Melihat Dhika yang keluar dari kamar dengan wajah lempeng, Patrick mengamati dengan serius, kok nggak ada lelah-lelahnya ni anak, terus kok cepet?
"Ma." Sarah tersenyum melihat menantunya, dia tau anak ini tidak mungkin melakukan hal yang dia pikirkan. Cia masih terlalu anak-anak untuk melakukan hal itu, dan menantunya tidak akan egois.
"Gimana Cia?" Tanyanya khawatir. Dia menyesal telah membentak putrinya. Selalu begini, kalau udah emosi pasti kelepasan, anak itu juga sering banget buat orang naik darah, tapi dia cinta mati dengan sang putri.
"Syilla pulang kerumah saya." Sarah langsung mengangguk, menunduk lesu. Menarik napas pelan dia bangkit dan masuk kedalam kamar. Dia melihat putrinya yang sedang bersiap untuk keluar.
Cia ngambek besar dengan sang ibu, dia melengos mau keluar. Dia tau ini kurang ajar, sebenarnya kasian liat muka mamanya yang melas dan nyesal gitu. Gimana pun ya Cia nggak bisa marah. Nggak akan tenang dia ninggalin mamanya kayak gini.
"Cia nggak apa-apa ma, ngerti kalau mama emosi." Sarah langsung memeluk putrinya dan mengelus sayang rambut gadis kecilnya.
"Dengar, sesulit apa masalahmu jangan pernah pergi dari rumah, itu nggak baik. Nama baik mama dan papa menjadi taruhannya sayang, nanti di pikir mereka, kami tidak mendidikmu dengan baik."
Cia tersenyum kecut, baru tau jadi anak itu banyak banget nanggung beban dan keinginan orangtua, dia pikir orangtuanya berbeda dari kebanyakan orang, tapi nyatanya sama.
"Cia ngerti." Sarah yang paham jika anaknya terluka hanya bisa menarik napas pelan. Suatu saat anak ini akan mengerti, pikirnya.
"Sekarang ikut mama pulang ya? Nanti mama izin ke Dhika." Cia ngangguk, sekarang ini dia emang lagi nggak niat pulang ke penthouse itu.
Keluar dari kamar, keduanya melihat Dhika yang sedang berbincang ringan dengan seorang pria yang Cia tau dia adalah dokter, "nak, mama bawa Cia dulu ya? Setelah makan malam, papa akan antar Cia."
Dhika menatap istrinya yang enggan menatapnya, sudah di pastikan dalam hati gadis itu terus mengumpatnya, "saya jemput." Sarah mengangguk.
"Mama tunggu makan malam." Dhika mengangguk sopan, ia masih melihat Cia yang kini sibuk dengan ponsel.
"Saya nggak dapat undangan ni tan?" Sindir Patrick.
"Saya nggak adain acara, buat apa ngundang kamu? Habis nasi saya." Ketus Sarah. Kok bisa anak sengklek kayak ginu jadi dokter, pikirnya. Patrick ngedumel, tante ini nggak woles, pikirnya jengkel.
Cia sibuk membalas pesan teman-temannya di group yang beranggotakan dua belas orang. 3, Cia dan sahabat, sisanya mantan gebetan ter-uwow. Mereka cowok keren yang nggak baperan, bisa temenan meski sudah jadi mantan gebetan.
Tanpa pamit Cia langsung keluar dari ruangan itu. Liat Dhika bawaannya mau ngamuk aja, semua perintilan Cia di urusin, lenggang banget kayaknya tu hidup. Bukan urusin pacarnya aja, pikir Cia.
"Nyonya gila benar ya tingkahnya. Lawan lo emang." Selama bertahun-tahun temenan sama Dhika, baru kali ini dia liat ada orang yang mengabaikan seorang Mahardhika dan dia seorang perempuan.
"Dia belum tau aku siapa." Dhika harus menjaga harga dirinya, dia tidak mau sahabatnya tau jika selama ini gadis itu sudah berapa kali membuatnya mengalah. Ingat, mengalah.
"Kenapa nggak lo tunjukkin? Bukan gaya lo sabar begini." Patrick mengejeknya.
Tanpa perduli ucapan temannya, dia mengambil ponsel lalu mentransfer sejumlah uang kerekening Patrick.
Ting
Seketika notifikasi ponsel Patrick masuk, melihat itu senyum Patrick merekah kayak mawar baru mekar, tapi gitu liat nominalnya dia cemberut.
"Kurang nol-nya ni." Protesnya.
"Menurutku kelebihan." Dhika menyipit padanya.
"LO KIRIM 300 RIBU, DHIK!" Teriak Patrick.
"Mau berapa? Mertuaku bilang kalau cuma periksa gitu aja dia bisa, itu artinya kau tidak melakukan apapun."
"Protes! Kerjasama batal." Patrick langsung mengatup mulutnya, langsung terkekeh sambil ngerayu, "becanda kok tadi, jangan masukkin hati napa." Matanya berkedi-kedip.
"Go." Dhika kembali duduk meja kerjanya. Menyelsaikan semua pekerjaan, meski pikirannya saat ini terfokus pada satu wanita, Arsyilla
***
Sepanjang perjalanan pulang Cia diam aja, dia membayangkan hidupnya setelah menikah, selain kebebasannya yang terenggut sebenarnya semua normal. Sebelum ciuman pertamanya yang hilang begitu aja, mau nangis tap capek, nggak nangis ya nyesek. Dia semakin benci pada Dhika.
Pria itu enak aja maen nyosor, nggak bisa sedikit pun menghargainya, kayak gini nggak boleh waspada? Hari ini ciumannya yang hilang, besok apa lagi? Pelukkan? Atau lebih dari itu?
Ini nggak bisa di biarin, dia akan bicara sama mama, papanya. Cia harus berjuang untuk emansipasinya. Jika terus bertahan dengan pria sombong dan angkuh itu, dia akan berakhir menyedihkan dan merana.
Setelah sampai rumah, hal pertama yang di lakukannya adalah tidur, hari ini sangat melelahkan. Dia akan memikirkan nasibnya jadi selebtok. Sebenarnya tanpa itu juga Cia udah famous, mulai dari seringnya menangin olimpiade sampek juara umum berturut-turut, semua orang mengenalnya dengan nilai positif yang tinggi.
Tapi namanya remaja mengikuti trend itu wajar kok. Lagipula dia tipe orang yang bosanan, paling lama maruknya satu bulan habis itu dia males buat video. Dasarnya aja Dhika bukan orang yang sabar, dia membuat peraturan egois tanpa perduli hati gadis itu terluka.
Cia cukup lelap tertidur, sampai tidak menyadari jika seseorang sudah bergabung dengannya, memeluknya dengan erat. Sepulangnya gadis ini, dia tidak tenang. Ada ketakutan gadis ini tidak kembali kepenthousenya. Maka dari itu setelah Patrick pergi dia pun meninggalkan sekolah.
Ini pertama kalinya dia masuk kedalam kamar istri kecilnya, sangat menggambarkan istrinya, cerah dan ceria. Kamarnya tidak girly tapi juga tidak minimalis seperti kamar pria, semua letaknya pas dan manis.
Dhika menarik napas pelan mengingat apa yang baru ibu mertuanya bilang, jika Cia nangis bukan karena dirinya, melainkan karena ibu mertuanya tidak sengaja membentak. Baru dia tau istrinya tidak bisa di bentak tapi sangat suka membentak, bukankah gadis ini juga egois?
Pikirannya melayang saat Cia pingsang di tangga, di sana tanpa sadar dia membentak Cia, dan gadis itu juga menangis, yang di villa waktu itu juga. Kepalanya pusing mengingat itu.
Bisakah dia menahan diri untuk tidak terpancing emosi? Sepertinya tidak, dia dan istrinya sama-sama batu.
Tidak ingin istrinya menjerit histeris. Setelah puas memeluk, dia bangkit dan tiduran di sofa. Kamar ini terasa sangat nyaman karen setiap sudut aroma Cia menguar.
Perlahan matanya tertutup, hari ini dia tidur dengan tenang tanpa beban apapun. Biasanya dia tertidur dengan cara membuat dirinya lelah.
***
Di sekolah heboh karena adegan kepsek gendong siswi tercantik di sekolah, kalau yang cowok merasa terkalahkan, yang cewek patah hati berjamaah, tidak terkecuali Viona yang beberapa hari terus menangis darah akibat di tolak pria itu.
Pria itu dengan tegas menolaknya dengan menujukkan cincin pernikahan, apa dia nggak ingat status pas bopong tubuh muridnya sendiri? Ada rasa iri dalam dirinya, selama ini dia tau jika gadis itu sangat populer, tapi tidak di sangka bahkan mampu juga menarik perhatian pria sedingin Dhika.
"Saya salut pak Dhika bertanggung jawab atas anak didiknya." Buk Atik buka suara
"Oh, iya tadi ibu kan di ruangan pak Dhika, apa yang terjadi?" Serobot seorang guru wanita bertubuh bongsor.
"Tidak ada, beliau membaringkan Cia di ranjangnya, terus menghubungi seseorang yang saya tau dia dokter, datang bersamaan dengan ibunya Cia."
"Yang pakek daster itu ibunya?" Mereka pikir pembantu, jujur mereka nggak bisa liat secara dekat, sebab harus menggiring anak-anak masuk kelas.
"Sifatnya seperti Cia, meski pun kaya ya sederhana, tidak pernah pamer. Nggak kayak ibu-ibu lain." Biasa terjadi seperti itu di sekolah mana pun.
"Saya heran, kok pak Dhika buat peraturan ketat begitu? Saya setuju, tapi kan bisa ada point-pointnya, mana yang boleh dan tidak. Jangan pukul rata, sekarang ini media sosal menjadi salah satu alat untuk mempromosikan sekolah."
"Lebih misteri lebih buat penasaran buk." Pak Ramlan memotong, dia tau niat Dhika hanya ingin sekolah ini tetap terhormat dan berkelas.