Rachel benar-benar tidak habis pikir dengan pria yang sekarang sedang memeluknya dari belakang.
Setelah mereka berdua mengakui perasaan mereka masing-masing, kini Delon yang dingin telah berubah 180 derajat terbalik menjadi sangat manja dengannya.
"Sayang, bicaralah padaku, kenapa kau mendiamiku seperti ini? Apa gara-gara Jenny atau ada yang lain?" tanya Delon yang sudah menaruh dagunya di bahu Rachel.
Rachel masih diam. Ia bahkan masih mengingat, tangan dan tubuh kekar yang sedang memeluknya saat ini, juga telah memeluk wanita lain.
"Sayang ...," panggil Delon manja kembali.
Kini Delon harus merubah rencananya. Delon harus membuat wanitanya itu berbicara padanya, saat ini juga.
Masalah yang semakin dibiarkan berkelanjutan. Delon pastikan itu tidak akan baik. Di dalam sebuah hubungan, Delon percaya akan adanya sebuah komunikasi.
Jika, Delon tidak segera menyelesaikan masalahnya dengan Rachel. Ia tidak akan bisa tidur dan makan dengan nyenyak.
Delon memainkan telinga Rachel. Napasnya sengaja ia tiupkan ke arah sekitar leher putih Rachel.
Jangan tanya di mana tangan nakal Delon. Tangan itu telah menjalar ke seluruh tubuh Rachel dari balik baju.
Rachel memejamkan matanya merasakan kelenyar hasrat yang mulai muncul karena ulah Delon.
Sekuat mungkin, Rachel tidak mau kalah dengan Delon. Rachel menggigit bibir bawahnya agar suara tertahannya tidak keluar.
"Jangan ditahan. Kamu tau 'kan, Chel, aku sangat menyukai desahanmu itu ...," ujar Delon frontal dengan tangannya masih meremas bukit membusung Rachel.
Tubuh Rachel menegang.
Sekarang jemari Delon telah menaikkan pelindung benda favoritnya. Kini bukit itu telah terbebas, namun baju Rachel masih utuh di sana.
"Jangan mesum, Kak!" Dengan kekuatan yang telah Rachel kumpulkan. Akhirnya kalimat itu berhasil ia keluarkan untuk menahan jemari Delon yang telah memainkan pucuk bukitnya.
"Katakan dulu apa salahku. Aku benar-benar tidak tau, Sayang," kata Delon sembari menyesap leher putih Rachel.
Rachel menepuk tangan Delon yang berada di dalam bajunya. Lalu meraih ponselnya yang memang sengaja, Rachel letakkan di atas nakas setelah membalas pesan Jeno.
Delon tidak peduli dengan penolakan Rachel. Ia malah mengulum senyumnya saat melihat wajah merah Rachel yang sudah berubah posisi menjadi telentang.
Kamu menikmatinya, Sayang! Kenapa harus menolakku? Hahaha.
"Ni, lihat! Apa dosen juga merangkap sebagai body guard wanita lain?" Rachel memperlihatkan foto Delon dengan Rere yang telah menjadi hot line nomer satu di kampusnya.
Delon mengernyit. Lalu merubah ekpresinya menjadi sedikit tertawa.
"Kenapa tertawa? Kamu suka dengan pekerjaan barumu? Apa karena lampir itu cantik?" tanya Rachel bertubi-tubi.
Rachel kesal dengan wajah tampan Delon. Bukannya merasa bersalah, tapi pria itu malah tertawa.
"Hanya gara-gara itu kamu mendiamiku, Chel?" Rachel diam, ia mencebikkan bibirnya.
"Pergi sana. Aku lelah, aku ingin tidur," kata ketus Rachel.
Delon meraih bahu Rachel. Lalu membaliknya ke arahnya. Menatap dalam wanitanya saat ini.
"Siapapun wanita yang mendekatiku, itu tidak ada apa-apanya denganmu. Aku hanya mencintaimu, Chel," jelas Delon dalam.
Rachel hanya membalas tatapan penuh cinta Delon padanya. Ia ingin mencari kebohongan dari sorot mata tajam Delon, tapi kenyataannya tidak ada.
Pria di depannya itu berkata jujur.
"Aku menolong dia, karena itu salahku. Entah kenapa aku menabraknya tadi. Kakinya terkilir, dan aku hanya mengantarkannya ke UKS," sambung Delon dengan menghilangkan salah satu part yang tak mungkin ia ceritakan pada Rachel.
"Benarkah?" Delon mengangguk.
"Tapi, aku sangat tidak suka," kata Rachel sembari memainkan jemarinya di depan dada bidang Delon yang telah terbuka oleh pemiliknya sendiri.
Delon mengulas rambut panjang Rachel dengan sayang. "Aku tau. Dan aku suka kamu cemburu seperti ini. Tapi, jangan mendiamiku lagi, aku hampir gila, karena ini, Chel," sahut Delon jujur.
"Kita bicarakan apapapun itu. Aku tidak mau mengulang adegan ini lagi. Aku ini sudah tua. Aku tidak mungkin menaikki tangga lagi," ucap Delon dengan terkekeh.
Rachel masih bermain di dada bidang Delon. Kini tubuh Rachel langsung ia dekatkan pada tubuh kekar Delon yang selalu saja membuatnya nyaman.
"Hm, iya-iya, bawel," jawab Rachel mengangguk dalam pelukan Delon.
Delon mengulas senyum tampannya. Memejamkan matanya sejenak, lalu mencium dalam pucuk kepala Rachel.
"Aku sudah bertahun-tahun menantikan hal ini. Tapi, sifat pengecutku yang menjadikan hari ini kau milikku. Seharusnya, sudah dari dulu, kamu menjadi milikku," ucap Delon sendu.
Rachel diam, ia hanya membalas dengan pelukan hangatnya. Ia tahu apa yang sekarang dirasakan prianya.
"Tunggu aku sebentar lagi. Aku akan melamarmu, sesegera mungkin."
"Hm. Jangan lama-lama, aku ingin segera menjadi ibu muda," jawab Rachel manja.
Delon terkekeh dengan jawaban Rachel. Menjadi ibu muda adalah impian Rachel sejak kecil. Tapi, Delon tidak menyangka jika Rachel masih kekeh dengan impiannya itu.
"Baiklah, baiklah, Istriku," sahut Delon sembari memasukkan Rachel ke dalam pelukannya lebih dalam.
Di sisi lain Jeno dan Tio sedang bertentang argumen di kantor Jeno.
Jeno memang sengaja mengundang kakaknya itu ke kantornya, untuk menunjukkan bukti kecurangan Tio padanya.
"Aku bahkan tidak menyangka dengan perbuatanmu ini, Kak!" Jeno memandang lekat amplop coklat yang berisikan bukti Tio menyuap para investor perusahaan Jeno untuk menarik investasinya di perusahaan Jeno.
Tio mengambil paksa amplop coklat yang Jeno banting dengan keras di depan matanya. Matanya membulat sempurna, melihat beberapa foto yang memang itu dirinya.
"Kamu memata-mataiku?" tanya Tio tidak suka.
Jeno mendongakkan wajahnya. Lalu menampilkan seringai di wajahnya.
"Jika iya, kenapa? Aku bahkan akan selalu menjadi orang bodoh di matamu."
Tio meremas kuat foto-foto di tangannya, lalu membuang kasar di bawah kakinya.
"Jika kamu menyetujui pertunangan Jenny dan Delon, ini semua tidak akan terjadi," tandas Tio dengan nada ketusnya.
BRAK
Jeno menggebrak meja kerjanya dengan keras. Mungkin saja suara mejanya itu hampir terdengar hingga ke luar ruangan.
"Omong kosong! Kau seperti anak kecil!" balas Jeno yang tak kalah berapinya.
"Aku bisa melakukan apapun demi putriku. Umurnya sudah tidak lama lagi. Aku hanya ingin mewujudkan permintaannya yang terakhir," jelas Tio jujur.
Jeno yang mendengarnya, hanya mengulas kasar wajahnya. Jenny keponakannya itu, tak selemah apa yang dipikir Kakaknya.
Jika Tio mengetahui bagaimana sifat asli Jenny, entah bagaimana reaksi yang akan Tio tunjukkan.
Jeno menghela napas panjangnya untuk meredam emosi tingkat tingginya tadi.
"Delon yang tidak mau mengiyakan perjodohan ini. Dia sudah mempunyai kekasih," kata Jeno mencoba membuat pria yang nampak lebih tua darinya itu paham.
"Aku harap kita tidak lagi membahas ini. Aku akan melupakan tindakan bodohmu itu," sambung Jeno lagi.
Tio hanya membelas dengan berdecak. Ia bahkan tidak memperdulikan Delon sudah mempunyai kekasih atau belum.
"Setelah Jenny tiada, Delon bisa menikah dengan kekasihnya. Atau aku harus memberikan imbalan untuk kekasihnya?" jawab Tio dingin.
Jeno benar-benar terperangah mendengar jawaban dari Tio. Karena cinta butanya terhadap Jenny, Tio mampu menilai seseorang dengan uang yang ia miliki.
"Katakan pada kekasihnya, dia ingin menulis nominal berapa, aku akan memberikan dengan senang hati," lanjut Tio seraya meletakkan sebuah cek di atas meja. Lalu, ia berlalu meninggalkan ruangan Jeno.