
"Kamu harus terlihat sangat cantik karena ini pernikahanmu. Dan, Alfito yang gantengnya super-super duper itu ... pasti akan membuat kamu sangat beruntung."
Fania tersenyum singkat dia mulai di rias. "Kamu tidak direspon sangat cantik Sayang ..." ujar banci itu memang sangat manja.
*****
Riasannya begitu elegan. Sama sekali tidak ada make up tebal. Wajahnya begitu merona, bulu mata yang lentik. Dan lipstik yang tidak tebal, membuat Fania cantik jelita.
Mendengar keramaian dari bawah, Fania disusul oleh ayahnya. Baru kali ini Fania menggandeng ayahnya menuruni anak tangga. Matanya menyapu ruangan, semua sangat terpesona dengan kecantikannya.
Seperti bidadari yang turun dari kayangan. Langkahnya pelan-pelan karena memang tidak bisa memakai sapatu hak tinggi. Di bawah sana pria berjas hitam menantinya. Menatap kagum penuh cinta kepada gadisnya.
'Kenapa tatapannya sangat horror seperti itu sih? Bikin grogi saja, apalagi pakai sepatu seperti ini. Aku benar-benar ingin jatuh. Semoga aku tidak jatuh kalau jatuh pasti sangat membuat malu. Huft ....' Fania menelan ludah kasarnya.
Dia akan sampai kepada Alfito, namun mata Fania tertuju kepada Dayyan.
'Yang sebelahnya itu lebih tampan. Lebih manis pula. Ih ... konyolnya kamu Fania,' ujar Fania dalam hati. Karena matanya fokus menatap Dayyan dia sampai tidak melihat jalan.
"Aa ...!"
Semua menjadi tegang karena teriakan Fania yang akan jatuh.
Bruggg!
Dengan cepat Alfito menahannya, tatapan mereka saling bertemu di satu titik. Fania segera bangun tidak ingin membuang waktu dan tidak ingin bertatapan lebih lama dengan calon suaminya.
'Aku selalu jatuh cinta ketika melihat matamu. Setiap saat kamu membuat aku memikirkanmu. Selalu mencari alasan agar bisa mendengar suaramu. Aku tidak ingin membuang waktuku lagi. Aku ingin segera menghalalkan mu.' Alfito terus menatap istrinya sambil bicara dalam hati.
Rumah Ryan kini menjadi saksi. Mereka semua siap melaksanakan ijab qobul. 'Aku sangat gugup dan aku sangat takut jika aku masih menyebut nama Anaya. Fania ... Fania.'
Alfito terus menyebut nama Fania dalam hati. Wajahnya benar-benar menjadi memerah dan gugup. Terlebih lagi ketika penghulu menarik tangannya dan meminta Alfito untuk mengucapkan kalimat ijab qobul.
Semua menjadi hening mata tertuju kepada pria yang akan mengucapkan ijab qobul itu. Fania tidak bisa menyaring suara apapun kecuali suara Alfito yang lantang.
"Saya terima nikah dan kawinnya Fania Adiba binti Bapak Fedrian dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Sah?"
"Sah ...."
Doa dipanjatkan oleh Ustadz setempat. Dan Fania mendekat mencium punggung tangan Alfito dengan perasaan ragu dan berkecamuk. Alfito hendak mencium kening istrinya. Fania melihat kearah tamu.
'Jika harus berjabat tangan bisa-bisa. Aku pingsan. Apa aku harus pura-pura pingsan? Aku sangat ingin melarikan diri,' ujar Fania dalam hati. Dia merasa lelah jika harus bersalam-salaman.
"Ah ... hik hik hiks est ... sakit ... maaf perutku sakit ... maaf semua yang penting kan sudah sah, saat ini perutku sakit sekali." Fania terus menekan perutnya. Dengan Sigap sebagai seorang suami Alfito segera menggendongnya.
Fania sangat tidak menduga jika Alfito akan melakukan itu, bahkan menjadi tontonan romantis untuk para tamu. "Pegangan. Lagian kamu sudah istriku. Jangan malu." Alfito akan membawa Fania ke kamar.
Jelas aja banyak yang sangat iri dengan Fania. Termasuk sekretaris dari Alfito yang memang dari dulu mencintai Alfito. Wanita itu menatap tidak suka kepada Fania. Tatapan licik itu mungkin mendatangkan ide.
Namun, seorang gadis manis. "Jangan berbuat aneh-aneh. Aku bisa membaca pikiran burukmu," ujar gadis itu melintasi sekretaris. Diana berlalu memeluk Dayyan.
"Kamu sudah besar ... jangan manja. Diana malu ah, sama para tamu." Dayyan menyingkirkan kepala adiknya. Diana menimpa wajah kakaknya.
****
Sementara pengantin baru itu dengan perasaan canggung sedari tadi Fania berusaha menjaga jarak agar dia tidak berpegangan erat kepada Alfito yang kini sudah menjadi suaminya. Alfito memberikan istrinya keranjang. Dia memandang wajah istrinya, semakin dekat dan semakin lekat.
"Maaf sangat sakit ... apa boleh aku istirahat sebentar," ucap Fania sangat pelan. Menunjukkan kalau aktingnya benar-benar berhasil. Alfito hendak mengecup keningnya. Namun, gadis itu segera membuang wajah ke arah kanan dan memeluk bantal guling.
'Main sosor-sosor aja nih orang,' keluh Fania dalam hati.
"Sakitnya bagaimana ... mari kita pergi ke rumah sakit." Sebagai suami sangat wajar jika dia mengkhuwatirkan keadaan istrinya. Alfito duduk di samping istrinya sambil membelai kepalanya.
"Aku ingin tidur jangan ajak bicara. Nanti bangun tidur juga membaik kok." Fania sangat risih dengan yang dilakukan oleh Alfito.
'Ih ... laki-laki ini bucin banget sih. Lebay banget. Bagaimana aku bisa nyenyak kalau dia terus disampingku seperti ini. Apa Anaya memang gadis yang manja. Menurutku ini terlalu berlebihan, membuat aku malah tidak nyaman seperti ini. Pakai ngelus-ngelus kepala lagi! Pinggangku kan jadi nyeri kalau di elus-elus kepalaku.' umpat Fania dalam hati yang sudah tidak tahan dengan sikap romantis dari Alfito.
Bagaimana pun perhatian yang ditunjukkan Alfito itu membuat Fania sangat tidak nyaman.
"Eh ... ah ... ah ... sakit."
Mendengar suara itu Alfito semakin bingung. "Kamu yakin tidak perlu dibawa ke dokter? Ayolah sayang ... apa aktivitas pernikahan kita memang melelahkan. Kalau begitu aku tidak akan mengadakan resepsi. Aku tidak ingin membuatmu lelah."
"Yes ...." gumam Fania.
"Apa ...?" tanya Alfito mendekatkan wajahnya ke pipi Fania.
"Est ... sakit ...." Fania kembali menekan perutnya. Alfito merasa kasihan dan mencium pipi istrinya, membuat Fania terbelalak dan tidak percaya.
Bersambung.