Selama perjalanan pulang nggak ada yang ngomong, mobil sepi kayak kuburan. Cia sibuk sama pikirannya sendiri. Dhika fokus menatap jalan karena ia sedang menyetir.
Cia masih mikir apa yang telah terjadi hari ini, mulai dari peraturan yang Dhika buat, dia pingsan di sekolah, bibirnya di serobot Dhika dan perjanjiannya dengan sang ayah, semua berputar di otaknya.
Cia udah nggak mau menyesali terenggutnya ciuman pertama. Di sesalin dan di debatin pun nggak ada guna juga, yang ada dia kembali ribut dengan pria di sampingnya ini.
Satu hal yang dia yakini. Pernikahan ini salah, dari segala sisi nggak ada yang benar, baik dia atau pun Dhika menjalani ini dengan terpaksa, mereka nggak ada yang mau ngalah itu karena nggak ada rasa di antara mereka. Dan sebenarnya mereka korban dari keegoisan orang tua.
Melihat istrinya sedari tadi diam dan betah menatap jalan, hati Dhika terusik. Dia merasa jika Cia menjaga jarak darinya, ya walaupun selama ini mereka tidak dekat tapi gadis ini akan selalu mencari masalah dengannya untuk memprotes segala yang di lakukannya, dan itu lebih baik menurutnya. Dia lebih mudah membaca Cia yang aktif.
"Masih pusing?" Cia tau itu pertanyaan untuknya, tanpa menoleh ia menggeleng.
"Apa yang kamu bicarakan dengan papa?" Dhika ingin tau, sedari tadi itu saja yang dia pikirkan. Tidak mungkin dia bertanya dengan papa mertuanya, dengan Cia sebenarnya percuma juga namun masih ada kemungkinan.
Dhika sadar setelah menikah dengan Cia kepribadiannya berubah sedikit demi sedikit. Dia yang tidak suka mencampuri urusan orang lain sekarang menjadi penasaran dengan apapun yang di lakukan Cia. Bahkan dia selalu melihat pembaruan status istrinya itu, dia sendiri tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan terhadap Cia, sebab cinta tidak ia rasakan.
"Curhat biasa anak gadis sama ayahnya," jawab Cia pelan. Dhika terkejut gadis ini menjawab tanpa emosi dan mengatainya lebih dulu.
Mungkin Cia lelah, dia kembali fokus pada Jalan dan tidak ada pembicaraan sampai mereka tiba di penthouse. Dari mulai masuk lobi sampai lift tidak ada yang bicara satu pun.
Begitu pintu penthouse terbuka Cia langsung menuju kamarnya namun suara Dhika menghentikan langkahnya, "kita harus bicara tentang hari ini."
Tanpa menoleh Cia menjawab, "lupain aja pak, saya udah nggak minat bahas apapun, terutama apa yang terjadi hari ini." Dia kembali melangkah menuju kamarnya. Dhika menatap punggung gadis mungil itu dalam diam, tatapannya sangat rumit.
Sebelum pergi mandi, Cia mengambil kertas dan pulpen dia menuliskan kalimat dengan huruf kapital yang jelas.
'DI LARANG MENGGANGGU DALAM BENTUK APAPUN, JIKA MERASA DIRI MANUSIA JANGAN DI LANGGAR, KALAU MAKSA JUGA ITU ARTINYA ANDA ANJING GILA'
Setelah itu dia mengambil selotip dan menempelkannya di pintu. Dengan begini pria itu mikir seribu kali ngerecokkin dia.
Disaat Dhika mikirnya Cia sedih, gadis itu dikamar mandi nonton film komedi sehabis mandi, dia terbahak sampek nangis, sebenarnya itu pengalihan karena masih sakit gitu hatinya sebab ciuman pertamanya di ambil Dhika.
Kenapa milih kamar mandi? Jawabannya simple, biar suara ketawanya nggak keluar.
Meskipum dalam agama sah, tapi dalam hidupnya itu haram. Seharusnya minta izin dulu atau paling nggak ya tanya gitu jangan main sosor aja kayak bebek angsa.
Memikirkan itu, Cia jadi ngebayangin si Dhika gimana kalau sama pacarnya, pasti ganas ya? Wong sama dia aja main gercep gitu walaupun cuma sekedar ciuman.
Cia memegang bibirnya, ia merasa risih karena untuk pertama kalinya ada bibir lain yang nyentuh bibirnya. Kata Aneth ciuman itu enak, persis kayak kita kesemsem liat drama romantis gitu. Tapi Cia ngerasa ciumannya tadi siang nggak ada romantis-romantisnya.
Setelah mandi Dhika membaringkan tubuhnya di kasur, ia kembali teringat saat istrinya jatuh pingsan, ketika sadar mereka bertengkar dan akhirnya dia mencium bibir manis yang lembut dan hangat itu.
Dia pria dewasa yang tidak asing dengan ciuman seperti itu, tapi bibir Cia berbeda. Ada rasa yang tak biasa ketika menciumnya yang membuatnya terlalu candu dengan bibir yang selalu saja mengumpatnya.
***
Keesokan paginya Dhika bergegas membuat sarapan karena hari ini gilirannya. Namun ketika melihat kertas peraturan yang di tempel di pintu kulkas alisnya mengernyit. Peraturan tugas membuat sarapan di coret, sudah pasti istrinya yang melakukan itu.
Dia tidak perduli, nanti akan di tanyakan, sekarang dia buat sarapan seperti biasa. Setengah jam kemudian Cia turun lengkap dengan seragamnya, sarapan yang tersaji di atas meja dengan segelas susu tidak di sentuhnya, gadis itu mengambil dua helai roti dan mengoles selai lalu memakannya tanpa menghiraukan tatapan bingung pria yang duduk dengan tenang di meja makan, Cia juga mengambil susu sendiri.
"Kamu tidak suka dengan sarapannya?" Tanya Dhika berusaha tenang. Percayalah Cia yang pendiam begini membuatnya gugup, dia tidak bisa menebak langkah gadis satu ini.
"Tidak." Satu kata itu membuat Dhika semakin bingung.
"Bagaimana dengan susunya?" Cia mengernyitkan alis. Pria ini terlalu banyak bertanya, pikirnya tak suka.
"Pointnya udah saya hapus, jadi next time nggak usah repot." Cia bangkit menuju wastafel, dia mencuci gelas susu dan pisau oles selai.
"Kenapa di hapus? Bukankah kita sudah sepakat?" Tanya Dhika yang memalingkan muka melihat Cia yang sibuk mencuci piring kotornya, ia tidak berselera dengan sarapannya.
"Buat apa? Kemarin bapak nggak makan sarapan yang saya buat," jawab gadis itu acuh.
"Itu ...."
"Udah lah Pak, nggak usah di bahas. Lagipula saya nggak beban atau tersinggung. Saya nggak perlu repot bangun subuh hanya untuk buat sarapan."
"Lalu kamu buang sarapan bagian saya?" Tanya Dhika. Sebenarnya dia kemarin buru-buru sebab harus singgah kekantor lebih dulu, ingin mengirim pesan pada gadis itu untuk membawakannya kesekolah. Tapi lupa selain itu dia juga masih sedikit kesal dengan gadis itu setelah pembicaraan mereka terakhir.
"Mubazir dibuang, saya kasi Alex." Mata Dhika melotot. Hebat sekali gadis ini memberikan sarapan bagiannya dengan laki-laki lain, padahal Cia bohong.
"Kamu tidak izin sama saya?"
"Buat apa?" Cia meletakkan gelas dan pisau di tempatnya lalu mengelap tangan dengan serbet.
"Ya, itu bagian saya jadi hak saya, Syilla."
"Setelah bapak tinggalkan gitu aja, hak bapak pun hilang atas omelet itu." Cia berjalan sambil menyambar tasnya, ia pergi.
Dhika duduk terpaku mendengar ucapan gadis itu, benar setelah meninggalkan sesuatu begitu saja maka hak atasnya pun sudah tidak ada. Kalimat itu sederhana namun kenapa begitu mengusik hatinya.
Tidak ingin berpikir jauh, dia menyambar tas kerjanya. Untuk sekarang lebih baik tidak mengganggu gadis itu dengan pertanyaan atau pembahasan apapun. Dia akan memberinya ruang.
***
"Jadi lo mutusin nggak buat video lagi?" Cia lagi di kantin, hari ini dia cukup femes gara-gara kejadian kemarin. Semua siswi menatap iri padanya karena pangeran tercinta mereka menggendongnya dengan sangat mesra, oh jangan lupakan wajah panik pria itu yang membuat semua orang bertanya-tanya apa hubungan keduanya.
"Bosen gue," jawab Cia seadanya. Dia sudah mendenngar desas-desus tersebut dan sumpah itu membuatnya mual.
Belum lagi guru bahasa inggrisnya yang liat dia kayak hantu kesetanan. Semua masalah sebenarnya di buat oleh Dhika tapi kenapa dia yang kenak imbasnya?
"Bukan karena peraturan pak Dhika kan?" Tanya Aneth. Dia juga kurang setuju dengan peraturan itu walaupun cinta mati dengan tu guru.
BRAKK
Semua mata tertuju kearah meja Cia dengan terkejut, ada yang ngelus dada bahkan mangkok baksonya tumpah.
Aneht dan Cecil terkejut begitu pun dengan sembilan cowok yang duduk sama mereka, belum pernah Cia marah seserous ini.
"Neth, pleas. Satu sekolah ini udah buat gue muak karena menyangkut pautkan gue sama tu orang, bisa nggak sih lo nggak termasuk. Sumpah muak gue." Cia yang menggebrak meja tadi namun sekuat tenaga dia tidak membentak sahabatnya.
Setelah memejamkan mata untuk menetralkan diri, dia bergegas pergi namun sebelum itu dia berkata, "jangan ada yang ikutin gue."
Mereka yang sudah angkat bokong langsung duduk kembali begitu mendengar ulitimatum Cia yang nggak ingin di bantah.
"Cia marah sama gue," cicit Aneth.
"Ya udah nggak usah di pikirin, dia lagi emosi. Dan kedepannya jangan pernah nyinggung pak Dhika di depan Cia." Aneth mengangguk sambil memeluk Cecil.