Bangun tidur Cia langsung mandi terus pakek pyama, nggak sisiran hanya mencepol asal rambutnya, pakek minyak telon, udah wangi kayak anak bayi umur seminggu. Dia tipe cewe yang nggak ribet, kalau dirumah ya wewangian dia itu, lebih segar dan tidur jadi nikmat.
Saat turun kebawah untuk makan malam, dia dengar ada orang ngobrol diruang keluarga, dengan menarik napas dia sudah tau siapa orang itu. Kayak hantu dimana-mana ada gentayangan.
"Eh, anak mama udah bangun." Mama udah cantik, nggak pakek daster, malu mungkin ada mantu tersayang pakek daster rombeng. Bukan Cia hina itu baju sejuta umat wanita Indonesia, tapi mamanya yang emang suka pakek itu baju yang udah lusuh. Fix yang aneh mamanya.
"Hem." Tanpa menyambut uluran tangan mamanya, ia masuk kedalam pelukkan papanya, kalok kayak gini mau nangis lagi. Cia itu cinta sama pria tua, cinta mati malah. Tapi cuma sama papanya aja.
"Kenapa?" Dhika melihat bagaimana gadis itu memeluk erat ayah mertuanya, menduselkan wajah yang berbentuk hati itu di leher pria itu. Dhika tidak bisa berkata apapun, hanya bisa melihatnya dengan rumit.
Cia bukan anak yang manja, itulah yang selama ini dia lihat. Atau mungkin karena dia bukan tempat bermanjanya, melihat gadis ini sekarang, terbesit rasa bersalah dalam dirinya, tapi tidak berniat menarik lagi peraturan itu.
"Jangan begini, nggak malu di lihat suami?" Cia menggeleng, tangannya sudah merangkul leher sang ayah, gelayotan mirip anak monyet.
Bagus mengusap kepala putrinya sayang, tadi istrinya sudah menjelaskan semuanya. Besok juga baikkan kalau bapernya udah ilang, selabil itu lah dia.
"Mama udah masakkin makanan kesukaan kamu, sekarang ayo makan." Bujuk Bagus. Cia mengangguk, lalu bangkit. Jalan bersama sang ayah. Mama dan Dhika terabaikan, hari ini dia masih sakit hati dengan keduanya.
Di meja tersaji ayam goreng kuning, sambel terasi beserta lalapannya, sebenarnya Cia udah mau kali nyantapnya dengan rakus, tapi kalok nampak kali di nikmati, mamanya kesenengan, tapi kalok nggak di abisin sayang. Ok, fix untuk mama dia akan maafin, bisa nyesel sendiri dia kalau ngga nikmatin ini makanan.
Cia sama sekali nggak ngelirik Dhika, pria egois ini sama sekali nggak kasi ruang dia untuk bernapas, buat apa pakek jemput? Emang seluang itu hidupnya? Cari kegiatan kek.
"Nak, makan yang banyak ya?" Dengan senyum tercantiknya Sarah menawari Dhika. Pria itu mengangguk sopan, dirumah semewah ini masih tersaji menu sederhana yang terlihat sangat nikmat. Dia mencobanya dan mengakui ini sangat enak, tak heran istrinya begitu menyukai dan lihat, dia bagai anak kucing. Menggerogoti tulang sampai hancur.
"Gigimu akan rusak jika begitu cara makanmu." Bisa nggak usah komentari hidup orang? Cia hanya meliriknya sinis, tanpa menjawab apapun, udah di pastikan kalau di sahut bakal panjang drama rumah tangga mereka.
"Pa, habis makan Cia mau ngomong, berdua aja sama papa." Tekannya di akhir kalimat. Dahi Dhika mengernyit, tapi Cia tidak perduli, dia udah pikir masak-masak tentang masalah ini.
"Baik, habiskan makanmu. Dan sudah berapa kali papa bilang, gigimu bukan mesin penghancur tulang." Cia tersenyum geli. Papa selalu marah kalau dia ngunyah tulang sampek halus, pernah pun ketelan.
Setelah pernikahan baru kali ini dia makan dirumah, rasanya nikmat. Udah berapa bulan ini semua? Entahlah, tapi belum enam bulan kayaknya. Tanya sendiri jawab sendiri, sekarang ini otak Cia kayak ada yang lagi diskusi gitu.
**
Dhika penasaran apa yang istrinya bicarakan, hampir satu jam keduanya diruang kerja. Sarah bisa melihat mata menantunya tertuju kepintu ruangan tersebut, tidak berkedip.
"Nak." Panggil Sarah lembut. Dhika sedikit tersentak mendengar suara ibu mertuanya.
"Maaf, iya ma." Jawabnya sopan sambil duduk dengan benar. Sarah menuangkan teh di atas meja.
"Kalian bertengkar karena apa kalau mama boleh tau? bukan maksud mencampuri. Hanya ingin menasehati layaknya orangtua." Sarah bijak malam ini, dia kalau lagi serius best kali lah pokoknya. Aura keibuannya terpancar sempurna, mungkinkah Cia akan begini juga suatu saat nanti?
"Saya membuat peraturan sekolah tidak boleh membuat video dan mengunggahnya jika bukan sesuatu yang bermanfaat untuk sekolah." Sarah mengangguk.
"Cia, anaknya tidak bisa di kerasi. Semakin kita memaksanya, semakin jadi batu dia. Mama sadar, tidak semua orang bisa menerima sifatnya yang begitu, mama juga tidak bisa memintamu untuk terus sabar, jika ka--"
"Saya akan melakukan yang terbaik ma, dia tanggung jawab saya." Dhika memotong ucapan ibu mertuanya, katakan dia tidak sopan. Tapi entah kenapa dia takut untuk mendengar kelanjutan kalimat itu. Dia cukup cerdas untuk menebak apa yang ingim di katakan ibu mertuanya.
Sarah tersenyum simpul, dia mengangguk. Dalam hati mengucap syukur, semoag aja anak ini kuat dengan sikap putrinya yang masih anak-anak. Tapi sebenarnya Cia itu nggak ngerdpotin, cukup mudah sayang dan jatuh cinta dengan anak itu. Harusnya begitu juga dengan Dhika kan?
Diruang kerja kini Cia lagi bujuk ayahnya buat kuliah di Rusia, negara impiannya. Dia nggak mau di boyong ke America.
"Boleh ha pa?" Bujuknya lagi. Matanya udah membulat, mirip anak kucing minta susu.
"Papa dengar Dhika mau stay di America, kalau kamu di Rusia, bukannya kalian pisah ranjang?"
'Sekarang juga pisang ranjang pa' batinnya menyahut.
"Pa, Cia nggak yakin sama hubungan ini. Kami nggak ada kecocokkan, dari segi apapun, dari hal kecil sampek yang besar semua di ributin. Pak Mahar itu sering ingkar janji, dan Cia nggak suka cowo kayak gitu." Jelasnya menggebu.
Bagus tersenyum simpul, mengerti jika anak ini belum memiliki rasa pada mantunya. Dari awal dia juga tau pasangan ini tidak tidur sekamar, Dhika dengan jujur mengakuinya, tapi alasannya yang bohong. Dia bilang mau nunggu Cia dewasa dan siap, tentu Bagus mendukung itu.
"Apa yang nggak Cia suka?" Bagus mengabaikan panggilan aneh putrinya untuk Dhika.
"Semuanya, suka ngatur, suka marah, apa yang Cia buat selalu salah, setiap hari kalau nggak buat Cia naik darah, mungkin nggak bisa napas dia." Sungut anak itu dengan semangat.
Bagus terbahak mendegar putrinya mengadu dengan berkobar-kobar, beginilah Cia, cara berpikirnya masuh sangat anak-anak. Tidak heran dapat menstruasi pun lambat.
"Coba pikir, semua yang dia lakukan itu baik nggak buat Cia?" Gadis itu langsung menggeleng.
"Papa bilang pikir dulu, jangan cepet gitu jawabnya." Gadis itu duduk di pangkuan ayahnya, persis anak lima tahun yang mengadu, jika ada yang mengganggu dan mengambil mainannya.
Cia mulai berpikir, tidak semua tindakkan pria itu fatal, tapi tetap aja buat kesal. Apalagi tadi siang dia udah melecehkannya, gimana mau di maafin dan di mengerti?
"Kamu tau alasan papa setuju menikahkan kalian? Selain wasiat kakek?" Cia menggeleng. Dia lebih baik dengerin papanya aja, dia sendiri nggak punya jawaban untuk pertanyaan sang ayah.
"Dia bisa melindungimu, nak. Dalam artian yang lebih luas, mungkin sekarang Cia belum paham, nanti udah dewasa pasti mengerti."
"Papa nggak sanggup lindungi Cia?" Tanyanya sedih.
"Bisa, sangat bisa. Tapi tanggung jawab yang di emban Dhika dan papa berbeda sayang."
"Seperti tanggung jawab papa ke Cia, dan papa ke mama?" Bagas mengangguk.
"Anak pintar." Bagas menepuk pelan kepala putrinya.
"Bagaimana jika dia tidak bisa melaksanakannya? Misalnya dia punya pacar atau wanita lain?" Cia tau arti tanggung jawab pria itu, tidak akan menyakiti hatinya sampai kapan pun, memangnya ada manusia yang bisa gitu? Ya nggak ada lah, apalagi manusianya kayak Dhika.
Alis Bagus berkerut tak mengerti, Cia berdehem, "misal pa." Dia belum bisa memastikan apa pria itu ada pacar atau tidak.
"Kamu boleh kuliah di Rusia, dan ini rahasia kita."
"Deal." Cia semangat. Dalam hati dia berdo'a pria itu punya simpanan, biar mereka bisa pisah.
Bodo amat sama perjanjian yang udah-udah. Pria itu selalu bisa ingkar, kenapa dia nggak.
Diluar Dhika menunggu, dia penasaran sampai mati. Seumur hidup dia tidak pernah sepenasaran ini dengan urusan orang lain.