Cia ngerasa buat perjanjian dengan papanya itu lebih manusiawi and real gitu lo, bukan kayak buat perjanjian sama setan, yang ujung-ujungnya merugikan, sebab di ingkar, udah tau la ya siapa yang Cia maksud. Lagian Cia juga ekspektasinya kelewat tinggi, emang nya sejak kapan setan tepat janji? Setan insyaf kali ah ...
Ayah dan anak itu keluar sambil cekikikkan menuju ruang keluarga, lain hal sama seonggok manusia yang duduk kaku kayak patung dewa. Matanya lurus kedepan natap pintu tempat Cia keluar barusan, seolah dengan tatapan mata tajamnya pintu itu bisa terbuka dengan sendirinya.
Cia dan Bagus keheranan, melirik Sarah untuk minta penjelasan tapi wanita itu hanya menggendikkan bahunya acuh, lalu kembali melihat majalah fashion. Bagus mendesah pelan, bentar lagi masuk tagihan barang yang ada dalam majalah itu, pikirnya.
Sebanyak apa tertumpuk majalah, sebanyak itulah barang yang di beli istrinya, bukan nggak ngeluh atau nggak sayang, cuma kan mubazir kalau di beli tapi jarang di pakek. Toh istrinya udah nyaman sama daster lusuh. Tapi yang namanya wanita mana bisa di pisahkan sama yang namanya belanjaan, untuk dia kerja bagai kuda, cukuplah menafkahi istri dan putri tercinta.
Belum lagi pantat Cia duduk di sofa, mbok Sumi si ART terzeyeng dirumah, lari tegopoh-gopoh karena kain wironnya sempit. Jadi mbok Sum (panggilan bekennya) ini jawa banget lah stylenya, di dandani daster aja nggak mau, dia suka pakek kebaya sama wiron, terus rambut di sanggul, biar kata udah tua, tapi masih hobi ghibah sama mamanya Cia.
Tapi jangan sepele sama si mbok, dirumah ini dia punya kedudukan tinggi sebagai kepala pelayan, semua pembantu bertekuk lutut di hadapannya kecuali para majikan, kadang Cia pun takut juga sama suara melengking nenek satu ini.
"Ndoro, ada temennya neng Cia di luar. Mereka mau jenguk si neng." Tanpa aba-aba Cia langsung narik tangan Dhika, dia bawa lari tu orang naik ke lantai atas, Dhika yang di perlakukan seperti itu keheran dan terkejut, anak ini langkahnya secepat kilat kalok udah panik, padahal mbok Sum belum selesai bicara.
Bagus dan Sarah serta si mbok cengok liat Cia begitu, untung nggak salah tarik orang, andai aja si Dhika punya riwayat jantung, udah di pastikan colab tu orang.
Cia membanting pintunya keras lalu menguncinya cepat, jalan mondar-mandir mikirin cara sembunyiin suami tuanya ini. Padahal kalau dia tenang aja kan si Dhika bisa masuk keruang kerja papanya atau kamar tamu yang pasti lebih aman.
Ini kamarnya pulak yang sering jadi basecam kedua sahabatnya, kan cari mati namanya. Dhika berdiri dengan menyandarkan bahunya di pintu, kaki di silang, tangan di lipat kedada, jantungnya masih bedegup kencang bukan karena deg-deg an, tapi akibat lari dan menaiki anak tangga dengan buru-buru.
"Gimana ni? Pakek dateng lagi, kebiasaan kali apa-apa di bawak heboh." Omelnya sambil periksa hp. Waktu turun tadi, ponsel sengaja di tinggalnya, akibat itu semua pesan temannya nggak kebaca.
Dhika mengamati wajah panik istrinya yang bercampur kesal, ternyata anak ini jika sesuatu terjadi tidak sesuai kehendaknya, emosi adalah penyelesaian, nggak perduli dengan niat orang tersebut.
Cia ... oh ... Cia, itulah istri si Mahardhika.
Cia sibuk ngetik di hp, ada aja lah alasannya, di bilangnya dia ngantok lah, capek lah, nggak mood lah. Tapi semua alasannya bisa di tepis oleh Aneth dengan santai. Anak itu maksa pakek banget lagi.
Cia menoleh menatap garang Dhika, mukanya nggak selo. Dhika udah itung dalam hati sebentar lagi dia lah yang di salahkan atas kehadiran sahabat-sahabat gadis itu
.
"Gara-gara bapak ni, coba nggak usah jemput saya, kan saya nggak panik gini. Duh, kayak mana kalok orang itu liat bapak, mati saya." Liat muka heran Dhika, rasanya pengen di gerauk aja. Mumpung kuku lagi runcing-runcingnya.
"Temanmu yang datang, kenapa saya yang salah?" Dhika udah nebak, pasti dia yang di salahin, tapi sorry aja manusia batu kayak dia mana mau di salahin seenaknya gitu.
"Ya, kalok bapak nggak di sini kan, saya nggak panik." Ketus Cia.
"Kenapa harus panik?" Cia melotot. Mau rasanya di lempar pakek hp.
"Oh, biarin orang itu menertawakan kesiti nurbayaan saya?" Alis Dhika mengerut, istilah apalagi itu. Istrinya yang kelewat gaul apa dia yang kelewat kuper? Terlalu banyak apa hidup yang dia lewatkan? Perasaan umur nggak tua-tua amat.
"Perjodohan pak. Siti Nurbaya kan di jodohin sama Datok maringgi, gadis cantik jelita si gadis desa yang di NIKAHIN dengan KAKEK TUA." Sindirnya, seolah dia ingin mengatakan dengan Dhika jika nasibnya pun sekarang kayak gitu.
"Malang." Sahut Dhika satu kata. Ia membayangkan penderitaan si gadis desa itu.
"Iya kayak saya malangnya." Cia menegaskan. Dhika mengerutkan alis tanda nggak setuju, tapi mukanya tenang gitu buat Cia naik darah.
"Apa?! Bapak nggak terima?" Dhika makin memperdalam kerutan alisnya. Kalok cewe lain yang liat, masih ganteng aja ni si Dhika yang kayak gini.
"Saya diam, tidak bilang apapun."
"Tapi muka bapak tu, nyolot." Geram Cia, dengan gigi rapat, dan tangan siap mencakar. Siap berubah jadi siluman singa betina kayak biasa.
"Saya kasian sama gadis itu, tapi nasib kamu tidak semalang dia. Dia cantik, kamu tidak. Yang di nikahinya kakek-kakek, sementara saya belum tiga puluh. Ingat itu." Matanya memicing sempurna mengingatkan. Mulut Cia komat-kamit tanda nggak setuju. Pokoknya dia Siti Nurbaya masa kini. Titik, nggak pakek koma.
Ponsel berdering menampilkan foto Aneth yang tersenyum cantik, tapi berubah horor malam ini, boleh nggak nyerah?
Tidak mau berdebat dengan Dhika, dia mengatur napas, pasang muka melas. Dhika heran, sedang apa istrinya seperti itu, namun di detik selanjutnya saat Cia angkat telpon barulah tau itu bagian dari akting.
"Hallloo---" Cia buat suara selemah mungkin. Dhika menahan tawa melihat wajah Cia yang lebih terlihat seperti nahan buang air daripada menahan sakit.
"Cia! Lo lemas banget kayaknya, gue sama anak-anak kekamar lo ya? Ini kita udah ketemu om sama tante, lagi ngbrol di ruang tamu."
"Anak-anak?" Cicit Cia yang masih mempertahankan suara lemasnya.
"Iya, Alex cs." Bukan Cia aja yang melotot. Dhika langsung berdiri tegak, jarak yang dekat membuatnya bisa mendengar pembicaraan itu. Aura membunuhnya menguar di ruangan, Cia mana sadar itu. Berani sekali anak-anak ingusan itu datang kerumah istrinya.
Buat apa? Jenguk? Memangnya kalau mereka jenguk, istrinya bisa langsung sembuh? Mau masuk kamar katanya? Belum melangkah, akan dia penggal satu-satu anak ABG itu.
"Oh, jangan. Gue aja yang turun. Tunggu, jangan naik." Belum sempat Aneth jawab, telpon udah terputus.
Kebiasaan Cia emang kayak gini. Suka ghosting chat dan panggilan, seenak jidatnya aja. Nggak perduli orang masih ingin ngobrol apa nggak, tanpa salam langsung tutup.
"Jangan keluar." Cia sangat imut jika berpakaian rumag. Dhika tidak ingin ada yang melihat istrinya yang begini. Bukan dia takut saingan, tapi hak dia dong. Kan istrinya.
"Minggir pak, kalok saya nggak turun, mereka yang naik dan liat kita di kamar. Bapak mau?" Ancam Cia dengan garang, lehernya pegel karena ngomong sama Dhika harus dongak kepala, pria tua ini kan menjulang tinggi.
"Bukan hal yang buruk," jawabnya santai.
Cia menarik napas pelan, lalu di buang cepat. Sekarang bukan waktunya ribut dan berdebat, karena itu bisa memancing sahabat-sahabatnya untuk naik. Lagian mama sama papa ngapaen sih, kok nggak bantuin dia?
"Pak Mahar yang terhormat, kita pouse dulu ributnya ya? Saya janji, nanti saya jabanin. Kita kan udah janji sampai kita cerai, pernikahan ini tetap menjadi rahasia." Suara Cia di buat selembut mungkin, Dhika bukan terpana malah mual dengarnya.
Melihat Dhika yang mematung dengan cepat Cia melangkah, saat ingin melewati Dhika, tangannya di tahan pria itu. Cia terkesiap, dia tidak suka sentuhan yang tidak perlu. Dia mengabaikan kata 'cerai' yang sengaja di tekan istrinya.
"Jangan lama, saya lelah. Mau pulang." Setelah itu Dhika melepas tangan Cia. Dia berjalan kearah kasur gadis itu dan berbaring memunggungi Cia yang menatapnya heran dan kesal.
"Kalok mau pulang ya pulang aja, dan kenapa tidur di kasur saya?" Tanpa menunggu jawaban pria yang berubah aneh itu, dia langsung turun. Tidak lupa mengunci pintu, bisa gawat kalok Aneth tiba-tiba nerobos masuk atau Dhika yang keluar seenak jidat.