Udah di bilangkan manusia paling labil sejagat raya ini ya cuma Arsyilla Ayunda nggak ada yang lain, liat sekarang moodnya udah balik gara-gara ketemu pak Ramlan guru favoritenya, ia juga senang karena bukan Dhika yang jadi pembimbing selama latihan buat olimpiade.
"Jadi Bapak yang bilang ke pak Mahar untuk nggak terlibat? Wis... keren badai Bapak ini." Cia mengacungkan dua jempolnya kearah guru yang udah renta itu.
"Iya, tapi karena itu banyak siswi yang mengundurkan diri." Pak Ramlan terkekeh pelan.
"Ya udah la Pak nggak usah di pikirin, mending sekarang kita bahas soal."
"Kita tunggu Fandi." Mendengar nama itu membuatnya mual.
Fandi masuk kedalam pustaka, setelah menyalim pak Ramlan dia duduk di sebelah Cia, tersenyum lembut namun gadis itu tidak melihatnya sama sekali. Dia hanya bisa tersenyum kecut.
Guru pembimbing memberi materi dan tugas untuk di selesaikan. Dua orang siswa ini dengan mudah mengerjakannya. Dalam pustaka bukan cuma mereka aja, ada beberapa anak yang juga sedang di bimbing menurut bidang studinya, suasana hening karena mereka fokus sama bahan yang di berikan.
Cia sama sekali tidak perduli sekitar, ia dengan tekun mengerjakan soal yang bisa ia selesaikan dengan hanya menutup mata, bukan ia sombong tapi memang segitu encernya lah otak dia.
"Kamu udah baikkan?" Suara rendah cowok yang dia tau milik siapa bertanya. Tanpa niat menjawab Cia mengambil buku paket dan menutup bagian kertas miliknya dengan wajah yang ia tenggelamkan disana.
Suasana perpustakaan semakin dingin saat kepala sekolah masuk untuk melihat proses bimbingan. Itu modus niat awal ya liat istri lah. Tapi nggak mau ngaku.
Dia masih kesal pekara omelet semalam rasanya ingin bertemu Alex dan menghukum bocah itu, berani sekali memakan masakkan istrinya yang di peruntukkan untuknya.
Sebagian sisiwi mencuri pandang kearah malaikat tak bersayap, termasuk Viona yang mengawasi anak bahasa inggris, dia masih belum nyadar diri juga dengan status pria itu. Masih mau berjuang, kan nggak tau diri.
***
"Ada gosip." Seorang siswi masuk kekelas Cia dengan lari tergopoh-gopoh membuat lingkaran bersama teman satu rumpinya.
"Gosip apa?" Maya pura-pura nggak perduli tapi kupingnya standby, sudah pasti jika gosip di sekolah ini tentang guru incarannya.
"Pak Dhika udah merit." Gerakkan Maya terhenti, dia menghadap teman sekelasnya dan menatap mereka tajam.
"Kalau gosip kira-kira jangan nyebarin fitnah." Hardiknya, membuat beberapa orang takut. Aneth yang sedari tadi ngapalin kalimat buat minta maaf ke Cia langsung berpaling karena suara keras Maya. Lampir satu ini emang nggak bisa selo.
"Ini bukan fitnah, tapi fakta. Buk Vio sendiri yang bilang, dan pak Dhika juga pakai cincin kawin." Hati Maya gelisah, dia tidak ingin percaya.
"Buk Vio tau darimana?" Tantangnya.
"Lo bego? Nggak dengar tadi dia bilang pak Dhika pakek cincin kawin? Itu bukti." Sela Aneth, dia cuma ngefans sama tu guru jadi dengar kabar do'i udah nikah cuma patah hati biasa aja, bukan yang kayak gimana-gimana.
"Pakek cincin belum tentu udah nikahkan?"
"Halu lo ketinggian sih, makanya gitu liat kenyataan nggak bisa nerima, kita liat aja ntar itu cincin kawin apa bukan." Tantang Aneth.
"Ok, siapa takut. Gue bakal tanya langsung di depan kalian, kalau nyatanya pak Dhika masih single gimana?" Tantangnya.
"Gue bayarin hidup lo satu bulan, bebas." Tawar Aneth, perasaannya sedang buruk. Harus ada pelampiasan.
"Ok, gitu juga gue. Satu kelas jadi saksi siapa yang nolak kekalahan, sial seumur hidup."
"Deal." Riuh tepuk tangan menghiasi kelas, mereka akan melihat pertaruhan sengit, setelah jam istirahat nanti guru itu akan masuk dan menjawab semua teka-teki seru ini.
"Tapi gue liat kemaren pak Dhika gendong Cia mesra beut, kalau pak Dhika jomblo cocok sama Cia ya?" Seorang siswi yang kemaren liat aksi Dhika terkagum-kagum dia karena polos bagi yang lain buat emosi.
"Nggak ada cocok-cocoknya pak Dhika sama cewek bar-bar sok cantik itu."
"Jadi cocoknya sama siapa? Lo?" Timpal Aneth.
"Jelaslah." Maya mengibaskan rambutnya angkuh. Emang rambut dia halus banget, akibat perawatan rutin.
"Pak Dhika belum picek untuk bisa nilai cewek bar-bar secantik Cia atau cewe munalampir kayak lo." Ejek Aneth. Cecillia membiarkan saja sahabatnya yang satu ini melampiaskan kekesalannya, daripada sedih mikirin kemarahan Cia padahal yang di pikirin udah balik kayak semula.
**
Cia tau kehadiran Dhika, tapi dia nggak perduli, sibuk dia sama tugas yang di beri pak Ramlan. Dhika berjalan kearahnya dan berhenti tepat di sebelah Fandi, dia tidak suka istrinya sebangku dengan cowok.
"Kamu, pindah kebelakang." Fandi tersentak kaget, ia melihat sekeliling temannya yang lain tidak ada yang di pisah duduknya. Mereka malah membentuk lingkaran karena calon peserta lebih dari dua.
"Pindah, mulai besok dan seterusnya duduk barisan ketiga." Suara dingin Dhika langsung buat Fandi bangkit dan pindah ketempat yang di perintahkan Dhika. Itu artinya jaraknya dan Cia jauh.
Untuk pertama kali dalam sejarah hidup Cia mengenal Dhika dia menggumamkan ucapan terima kasih walau dalam hati.
Dhika tidak salah lihat ketika Cia mengangkat sedikit kepalanya mengintip dari celah buku lalu mengerlingkan matanya sambil tersenyum padanya.
Ada gelenyar aneh yang hangat merambat naik dalam hatinya, ia ikut menyunggingkan senyum namun hanya sedikit tidak akan ada yang menyadari hal itu.
Perasaannya lega, setelah itu ia pergi meninggalkan perpustakaan dengan suasana hati yang baik.
Fandi yang sudah pindah mendesah pelan, dia tidak tau apa alasan kepala sekolah memindahkan bangkunya kebelakang, padahal dia senang sebangku dengan gadis itu, banyak hal yang ingin ia ungkapkan tapi sekarang kesempatannya sudah tidak ada lagi.
***
"Pak, saya mau tanya." Aneth nyerobot Maya, dia luan angkat tangan setelah salam di berikan.
"Silahkan." Dia menatap lurus Aneth lalu matanya menangkap kotak bekal yang ia kenali.
"Simpan kotak bekalmu, sangat mengganggu."
"Oh, ini punya Cia, Pak. Kemarim dia buatin kita omelet." Aneth tidak tau apa yang di ucapkannya membuat hatinya berbunga-bunga.
'Berani sekali membohongiku gadis kecil'
Aneth langsung menyimpan kotak bekal itu, niatnya tadi mau masukkin ketas Cia tapi kok lupa, akhirnya tergeletak di atas meja sampek Dhika masuk.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Ada gosip, katanya Bapak udah merit ya?" Tanya Aneth takut-takut.
"Siapa yang berani menyebar gosip?" Suasana hening, siswi yang menyebar gosip itu merapal do'a dalam hati supaya Aneth nggak nyebut namanya, dia belum mau mati muda. Dia bukan Cia yang mampu ngelawan guru killer satu ini.
"Sudah saya katakan Pak, jangan sebar fitnah." Maya menunjuk si pelaku pembawa gosip. Udah mau nangis aja gadis itu. Padahal nikmatin gosipnya sama-sama.
"Gosip itu fakta. Kali ini saya biarakan. Jangan ada lain kali." Gadis itu mengangguk takut.
"Yes!!" Tanpa sadar Aneth lompat kegirangan, dia menang. Nggak perduli tatapan tajam Dhika bisa mengulitinya.
Dhika tidak perduli apa yang sedang terjadi, dia kembali mengambil fokus para muridnya. Maya pucat pasi seolah jiwanya meninggalkan raga, dia juga melihat cincin yang melingkar di jari manis pria itu.