Di sebuah taman akademi, tempat yang dipenuhi ketenangan dan keindahan. Pohon rindang dengan daun berguguran serta kupu-kupu berterbangan di atas bunga.
Aku mulai memperjelas penglihatanku. Tersandar oleh pohon akademi yang tumbuh sekitar 50 tahun. Seorang gadis berkuncir kembar mendekat dan menemaniku dengan rindangnya pohon.
"Aurora? Aku dimana?"
Aurora melepaskan ikatan yang membelenggu tubuhku, seraya memberikan senyuman padaku. Senyuman yang imut melelehkan suasana.
"Tidak apa-apa. Kamu sudah aman sekarang."
"Aku pikir aku akan dibawa entah kemana."
Kami saling bertatapan satu sama lain. Aurora sudah mengganti pakaian sebelum melepaskan ikatan tali. Aku sedikit baik-baik saja. Hanya saja, memikirkan hal yang buruk.
"Hei. Tidak apa-apa jika kita tidak mengikuti pelajaran dulu? Rasanya, aku melanggar aturan akademi."
"Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan dihukum. Asalkan aku tidak bolos pelajaran biologi."
"Apakah kau pernah bolos?"
Aurora menarik pandangan dariku. Aku juga melakukan hal yang sama meskipun tidak ingin menghindari kontrak mata.
"Tentu saja pernah. Terkadang, aku mengabaikan jadwal pelajaran untuk suatu hal. Misalnya, menghindari pelajaran yang dibenci sebagian orang atau semacamnya."
"Oh, begitu. Tidak masalah bolos pelajaran. Asalkan tidak mengganggu prestasi dan bersedia menerima konsekuensi. Bolos pun hanya boleh sekali."
"Sebenarnya, aku ingin bolos meskipun aku tidak bisa melakukannya." Aku mengakui semua pikiranku.
Aurora kembali menatapku, terkejut karena pengakuan yang tidak biasa. Memang, orang sepertiku tidak pantas untuk bolos pelajaran.
"Eh?! Kau tidak berbohong?"
"Tentu saja tidak. Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Lagipula, aku terlalu pintar oleh para guru. Bolos sedikit tidak apa-apa."
Bunyi tawaan seorang gadis terdengar samar. Aku tidak bisa menangkap pikiran gadis itu. Perhitungan yang rumit untuk mengerti tentang perasaan wanita.
"Alasan yang bagus. Rupanya kau ingin menghindar pelajaran. Kau juga akan kena hukum untuk mengerjakan tugas akademi satu kelas."
"Kau benar. Aku tidak bisa menghindari ini semua."
Aku menarik nafas, mulai mengerutkan pandangan. "Lagipula, kita tidak harus berada disini. Kita akan dimarahi."
Kami mengobrol sejenak. Melupakan kejadian yang kacau dengan konflik para gadis. Kami berdua tidak memiliki hubungan apapun selain teman sekelas.
Tak lama kemudian, seorang wanita berkacamata dengan rambut blonde hitam. Rotan digenggam kedua tangan dan seragam guru yang ketat.
Guru sejarah kelas I, Bu Rivera sudah di depan kami. Amarahnya takkan bisa ditahan. Kami terdiam karena ketahuan membolos pelajaran.
"Kalian berdua! Beraninya kalian bolos pelajaran! Seharusnya kalian sudah di kelas."
Aurora langsung turun tangan, berniat untuk menjelaskan seribu alasan. Percuma saja. Bu Rivera takkan pernah mendengar alasan.
"Maafkan aku! Aku ...."
"Aku tidak butuh alasan kalian lagi! Kalian berdua dihukum karena bolos pelajaran dan berduaan di taman pada waktu yang tidak tepat."
"Dan kau! Jangan pikir kalau kau jenius bisa bolos pelajaran. Kau akan menjalani hukuman yang berat."
Aku dimarahi. Aurora hanya menunduk kepalanya. Tatapan Bu Rivera semakin tajam dan menusuk hati. Tidak ada yang bisa selamat dari tatapan guru yang menyakitkan itu.
"Sekarang kalian ikut denganku. Kalian harus menjalani hukuman yang berat."
Dengan terpaksa, kami mengikuti Bu Rivera. Kedua tangan kami diikat oleh Bu Rivera dan dipaksa jalan meninggalkan taman.
Setelah meninggalkan taman, kami berjalan di lorong seperti seorang pesuruh. Begitu sampai di lorong kelas I Saintek A, Bu Rivera mengeluarkan sihir tulisan dan memaksa kami untuk menyesal.
"Sihir Tulisan : Penyesalan!"
Bu Rivera menuliskan aksara Kirivelya di depan kami untuk memberi tanda bahwa kami adalah murid yang dihukum. Lebih tepatnya, dia memberikan kutukan tulisan pada kami.
Aksara Kirivelya adalah aksara yang terdiri dari 48 huruf. Huruf ini ditemukan ketika Zaman Kegelapan Roshan yang berlangsung dari Tahun 100 sampai 523.
[Aku memang bodoh dan tidak tahu diri. Dihukum karena bolos pelajaran fisika. Maafkan aku!]
[Pangeran Matematika disini. Sok pintar yang setara dengan Magister ingin bolos pelajaran fisika]
Kutukan itu akan hilang ketika lonceng akademi berbunyi untuk meningkatkan kelas.
"..."
"..."
Tidak ada yang bisa dibicarakan. Memutuskan untuk diandalkan pilihan bagus. Kami justru menunggu agar kutukan kami hilang.
[***]
Pelajaran olahraga telah berakhir dengan lonceng akademi berdering. Mereka berbondong-bondong untuk meninggalkan kelas untuk melakukan aktivitas di luar jam akademi.
Aku dan Aurora sedang berdiri untuk menjalani hukuman karena bolos pelajaran. Kurasa, kutukan sihir itu sudah berakhir. Tiba-tiba ada seseorang yang menendang kakiku dengan keras, sehingga kakiku terangkat dan menjerit kesakitan.
"Ouch! Kakiku sakit!"
Tak lama rasa sakitku kembali muncul. Terlihat seorang siswi yang bertubuh anak kecil. Dia sepertinya berada dalam suasana yang tidak baik. Wajah yang memerah sebagai tanda ekspresinya saat ini.
"Hmph!" Seorang anak kecil menunjukkan rasa kesal setelah menendang kakiku.
"Apa yang kau lakukan?"
"Pangeran Bodoh! Kenapa kamu tidak kembali ke kelas, desu? Aurora juga, desu! Kau sengaja membawa Pangeran Fisika (Rivandy) ke tempat yang gelap dan sepi, desu."
"Maafkan aku! Aku tidak bermaksud membawa lari Rivandy ke tempat yang sepi."
Dengan menyesal, Aurora membungkukkan badan dengan penyesalan. Aku mengeluarkan wajah datar, masih belum paham dengan obrolan gadis seperti itu.
Beberapa detik kemudian, Evelyn mengeluarkan air mata dan membasahi lantai keramik. Karena sudah terlepas dari kutukan itu, aku bergegas mendekatinya.
"Kenapa kau menangis?"
"Gara-gara kamu tidak datang, aku harus maju ke depan papan tulis untuk mengerjakan soap fisika, desu. Aku sampai dimarahi Pak Boris karena payah fisika, desu."
Tangisan Evelyn semakin keras. Karena kesalahanku, Evelyn harus maju ke depan untuk menjawab soal fisika. Terpaksa, aku harus memenangkan anak kecil sepertinya.
"Baiklah. Jangan menangis! Aku akan melakukan apapun untukmu."
"Benarkah, desu?"
"Iya. Aku berjanji. Aku akan melakukan apapun agar kau berhenti menangis." Tangan kananku menawarkan perjanjian.
"Janji yah!" Mata Evelyn bersinar, diberi harapan penuh dari seorang Pangeran Matematika sepertiku.
"Iya."
"Hahaha. Rivandy bisa menenangkan anak kecil." Aurora tertawa kecil, mengejek Evelyn yang ditenangkan dengan janji manis.
"Aku bukan anak kecil, desu!"
"Oh iya. Akishima dan Sheeran mana?" Aku mulai melontarkan pertanyaan mengenai kedua gadis yang lain.
"Mereka dihukum untuk menjadi Maid Classic, desu. Semua gadis yang terlibat akan membersihkan akademi, desu."
"Aku disuruh kembali ke kelas karena dikira anak kecil, desu."
Kekesalan Evelyn masih ada. Karena dia anak kecil, dia harus kembali ke kelas. Tidak boleh dihukum membersihkan kelas dengan menggunakan seragam Maid Classic.
"Baiklah. Kita pulang."
"Aku akan menjaga tasmu. Kali ini, aku tidak akan tersangkut."
Kami pulang dengan akrab. Aurora menyimpan tas kami di dalam bajunya. Tidak keberatan melakukan semacam itu. Asalkan, tasku aman dan tidak diincar oleh para gadis.
[***]
Sesampainya di Toko Permen, kami masuk ke dalam dan mencari permen yang bisa dibeli. Evelyn sudah menemukan permen yang dicari. Begitu juga dengan Aurora.
Ini sudah sesuai permintaannya. Aku merasa lega karena menepati janji Evelyn. Kalau melanggarnya, akan terasa merepotkan.
"Rivandy. Rivandy."
"Lihatlah! Aku ingin permen yang panjang ini, desu." Evelyn memperlihatlan permen tongkat padaku.
"Aku membeli lolipop blueberry. Bagaimana denganmu?" Aurora mengambil lolipop rasa blueberry yang di dalam rak lolipop.
"Aku ....."
"Bagaimana dengan permen yang ini, desu? Permen ini bisa membuatmu lebih tinggi lagi desu." Evelyn menunjukkan permen susu padaku.
"Eto ... Boleh. Silahkan saja." Wajahku memerah, memalingkan pandangan dari kedua gadis karena terpaksa.
"Aku akan bayar." Aku berjalan menuju kasir sambil membaca buku kecil.
Setelah membayar 17 Aegis dengan uangku, kami meninggalkan toko permen dan berjalan pulang di terik matahari.
Di tengah perjalanan pulang, Aurora mulai berbicara denganku. Aku masih berfokus membaca halaman buku kecil sambil memakan permen susu perlahan.
"Bagaimana rasanya? Apakah kamu sudah bertambah tinggi?"
"Belum. Aku belum merasakan apapun."
"Lain kali, kita melakukan seperti lagi yah?"
"Boleh saja. Aku terima tawaranmu."
"Bercanda. Sebenarnya, aku ingin mengajakmu bolos."
"Tidak boleh!"
Aku ditipu. Ternyata dia mengajakku bolos lagi. Rasanya menyebalkan."