Chereads / Rivandy Lex : Classical Academy. / Chapter 17 - Seorang Pengawal : Keempat Gadis

Chapter 17 - Seorang Pengawal : Keempat Gadis

Pelajaran Sejarah Roshan pada hari Jumat telah berakhir. Pelajaran fisika diganti pada hari Kamis karena Pak Boris tidak bisa mengajar fisika hari Senin akibat sakit.

Jadi, diganti dengan pelajaran yang lain.

Bu Rivera meninggalkan kelas bersamaan dengan tugas yang harus diselesaikan minggu depan. Jika tidak mengerjakan tugas atau buku ketinggian, Bu Rivera akan menghukum dengan berdiri di lorong kelas.

Pelajar akademi meninggalkan buku mereka dan mulai sejenak. Mereka menyebar ke berbagai tempat. Para gadis memulai gosip yang beredar di akademi.

"Ayo! Kita ke perpustakaan! Kita harus mengerjakan tugas ini secepatnya."

"Iya. Aku ingin meminjam beberapa buku di sana."

"Kau tahu tidak? Pangeran Matematika sedang dihukum oleh Bu Rivera."

"Benarkah? Kenapa kita tidak menyapanya saat istirahat berlangsung? Hukuman kemarin menyita waktu kita."

"Kya! Jangan begitu! Kita bisa bertemu dengannya lain kali."

"Kita harus bergegas sebelum ksatria itu datang dan menculiknya."

Tidak jauh dari kelas dan bisikan para gadis, aku dan kedua gadis itu berjalan bersama. Sudah dari tadi kami lengket dengan kedua gadis itu setelah membeli permen di toko permen. Ini cukup menguras tenaga.

Setengah perjalanan dari kami, kedua gadis yang lainnya berlarian di lorong dan memanggil namaku, memberikan perhatian padaku.

"Rivandy!"

"Darling!"

Mereka memelukku dengan seenaknya. Pandangan mataku tidak lagi tertuju pada buku kecil yang dipegang setiap hari. Mereka menggangguku dengan suara kebisingan itu

"Tunggu! Apa yang kalian lakukan? Sakit!"

Mereka tidak mau mendengarkan ucapanku. Justru sibuk dengan pikiran perempuan mereka ketika bertemu dengan pangeran sepertiku.

"Aku tidak mau berpisah darimu."

"Darling. Aku tidak mau kamu terluka."

Tidak ada pilihan lain. Hembusan nafas dikeluarkan lalu membuat mereka terdiam. Kedua tanganku tidak bisa bergerak. "Kalian. Bisakah kalian lepaskan aku? Aku tidak bisa bergerak."

Aurora dan Evelyn mengabaikanku. Mereka tidak mau menolongku karena teralihkan dengan obrolan gadis.

"Tentu saja. Aku tidak mau kau ditangkap. Kau harus mengerjakan matematika setiap hari."

"Aku akan melindungimu, Darling!"

"Aku baik-baik saja. Aurora dan Evelyn sudah ada di sampingku. Jadi, ...."

Ekspresi wajahku berubah. Aurora dan Evelyn menghilang dari pandanganku. Kecemasanku mulai terlihat sejak mereka menghilang.

"Mereka hilang kemana?" Mencoba tidak panik, memeriksa lingkungan sekitar untuk menemukan mereka.

"Mereka pergi duluan. Aku akan menemanimu." Akishima mendekat dan memegang tanganku.

"Darling jangan khawatir! Aku akan menemanimu." Mata perhatian Sheeran tidak bisa dihentikan.

Dengan terpaksa, kedua tanganku harus dipegang kedua gadis itu. Secara tidak sadar, pikiran perempuan lebih rumit. Sampai merasakan percikan listrik yang dahsyat.

"Tidak akan kubiarkan kau mendekati Rivandy! Kau harus melepaskan tangannya."

"Gadis sepertimu tidak akan cocok disampingnya. Aku tidak akan menjauh dari Darling satu sentimeter pun."

Mereka tidak bisa menjauh dariku. Ibarat ikatan merah yang tidak dapat dilepaskan. Kedua teman sekelas sudah ke kantin lebih dulu daripada kami bertiga.

Sesampainya di kantin, kami memesan makanan sayuran dan krim sup putih  Lalu, aku duduk bersama empat gadis itu.

Meskipun mereka berisik, aku tidak keberatan dengan keberadaan mereka. Hanya saja, mengurus mereka berempat memang melelahkan. Mengikuti obrolan gadis saja menyebabkan menutup mulut.

Tapi, mereka tidak ingin diabaikan oleh seorang pangeran. Jadi, mereka mengajakku bicara tanpa menyantap makanan kantin.

Mau tidak mau, aku harus mengikuti kemauan mereka.

[***]

Setelah menghabiskan hidangan kantin, mereka menyerahkan piring kotor mereka padaku. Lebih baik, aku menerima mereka daripada tidak sama sekali.

Makanya kantin adalah hidangan yang disajikan dari kantin akademi. Kebanyakan hidangan itu adalah sayuran dari ladang petani dan daging rusa hasil perburuan.

Tidak lupa dengan sup krim putih yang terbuat dari kentang, jagung, dan wortel. Krim ini lebih dominan pada sayuran.

"Tidak ada yang ketinggalan?"  Kelima piring kotor dan satu mangkuk sudah berada di tanganku.

"Tidak ada. Semuanya sudah diserahkan padamu." Aurora beranjak dari kursi kantin.

"Aku pergi dulu. Sekalian meminjam buku di perpustakaan." Sebelum pergi, aku menyampaikan sesuatu.

"Jaga dirimu, desu! Jangan sampai ditangkap oleh mereka, desu." Evelyn memberi pesan sekaligus mengancamku.

"Ingat! Aku tidak memaafkanmu kalau kau menghilang." Akishima juga, dengan egoisnya mengatakan yang menusuk.

"Aku akan menunggumu di depan kelas nanti." Berbeda dengan Sheeran, dia memberikan dukungan padaku.

"Tidak boleh! Pulang sendiri sana!" Akishima tidak menerima Sheeran dan mulai menampakan keegoisannya.

"Apa?! Kau yang pulang sendiri!" Sheeran membalas dengan adu mulut.

Aku melambaikan salam perpisahan pada mereka, meninggalkan perkelahian kedua gadis dengan tujuan yang sama sementara Aurora dan Evelyn kembali ke kelas untuk menunggu kedatanganku.

Mereka membiarkan pertengkaran kedua gadis di kantin. Bukan berarti mengabaikan, pertengkaran itu cenderung memudar dengan sendirinya lalu kembali ke kelas dengan kesal.

Di tengah perjalanan menuju perpustakaan, langkah kakiku menghentak ke lantai, tenang dan hening. Tangan kananku memegang buku kecil dan pandanganku tertuju pada huruf dan angka.

Sekumpulan gadis dengan seragam akademi serta rok pendek yang menawan. Mereka lebih anggun dan tidak menggunakan sihir saat ini.

"..."

Berbeda dari gadis yang kutemui sebelumnya, sikap mereka lebih alami tidak memainkan instrumen seperti tuan putri. Mereka datang sebagai siswi akademi dan memberikan perhatian khusus padaku.

"Rivandy!"

"Hm?"

Baru kali ini mereka memanggilku. Mereka datang dan mengerumuniku lalu menghalangi jalanku. Pandangan mataku tidak lagi membaca buku kecil, melainkan pada keempat gadis itu.

"Ada apa?"

"Rivandy!" Mereka memanggilku secara bersamaan dan tubuh mereka menyatu, sehingga tidak ada rute pelarian.

Mereka memelukku dan tidak mau membiarkanku pergi. Entah kenapa gadis ini tidak mau membiarkanku sendiri. Aku terlalu populer untuk mereka.

"Baiklah. Aku menyerah. Ada apa?" Lebih memilih untuk mengalah pada keempat gadis itu.

"Tolong pinjam buku matematika di perpustakaan, dong! Aku tidak mau dihukum karena tidak mengerjakan tugas matematika." Krasnya memegang tanganku dan meminta tolong dengan manis.

"Rivandy. Ayo kita pulang bersama kami. Tapi, jangan lupa meminta buku matematika." Zheltya mengajakku pulang.

"Kami punya kue stroberi ditengah bekal nanti.  Kita bisa makan bersama sambil mengerjakan tugas." Zelenya membuat kode kedipan mata sekaligus mengajakku mengerjakan tugas bersama.

"Tolong temani aku! Aku kesepian setiap kali mengerjakan tugas matematika." Perilaku manja Sonya menaklukanku lebih jauh.

"Kenapa kalian tidak pergi ke perpustakaan sendiri? Tugas matematika harus dikerjakan sendiri." Aku melepaskan diri dan menyarankan untuk mengerjakan sendiri.

Mereka beralasan lagi. Perpustakaan bagi mereka adalah sebuah penyiksaan. Gestur tubuh mereka menjadi gelisah. Terasa ingin menangis ketika mendengar perpustakaan.

"Tidak mau. Pustakawan disini terlalu menyeramkan." Zheltya membuat gestur gadis manja.

"Aku takut." Krasnya mengingat ketakutannya.

"Kamu saja yang pinjam." Sonya menunjukku dengan tangan yang lembut.

"Dia mengusir kami dari perpustakaan akademi." Ekspresi Zelenya seperti diserang hantu.

Mereka membuat mata yang lucu dan sedikit menyebalkan. Sikap manja keempat gadis itu tidak   Terpaksa aku harus menerima permintaan mereka.

"Baiklah. Aku akan ke perpustakaan dan meminjam buku pada kalian." Aku membuat keputusan pasrah.

"Yeah!" Mereka berempat bersorak gembira, aku tidak ingin membuat mereka sedih.

"Jangan lupa janji manismu yah!" Sonya melemparkan senyuman.

"Aku menunggumu di sini." Mereka bertiga mengharapkan aku untuk kembali pada mereka.

Aku meninggalkan mereka dengan rasa lelahku. Sepertinya, remaja sepertiku tidak ingin membuat mereka menangis.

[***]

Setelah meminjam beberapa buku, kedua tanganku memberikan satu buku setiap satu gadis. Mereka menerima buku itu senang hati sampai melupakan sesuatu yang penting.

"Terima kasih, Rivandy!" Secara bersamaan, mereka melemparkan ciuman yang romantis padaku.

Mereka langsung pergi meninggalkanku, tanpa memberi kesempatan padaku untuk berbicara.

"Tunggu! Jangan lupa kembalikan Senin nanti!"

Percuma. Mereka menghilang entah kemana. Diam dan tidak bersuara, mulutku tidak bisa menyampaikan sesuatu pada mereka.

"Sudahlah. Setidaknya, buku itu sudah kubaca sejak pertemuan pertama."

Aku mulai membuka buku kecil dan membacanya. Aku sudah menghafal lorong akademi, sehingga mengurangi resiko menabrak murid akademi. Jika aku menabrak gadis akademi, masalah datang menghampiriku.

Lonceng akademi berbunyi untuk mengikuti pelajaran terakhir sebelum libur akhir pekan.