Chereads / Pernikahan Sementara / Chapter 41 - Mengambil Ciuman Pertamanya

Chapter 41 - Mengambil Ciuman Pertamanya

"Kenapa bisa pingsan?" Sarah melotot sambil ngintimadasi anaknya ini. Kalau Cia marah, dia harus lebih marah. Pokoknya dia selalu di atas Cia, biar anak ini nggak kurang ajar.

"Ma, orang pingsan sebabnya ada sejuta, mana aku tau yang mana," jawab Cia acuh. Melihat penampilan ibunya dia bolak-balek tarik napas. Pingsannya nggak seberapa malunya ini lo. Bukannya apa, masak iya pakek daster. Dia yakin pasti bagian keteknya udah lerak.

Mamanya sangat suka daster yang udah lusuh. Enak gerak, kalok kotor nggak sayang katanya. Padahal papanya bisa belik pabrik daster kalo mamanya segila itu sama daster. Tapi mama tercintanya ini selalu bilang 'mama bantu UMKM, di kasi gratis terus cuma posting aja'

Siapa yang bantu siapa sekarang ini? Cia juga nggak tau. Pernah sekali waktu papa cukup gerah dengan daster yang udah nggak layak pakai, terus mamanya bilang tu daster lebih sexy dari lingerie.

Lingerie rasa nusantara kalau kata papa yang udah mulai ketularan ajaibnya mama. Cia masih bisa maklum kalau itu dalam rumah, lah ini di sekolah. Sumpah demi bekicot yang bisa lari, malunya Cia itu udah sampek ubun-ubun lo. Mau pingsan lagi rasanya biar di larikan pakek ambulance, jadi nggak perlu ngadepin siswa dan para dewan guru.

"Kamu sarapan?" Cia ngangguk.

"Minum banyak?" Cia gampang dehidrasi, dia harus minum air banyak, sama satu lagi anak ini nggak bisa kepanasan.

"Lalu?" Sarah masih aja maksa Cia harus tau penyebabnya pingsan.

"Tanya dokter yang periksa tadi lah!" Kesal Cia.

"Kamu pingsan kok tau ada dokter yang periksa?" Kesini tujuan mamanya ni, biar dia ketangkep basah lagi bohong. Otak Cia berputar lebih cepat kayak jarum jam eror. Sementara Dhika udah memicingkan mata, jangan bilang dia di tipu gadis licik ini.

Tidak ada yang tau seberapa paniknya dia tadi waktu liat gadis ini limbung, apalagi anak ingusan yang bernama Fandi mencoba menangkap tubuhnya. Kalau tidak kakinya yang panjang sudah pasti tubuh istrinya di sentuh cowok itu. Dan dia bisa murka di hadapan semua orang.

"Aku liat ada orang lain tadi." Mata Cia keliling cari seorang pria, matanya menangkap ada kepala nyembul dari balik balkon matanya menyipit tajam, sangat kejam.

Patrick yang udah ketauan ya langsung keluar aja daripada dapat masalah, walaupun dia sembunyi tapi dia kepo, kuping jelas banget denger semua yang terjadi, sampek lah dia ketauan sama Cia.

Anak ini luar biasa, darimana energi sekuat itu, padahal baru sadar dari pingsan lo. Ini pertama kalinya dia lihat Cia sadar, waktu itu dia bilang gadis ini cute, kayaknya harus di tarik hari ini juga. Bukan karena ngga imut atau cantik. Tapi cute itu nggak cocok untuk cewek garang kayak gini.

"Hai." Sapanya ramah sambil berjalan pelan keluar dari tempat persembunyian.

"Kamu dokter." Patrick mengangguk. Sarah males liat anak itu bawaannya mau di libas aja pakek pukulan tilam bik Sumi.

"Kenapa aku pingsan?" Patrick cengok. Yang karena pingsan lah. Tapi itu dia jawab dalam hati aja.

"Kamu dehidrasi, pingsan yang ringan." Dia nyengir kuda.

"Emangnya ada pingsan berat!" Jerit Sarah. Patrick terlonjak, jantungnya hampir keluar.

"Tante, saya salah udah ribut tadi, tapi jangan nyolot juga. Saya itu tadi buru-buru mau periksa anak tante lo." Patrick harus bertahan dengan segala omelan mertua sohibnya.

"Anak saya aja sadar sendiri, kamu cuma periksa-periksa, saya pun bisa." Patrick ngerasa jiwa dokternya terluka, dia menjiwai banget profesi ini, siang malam belajar bagai kuda sampai lupa orangtua biar dapat hasil yang bagus dan memuaskan, lambe emak satu ini luar biasa tajam meremehkan keahliannya.

Dhika menilai Sarah sangat mirip istrinya, jika sudah tidak suka, semua yang di lakukan orang itu semua nihil, nggak ada baiknya, meskipun udah ngorbanin nyawa buat nolong. Sifat turunan mungkin, pikirnya.

"Gini ya tan, yang saya maksud pingsan ringan itu, bukan di sebabkan kejut jantung, atau tekanan mental." Ketus Patrick. Entah benar atau salah jawab aja dulu gitu, bahasanya juga elegant, pastilah emak satu ini percaya.

"Eleh, kamu pikir saya percaya." Tatapan Sarah balik ke Cia, menatap garang anak gadisnya, nggak perduli mereka jadi tontonan. Cia nggak paham kenapa ibunya seaktif ini, nelen ragi apa.

"Mama kenapa?" Cia udah kayak anak kucing. Di dunia ini, dia cuma takut murkanya sang Khalik dan sang mama, ratu iblis dirumah.

"Kenapa kamu tanya? Kamu mau pulang kerumah pakek ngancam mama!" Gendang telinga Patrick berdengung mendengar bentakkan itu.

Dan Cia langsung menangis, menarik lututnya lalu membenamkan wajahnya. Sarah terdiam, dia kelepasan membentak putrinya, anak ini tidak bisa di bentak apapun alasannya.

"Ma, biar saya yang bicara dengan Syilla." Dhika melihat bahu istrinya bergetar. Tadi masih garang sekarang bisa tersedu begitu karena di bentak ibunya.

Sarah menatap iba putrinya, ia menyesal. Dia bukan tidak suka anaknya pulang kerumah, hanya saja jika bertengkar dengan suami lalu keluar dari rumah dan dia izinkan, sama saja dia mengajarkan Cia kurang ajar. Apapun yang di rasakan harus di tanggung, anak ini harus belajar hidup berbagi dengan pasangan.

Sarah tidak mengatakan apapun, dia keluar dari kamar itu sambil menyeret Patrick yang sedang bersiap membereskan barang-barangnya, pria itu tidak melawan. Dia tau suasana sekarang sangat mencekam, kalah dengan suasana uji nyali.

Dhika duduk di tepi ranjang, ia mendengar isakkan pilu istrinya, sesekali Cia menarik ingusnya juga. Dhika tersenyum mendendengar itu, biasanya dengar bayi nangis sambil narik cairan menjijikkan itu saja dia langsung pergi, tapi sekarang dia justru suka mendengar itu. Udah gila emang.

"Nangisnya udahan, nanti matamu bengkak kayak biji kenari." Cia muak mendengar suara pria ini, tidak ada satu pun yang berjalan lancar sejak menikah dengan pria ini, semuanya sial.

"Syilla." Dhika menyentuh tangan gadis itu dengan jari telunjuknya, ia melihat bekas kuku disana, tidak terluka namun merah. Tatapannya menjadi gelap.

"Siapa?" Suaranya berat dan dingin. Cia males ngejawab, dia juga nggak tau si Mahar ini nanyak apa, nggak jelas.

"Saya tanya siapa?" Suaranya rendah namun penuh tuntutan.

"Apanya yang siapa pak? Bisa tinggalin saya, muak saya tu liat wajah bapak, tau nggak?" Tubuh Dhika menegang. Cia mendongak, menatap lelah kearahnya. Dia lebih baik di tatap benci dan tajam daripada di tatap begini, ada rasa yang tak biasa.

"Siapa yang buat bekas ini?" Dhika mencoba tidak perduli, padahal hatinya kayak di tusuk pisau. Kata muak itu terlalu kejam.

"Apa perduli bapak? Masalahnya bukan ini sekarang, maksud bapak buat peraturan itu buat saya nggak bisa bergerak, melakukan apapun yang saya suka kan? Saya udah terima peraturan dirumah, tapi apa? Bapak ngekang gerak saya diluar, saya capek." Cia benar-benar nggak nyangka ada manusia sekejam pria ini.

"Apa yang kamu lakukan mempengaruhi siswa lain, jika terus seperti itu sekolah yang akan malu." Alasan Dhika tepat, berjoget dengan background sekolah dan seragam, itu kurang elok tapi bukan berarti harus di larang sepenuhnya.

"Lalu kapan saya punya waktu? Bapak juga larang saya main, pulang sekolah harus langsung pulang. Apa saya ada salah sama bapak?" Cia menyeka kasar airmatanya. Dhika diam, dia menatap dalam istrinya.

Hari ini rasa sakit hatinya bertambah, bisa-bisanya mamanya ngebentak dia. Sudah tau dia paling sensitif di gituin.

Dhika juga tidak tau kenapa dia bisa melakukan hal itu, dia tidak suka Cia bergaul dengan teman-teman cowoknya, padahal anak seusia Cia wajar berteman dengan siapa pun.

"Pulanglah, saya tidak akan kembali sampai marahmu hilang." Dhika bangkit, ia melirik sekilas bekas tusukkan kuku di tangan mulus istrinya, ada rasa marah yang tidak bisa di tunjukkan.

"Saya tidak akan kembali keneraka itu. Jika mama tidak mengizinkan, saya bisa mati bunuh diri aja."

Cia tidak tau kapan terjadi, semua tiba-tiba. Pria yang sudah ingin pergi ini dengan cepat meraih tengkuknya, dan mengambil ciuman pertamanya. Mata Cia membelalak, apa yang sedang terjadi saat ini dia tidak tau. Benda apa yang menyentuh bibirnya, tapi dia bisa merasakan napas hangat pria itu.