Wali kelas Cia yang ikutin langkah lebar Dhika dengan tergopoh mengeluarkan ponsel dan menghubungi orangtua siswinya. Dengan secepat kilat Sarah meluncur kesekolah putri kesayangan dunia-akhiratnya.
Bukannya masuk UKS, Dhika malah bawa Cia masuk kedalam ruangannya mebuju kamar pribadinya pula. Atik selaku wali kelas jadi bengong dong, ngapaen pula ni kepsek sampek segitunya, perhatian boleh tapi ini udah senonoh. Mau apa di ruangan pribadi.
"Pak." Panggilnya dengan nada nggak selo. Seketika Dhika menatapnya heran, karena wanita paruh baya ini mukanya udah garang aja kayak indok kingkong.
"Apa?!" Dhika tidak kalah ketus. Atik langsung ciut jadi anak monyet.
"Lebih baik di UKS pak. Bisa fitnah kalau Cia ada sini."
"Siapa yang mau fitnah? Anda ada disini." Dhika ngeluarin ponsel terus menghubungi Patrick. Dengan cepat temannya yang kaya namun mata duitan itu langsung otewe gerak kesekolahnya.
Dhika mondar-mander kayak setrika kurang panas. Atik serba salah sebab guru yang lain pada ribut di wa, kenapa Cia nggak ada di UKS.
Pria itu terus menatap Cia, sedari tadi anak ini ngapaen kok bisa pingsan gini. Kelewat lincah makanya kecapean. Jangan-jangan buat video liuk lagi. Oh. Tuhan kapan dirinya bisa tenang di buat gadis ini.
Tidak lama dua orang masuk kedalam ruangannya, langsung dia membuka pintu kamar, tampak Sarah dan Patrick saling rebut siapa yang jalan duluan.
"Eh, anak muda. Sabaran kalau jalan." Dhika cengok liat ibu mertuanya yang datang dengan mengenakan daster, dan rambutnya sangat kusut, darimana mertuanya ini?
"Ya elah buk, saya URGENT ni." Patrick menekan kata akhir biar wanita matang ini mengerti posisinya.
"Jaman sekarang itu ya, anak muda nggak ada santunnya." Sarah nyelonong.
"Santun liat-liat keadaan juga buk." Ketus Patrick. Mereka tidak menyadari sudah berada di dalam ruangan dan di tonton oleh Dhika dan buk Atik.
"Ngeles aja kayak bajai, kalau kamu urgent. Saya udah kritis ini. Mana lebih mendesak." Sarah bertolak pinggang dengan mata melotot. Sekarang Dhika tau sifat Cia turunan dari siapa.
"Ibu mau ambil mangkok baksok kan?" Tebak Patrick percaya diri.
"Mangkok bakso ndasmu itu, kamu pikir saya ibu kantin?" Garang Sarah, rambutnya bahkan sudah mengembang, mirip Cia pas bangun tidur.
"Emang bukan?" Patrick masang wajah menilai dari atas sampek bawah nggak percaya.
"Saya putih glowing gini, masih bisanya kamu kira saya ibuk kantin?!" Jerit Sarah. Oh, dia sudah banyak habis uang untuk perawatan mehongnya.
"Glowing nggak harus sultan buk, tukang kantin juga glowing kebanyakan gaul sama jelantah, mukanya beminyak kayak ibu gini. Dandanannya juga lebih bagusan ibu kantin."
Sarah ingin meledak namun suara deheman mengambil alih perhatian mereka. Dengan cepat Patrick berlari menghampiri sohibnya itu.
"Gila ya, yang namanya emak-emak, nggak di jalan raya, di pasar, dimana pun lah nggak pernah mau ngalah apalagi kalah padahal salah." Omel Patrick menatap sebal Sarah.
"Masuk." Perintahnya pada sohibnya, males nanggapin, apalagi yang di katain ibu mertuanya.
"Nyonya Sarah." Atik menghampiri. Dia heran juga kenapa wanita kaya ini bisa kayak babu gini datang kesekolah. Mendingan si Menik penjaga kantin, walaupun keteknya baunya Masya Allah, paling nggak dia begaya pas jualan.
Sarah menetralkan napasnya, anak muda tadi bisa buat dia darah tinggi sampek ubun-ubun. Kurang ajarnya udah stadium akhir, siapa sih orangtuanya. Dan kenapa dia bisa temenan sama mantunya ini.
"Oh, buk. Maaf, saya nggak bisa nahan emosi, anak jaman sekarang otaknya nggak di asah. Siapa buk?" Atik menggeleng.
"Lah ibu nggak kenal?" Lagi Atik menggeleng.
"Terus Cia dimana?" Tadi pas dapat telpon niatnya emang mau cari mantu kecenya dulu baru ke UKS.
Atik menunjuk ruangan yang di masuki pemuda tadi, dengan sigap wanita itu masuk diikuti Atik.
Setibanya di dalam, dia liat mantunya fokus melihat Patrick meriksa putrinya, yang lebih mirip orang tidur daripada orang pingsan. Jangan tanya dia tau darimana, gadis itu tumbuh kembang di rahimnya, jadi dia tau watak anak tunggalnya ini.
"Sudah ada ibunya Syilla, anda boleh kembali dan ambil alih pertemuan di aula. Saya ingin bicara dengan ibu Sarah." Dhika menggunakan kalimat formal.
Atik ragu, tapi Sarah mengangguk sopan. Dia juga tak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah menghubunginya begitu anaknya pingsan.
"Saya tinggal buk." Sarah mengangguk, wanita itu pun pergi.
Patrick salting setelah tau siapa yang di lawannya tadi, habislah dia sekarang. Mana ucapannya pedes banget kayak cabe nggak kenal ati diri. Cewe nggak cowo nggak.
"Ma." Tegur Dhika ramah. Sarah mengangguk sambil menyambut tangan mantunya yang minta salim. Tapi pandangannya tak luput dari sosok dokter muda itu.
Menarik napas pelan, ia menatap mantunya, "Cia kenapa?"
"Sepertinya dia kelelahan, pingsan di aula." Lagi, Sarah menarik napas berat. Kayak emang berat gitu bebannya. Mukanya sendu buat Patrick yang ngeliatnya iba gitu juga Dhika.
"Ma--"
"Anak ini, udah mama bilang kalau buat video jangan sendiri, ajak mama gitu. Jadi kalau capek bisa gantian, mama padahal udah janji lo nyiapin cemilan dan juss, tapi dasarnya anak ini takut kalah follower."
Dhika menarik lagi perasaan ibanya. Jadi wajah sendu tadi bukan karena anaknya pingsan, melainkan karena nggak di ajak buat video?
Dhika tidak mengerti kenapa dia bisa terjebak di keluarga ajaib ini. Pantas istrinya segila ini. Ya. Tuhan, rasanya dia ingin menjerit meratapi nasibnya sekarang.
Dia berjalan kearah jendela, membuka kaca besar yang menghubung ke balkon. Menarik napas pelan, tangannya menggenggam pagar dengan kuat.
Berbalik jalan sambil menolak pinggang. Ibu mertuanya sudah duduk di samping Cia yang masih tertidur, kukunya nancep pas di kulit tangan anak gadisnya. Ia tau anak nakal ini sudah sadar sedari tadi, tapi berpura bahkan dokter bisa di tipu.
Dasarnya aja anak muda itu idiot. Mulutnya aja yang jago, tapi otaknya kosong.
"Mama tau dia buat video?" Sarah mengangguk.
"Mama salah satu followernya, tapi sering hate koment pakek akun bodong." Rahang Patrick hampir lepas mendengar itu. Wanita tua ini pun tau hate komen, pergaulan bebas ini ibuk, pikirnya.
Cia yang mendengar itu, membuka sedikit mata, dan menatap ibunya penuh dendam. Kepala Dhika semakin pusing. Dimana seoarang ibu yang dengan santai bisa mengakui itu semua, hanya ibu mertuanya?
Tubuh Cia menggeliat, ia pura-pura baru sadar. Matanya perlahan terbuka, aktingnya memukau lah pokoknya.
"Mama?" Suaranya serak, ia menyipitkan mata untuk memyesuaikan cahaya lalu perlahan bangkit di bantu oleh Sarah.
Cia memperhatikan penampilan ibunya, semakin lama semakim melebarkan matanya. Dhika yang ingin bertanya jadi mengurungkan niatnya.
"Mama kesini kok pakek daster, udah gitu mukanya kusut gitu. Kalah orang gila yang kreap rambutnya." Sarah memukul bahu Cia dengan keras.
Dhika yang melihat itu, langsung memandangi bahu istrinya yang pasti kesakitan, tampak gadis itu mengelus dengan bibir memberngut, sangat imut.
"Mama panik dengar kamu pingsan, lagi bekebun tadi masa iya pakek stelan kantor? Ini tu pakaian ternyaman untuk ibu rumah tangga seperti mama, dan lagi tadi tergesa-gesa."
"Ma, aku pingsan bukan mati. Kalau panik juga liat-liat dong." Cia mau nangis kali, ibunya ini luar biasa sembrono lo, tapi dia cinta.
"Kalau mama ganti baju, kamu mati." Tangan Sarah dengan cepat mencubiti tangan putrinya. Selain mulut tangan wanita ini juga cekatan buat nyiksa Cia.
"Ma." Suara Dhika menghentikan keduanya. Cia menoleh menatap tajam Dhika. Bahkan Patrick yang berdiri di sisi sohibnya langsung ciut, pelan-pelan mundur menuju balkon. Anggap ilang aja udah, urusan dengan ibunya belum kelar jangan sampek sama anaknya.
"Ma, aku hari ini ikut mama pulang. Kalau mama nggak mau, aku minggat. Kalian nggak akan bisa nemuin aku. Mati nggak, hidup juga nggak." Dhika menatap istrinya tajam.