Chereads / HE ISN'T MYBROTHER / Chapter 6 - Maaf Untuk Pertemuan Awal Kita

Chapter 6 - Maaf Untuk Pertemuan Awal Kita

Rachel dengan terpaksa menuruti perintah dosen baru itu. Yang tak lain adalah kakaknya sendiri.

Tumpukan tiga buku besar Rachel bawa hingga membuat lengannya pegal. Tidak terhitung berapakali dia berhenti. Hanya sekedar untuk meringankan beban dari lengannya.

Saat langkah Rachel sedang menyusuri koridor. Banyak para mahasiswa menatapnya dengan tatapan terkagum dan tidak sedikit yang mencoba mendekati Rachel.

"Itu bukannya mahasiswa baru kemarin, Re?" tanya salah satu mahasiswa senior yang dulu mengawasinya saat masa orientasi.

Salah satu temannya mengangguk mengiyakan bahwa itu adalah juniornya yang terkenal cantik dan berwajah khas bule.

Rachel adalah perempuan cantik, berparas Belanda-Indonesia. Karena mama Martha adalah keturunan asli Belanda.

Orang tuanya Martha berstatus WNA yang bertempat tinggal di Indonesia. Sehingga bisa dibayangkan bagaimana ayunya wajah Rachel.

Berkulit putih, hidung mancung, tinggi semampai, bentuk tubuh ramping, tetapi rambutnya tidak sepirang orang bule biasanya. Rachel ikut gen Jeno. Rambutnya hitam lurus terawat. Sungguh beda jika anak orang kaya. Benar bukan?

Salah satu mahasiswa terpopuler berjalan mendekati Rachel saat Rachel beristirahat karena kelelahan.

"Hai... Rachel," sapa Remo seraya memeringkan tubuhnya dari arah belakang Rachel.

Rachel terkejut dengan suara yang tiba-tiba datang dari arah belakang. Hampir saja tubuhnya terhuyung ke belakang untung tangan Remo berhasil menahannya.

"Lain kali hati-hati," ucap Remo sembari tersenyum tampan. Mata Rachel dan Remo tidak sengaja saling bertemu hingga membuat Rachel tidak enak.

"Astaga lo ngagetin gue, Kak. But, thanks," balas Rachel sembari mendirikan tubuhnya. Remo mengangguk. "Sorry."

Lalu Remo dengan sengaja mengedarkan matanya kearah tumpukan buku besar yang sengaja Rachel letakkan di atas bangku kosong.

"Orang pinter nggak gini-gini amat deh," ejek Remo sembari menggelengkan kepalanya melihat setumpukkan buku tebal itu.

Rachel mengernyit dengan ejekan Remo pada setumpukkan buku Delon. Mungkin Remo pikir dirinya sepintar dan serajin itu.

"Lo kutu buku?" tambah Remo lagi seraya dengan cepat memindah pandangannya kepada sang pemilik.

Rachel menahan tawanya. Mendengar pujian atau bahkan hanya ejekkan saja dari Remo?

Mungkin semua orang yang melihatnya dengan membawa beberapa tumpukan buku besar itu akan mengira dirinya, seperti yang Remo kira.

Padahal kenyataan berputar terbalik dengan kehidupan Rachel yang bak putri sultan.

Rachel hanya mau membuka buku jika dirinya ingin. Jika tidak Rachel tidak akan menyentuh selembar pun.

"Puft... ini bukan punya gue. Gue cuma disuruh bawain pak Delon," jawab Rachel sembari tertawa.

"Pak Delon? Dosen baru itu?" tanya Remo dan diangguki Rachel sebagai jawabanya.

"Gue bantu bawa ya? Lo capek banget kayaknya," tawar Remo.

"Tidak perlu, Kak. Gue bisa bawa sendiri." Rachel menolak tawaran Remo. Tapi, Remo masih saja kekeh ingin membantu Rachel.

"Gak usah sungkan. Gue kayak gini bukan ke lo aja. Jadi, biar gue bantu." Remo langsung mengambil alih tumpukkan buku itu dari tangan Rachel.

Rachel hanya membalas dengan senyum samarnya. Tapi, Remo masih bisa melihat senyum itu.

"Cantik," puji Remo pelan. Dan terdengar samar di telinganya.

Rachel mengernyit kearah Remo karena Rachel tidak terlalu mendengar jelas pujian Remo. "Iya, kenapa?" Remo menggeleng sembari tersenyum tampan.

Di sepanjang jalan mereka berdua mengobrol. Bahkan sesekali mereka bergurau. Hingga gelak tawa mereka pecah di setiap langkah.

Dan tidak terasa mereka sudah berada di depan bibir ruangan Delon.

"Nggak kerasa udah nyampe," ucap Remo.

"Thanks, Kak. Gue sampek ngerepotin lo." Rachel ingin meraih kembali buku-buku tebal itu, tapi Remo melarangnya.

"Dari tadi thanks terus. Gue butuh tanda terima kasih yang nyata."

"Maksudnya?"

"Gue tunggu makan siang gratis dari lo."

Sebelum tangan Rachel sempat mengetuk pintu ruangan Delon. Tiba-tiba pintu tersebut terbuka dengan sendirinya.

Bukan masalah pintu itu terbuka sendiri. Tapi, masalahnya ... di sana sudah ada Delon dengan tatapan tajamnya menatap Rachel dengan Remo.

"Kakak ...," panggil lirih Rachel terkejut.

Romi pun terkejut dengan sosok tinggi besar yang sudah berada di antara sayap pintu itu.

Tapi, Remo lebih terkejut dengan panggilan yang ia dengar barusan dari mulut Rachel namun tidak terdengar dengan jelas.

Kakak? Rachel manggil pak Delon 'kakak' apa gue salah denger?

"Maaf, Pak. Saya di sini mengatarkan buku Bapak. Saya kasian melihat Rachel kelelahan membawa tumpukkan buku-buku ini," jelas Remo yang ingin memperjelas keberadaan dirinya di sana.

"Kemarikan buku-buku itu. Dan kamu bisa pergi," ucap Delon pada Remo. Tapi, Remo melirik Rachel yang berada di sampingnya.

Seakan tahu arti dari lirikan Remo. Delon dengan cepat menahan Rachel untuk pergi dengan Remo.

"Saya masih ada urusan dengan Rachel ...," tambah Delon. Dengan terpaksa Remo mengangguk lalu berpamit kekelas.

Tidak lupa Remo mengedipkan matanya pada Rachel sebelum dirinya pergi.

Rachel yang melihat kedipan mata Remo hanya tersenyum sebagai tanda terima kasihnya lagi kepada Remo.

"Rachel, masuk. Kakak sudah pesankan makanan untukmu," kata Delon dingin. Rachel tidak menjawab.

Rachel langsung saja nyelonong masuk tanpa memperdulikan pria tampan itu menatap dirinya tajam.

Delon menghela napas beratnya. Dia tau. Dia salah. Tidak seharusnya dirinya menurunkan adiknya di halte bus tadi.

Tanpa sepengetahuan Rachel Delon telah mengunci pintu ruangannya. Delon tidak mau permintaan maafnya di ganggu oleh orang lain.

"Rachel masih marah?" tanya Delon yang sekarang sudah mendudukkan dirinya di samping Rachel.

Rachel tidak memperdulikan pertanyaan Delon, mulut dan tangannya dengan cepat memasukkan dan mengunyah dengan cepat.

"Rachel maafin kakak," rengek Delon seraya meraih satu tangan Rachel pada pipi kekarnya.

Sebenarnya Rachel tidak tega. Tapi, rasa kesal Rachel masih belum juga hilang.

"Adik kakak yang cantik ...," Delon memeluk tubuh ramping Rachel dengan gemas. Delon tidak tahu jika pelukan itu malah membuat jantung Rachel berdegub kencang.

Astaga, jantung gue...,

"Kak, lepas!" Rachel mendorong paksa tubuh kekar Delon. Rachel tidak mau jika Delon tahu perasaan salahnya ini.

Cukup hanya Rachel saja yang tahu. Dosa? tentu. Biarkan Rachel yang bertanggung jawab atas dosanya itu pada Tuhan.

Delon menyatukan alisnya. Saat tubuhnya sudah terhempas ke sisi samping mengenai punggung sofa.

"Kenapa? Apa kamu sudah tidak suka kakak peluk?" tanya Delon sedih.

"Kamu tidak merindukanku?" Delon kembali mendekati Rachel. Tapi, tubuh Rachel malah semakin mundur.

"A--aku sangat merindukanmu, Kak," jawab Rachel dengan terbata.

Delon sepertinya telah terlalu jauh memaksakan kerinduannya hingga tidak sadar membuat Rachel ketakutan.

Delon hanya mengangguk lalu membiarkan Rachel melanjutkan makanannya, "Makanlah," suruh Delon sembari menghempas punggung kekarnya di sofa.

Delon mengulas wajahnya dengan kasar. Semakin hari perasaan Delon pada Rachel semakin dalam. Delon meremas kuat genggaman tangannya saat mengingat mahasiswanya dekat dengan Rachel tadi.

Jika tidak mengingat keberadaan dan posisinya. Delon pastikan Remo tidak akan berani berdiri di samping Rachel kembali.

Sedangkan Rachel masih sesekali menyendokkan makanannya kedalam mulut sembari ekor matanya melirik pria di sampingnya.

Delon nampak kusut. Wajahnya nampak sedih. Entah apa yang sedang dipikirkan Delon saat ini. Yang pasti Delon tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.

"Kak Delon tidak apa-apa?" tanya Rachel yang mulai memberanikan dirinya. Delon yang mendengar suara Rachel langsung membuka matanya lalu melirik keberadaan Rachel.

Delon mengangguk tanpa menegakkan tubuhnya.

"Apa kamu tau, kenapa aku ingin menjadi dosen di sini?" tanya Delon lalu dijawab Rachel dengan menggeleng. "Memang kenapa? Aku juga ingin menanyakan hal ini, Kak."

"Paman Tio. Dia memintaku," jelas Delon. Rachel yang mendengar itupun langsung melepaskan genggaman sendoknya.

"Paman Tio? Ada urusan apa dia memintamu?" tanya Rachel menyelidik.

"Untuk menemani Jenny sementara. Dia tidak mengenal siapapun di sini. Paman Tio tau aku sudah pulang dan dia memintaku menemani Jenny sampai laporan skripsinya selesai."

Rachel membulatkan matanya saat mendengar penjelasan Delon padanya. Genggaman tangan Rachel menguat keras. Rachel langsung terbangun dari duduknya ingin melabrak Jenny saudaranya itu.

"Mama dan papa tau ini?" tanya Rachel dan diangguki pelan Delon.

Rachel sudah tidak bisa menahan lagi amarahnya. Bahkan kedua orang tuanya juga tidak berdaya di hadapan perempuan ular itu.

Delon langsung menahan tangan Rachel menariknya hingga tubuh Rachel terjatuh dalam pelukan Delon.

"Jangan, kau tau sendiri kesehatan paman belum sepenuhnya pulih. Aku hanya akan membantu Jenny sebagai dosen," jelas Delon sembari membawa Rachel kedalam pelukannya.

Rachel dan Delon merasakan debaran jantung milik mereka masing-masing. Pelukan Delon sangat nyaman. Andai perasaan Rachel memilih kepada orang yang tepat.

Tapi, dengan kesadaran yang masih Rachel rasakan. Rachel tidak mau membawa perasaan nyamannya lebih jauh lagi dari ini.

Rachel mulai melepaskan pelukan Delon pada tubuhnya. Namun, Delon malah semakin menguatkan pelukannya.

"Jangan bergerak. Tetaplah seperti ini, sebentar. Aku sudah menahannya lama... biarkan seperti ini," ucap Delon lirih. Rachel yang mendengarkan ucapan Delon akhirnya menurut dan membalas pelukan Delon.

"Maaf ...," kata Delon lagi sembari mencium pucuk kepala Rachel. Rachel mengernyit, "Maaf untuk apa, Kak?" tanya Rachel kembali.

"Untuk pertemuan awal kita."