Semua siswa dan siswi di perintahkan untuk berkumpul diaula sekolah, akan ada pengumuman penting dari bapak kepsek kesayangan satu sekolah, dari siswi, guru sampek petugas sekolah yang berjenis kelamin wanita.
Semua siswa dan siswi duduk sesuai kelas mereka masing-masing agar tidak tampak berkerumunan seperti cacing. Dhika belum melihat Cia ada dalam kelompok kelasnya.
Dua sahabatnya pun tidak tampak.
Gadis itu lagi buat video di rooftop sama Alex dan Zanetha, entah kenapa kalau lokasinya disini tu banyak yang nonton dan like.
"Udah dulu, ayok kita ke aula." Ajak Cecil.
Zanetha sambil basuh keringatnya mengangguk, "iya yok? Ada pak Dhika, gue udah kangen sama dia."
"Bentar lagi, video kita belum ada yang ok ni, ya nggak Lex?"
Alex mengangguk, ia sebenarnya udah lelah juga ngedance, lebih dari sepuluh kali mereka take ulang.
"Lanjutin besok aja lah." Kesal Cecil. Mau tidak mau Cia nurut. Mereka berempat pergi menuju aula yang ada di lantai dua.
Begitu masuk, mereka jadi pusat perhatian, sebab Cia ngobrol dengan Alex pakek cekikikan, nggak perduli di dalam semua orang udah berkumpul.
Merasa di perhatikan Cia berhenti, menatap sekeliling sambil nyengir kuda karena malu, dia melihat Gabriel yang duduk di kursi ketua osis menatapnya geli, cowok itu mengangguk kecil memberi intrupsi agar gadis itu segera bergabung dengan teman sekelasnya. Dan interaksi itu di lihat Dhika dengan wajah yang masam.
"Ci, gue gabung sama anak yang lain," bisik Alex.
"K. O." Cia mengacungkan jempol dengan senyum manis.
Cecillia dan Aneth menarik Cia untuk bergabung dengan teman sekelas mereka. Saat duduk, ia menadapati Maya melotot kearahnya.
"Sakit mata lo? Atau lagi latihan jadi barongsai?" Ejeknya.
"Jadi cewek bisa nggak centil?"
"Siapa? Lo? Kayaknya sifat itu udah bawaan lahir lo deh, jadi mustahil bisa berubah." Yang mendengar itu terkikik geli.
Maya semakin melotot, sementara Cia mulai kegerahan, dia lupa bawa kipas angin portablenya. Aula ini ada banyak Ac, tapi mendinginkan banyak manusia, jadi nggak berasa, emang mantap Ac alam juga, pikirnya.
Suara mic terdengar, Gabriel membuka acara, sebagai ketua osis cowok itu emang bisa banget di andalkan. Orangnya ulet dan tanggung jawab beut. Cecillia tidak pernah lepas menatapnya. Cowok itu selalu bisa mengambil perhatiannya.
"Hari ini akan ada pengumuman penting yang akan di sampaikan langsung oleh bapak kepala sekolah kita, jadi saya harap teman-teman semua bisa mendengarnya dengan baik." Sebenarnya baik Gabriel dan seluruh guru tidak tau pengumuman apa yang akan di berikan Dhika, dia tidak mendiskusikan apapun sebelum ini.
Cia yang sedari tadi sibuk ngipasin diri pakek telapak tangannya, sekilas melirik keatas panggung tempat Dhika berada, pria itu berjalan ke podium setelah di persilahkan oleh Gabriel.
Aneth udah serius banget natapnya, kayak si Dhika balik natap dia aja. Sebenarnya bukan cuma Aneth, satu aula jadi hening, karena cewek-cewek yang tadinya bisik-bisik, kini diam sempurna.
The power of Mahardhika, bisa menghentikan ghibah berjamaah sungguh luar biasa, Cia menatap kanan dan kirinya. Sumpah demi apapun semua cewek berubah jadi batu dengan tatapan lurus kedepan.
"Saya ingin mengumumkan, jika nama yang akan di sebutkan, wajib ikut olimpiade tanpa penolakkan dalam bentuk apapun, dan juga saya menghimbau tidak di benarkannya membuat video di lingkungan sekolah kecuali untuk kepentingan bersama, dan juga tidak di benarkan juga membuat video tidak berbobot mengenakan seragam di luar sekolah."
Cia cengok mendengar peraturan itu, sudah bisa di pastikan itu orang cari masalah dengan dia, emang nggak bisa di kasi hati banget itu orang, pikirnya. Mana rooftop udah jadi tempat ter-uwoww untuk buat video.
"Ci, nyindir kita bukan?" Bisik Aneth.
"Bukan kita aja yang buat video di sekolah Neth." Ketus Cia.
"Lo kok ketus sih? Gue kan cuma nanya." Aneth memberengut.
"Gue kesel banget ama tu orang, Neth. Kebetulan aja lo nyenggol gue, kebacokkan?" Cia menatap tajam Dhika yang menatapnya balik.
"Lo jangan nantangin pak Dhika, semua orang memperhatikan kalian." Para dewan guru pun merasakan aura permusuhan kedua makhluk itu.
"Arsyilla Ayunda, tidak pernah membangkang, kenapa sejak ada pak Dhika, dia jadi bandal begini?" Bisik seorang guru paruh baya pada rekannya.
"Anak itu merasa aturan pak Dhika berlebihan, saya rasa juga begitu," jawan buk Atik, wali kelas Cia.
"Anak itu ada-ada saja, sudah tau kepala sekolah kita darah tinggian, masih saja mau membantah." Kekeh guru itu lagi.
"Biarkan saja, kepala sekolah itu harus ada yang berani melawan, agar tidak seenaknya." Mereka menilai jiwa muda Dhika belum cocok menjadi kepala sekolah.
"Neth, bilang sama laki lo, jangan kolot. Hari gini buat peraturan kayak gitu. OMG, gue nggak yakin umurnya 28, mungkin 98." Teman sekelasnya terbahak mendengar umpatan Cia. Seketika mereka jadi pusat perhatian seisi aula.
"Hus, lo kalo ngomong, ngotak dong. Ci!" Aneth gereget.
"Yang nggak ngotak tu, kepsek lo." Cia mendengus kesal. Bukan apa-apa, dia mikirin, like, koment and sharenya yang bakal turun, mana baru mau jadi selebtok, ada aja hambatannya.
Coba pikirla, kapan dia sempat buat video kalau bukan di sekolah? Pulang harus langsung pulang, nggak boleh kelayapan.
Disekolah pun nggak boleh, kan pengen nangis aja jadinya, ini dia lagi maruk-maruknya lo buat video ngedance, itung-itung olahraga juga, sebab selama tinggal di penthouse dia nggak pernah gerak di bawah sinar matahari, bisa-bia bentar lagi dia kenak penyakit beri-beri.
Karena asik ngedumel dan ngumpat tu kepsek, dia sampek nggak nyadar namanya di panggil udah tiga kali sebagai salah satu kandidat olimpiade matematika.
"Arsyilla Ayunda!" Suara teriakkan Dhika menggema, ia kesal karena gadis itu tak kunjung berdiri setelah si ketua osis itu menyebut namanya.
"Ci." Aneth nyenggol tangan Cia dengan sikunya. Cecillia dan Gabriel yang udah berdiri di depan dengan peserta lain, ketar-ketir mendengar suara kepsek mereka.
"Bangkit sendiri, atau saya seret kamu?" Ucapnya lagi. Jarak mereka lumayan jauh, namun suara mic mustahil Cia nggak dengar.
Aneth terpaksa menarik paksa tangan gadis itu, sementara wali kelasnya dengan cepat menhampiri.
"Apaan sih Neth, sakit tau, main tarik aja." Ketusnya menatap Aneth.
"Lo budeg?" Sela Maya.
"Cia." Panggil bu atik wali kelasnya. Gadis itu tersenyum manis. Dia jadi mengurungkan niat ngebales si lampir.
"Ya buk." Sapanya balik dengan sopan.
"Kamu kenapa tidak maju, udah tiga kali namamu di panggil nak."
"Saya buat kesalahan?" Tanyanya, dia melempar pandangannya kedepan, mengerti apa yang terjadi dia lalu berkata, "saya nggak ikut olim bu."
"Maju aja dulu ya? Kepsek ngamuk." Mohon wali kelasnya.
Cia langsung berdiri, dia berjalan tegak lurus menatap pria yang siap menelannya bulat-bulat. Sesampainya di depan aula, dia bergabung dengan Cecillia.
"Kamu ikut olimpiade matematika, temanmu disana." Cia mengikuti arah tunjuk Dhika, dan di sana ada Fandi. Males banget, pikirnya.
"Saya nggak mau ikut olim pak." Tolaknya tegas.
"Tidak ada penolakkan."
"Saya tidak bisa."
"Apa alasanmu?" Dhika sudah mengetatkan rahannya, gadis ini tidak bisa sedetik pun menurut padanya.
"Saya sakit." Satu aula menatapnya tak percaya.
"Sakit apa kamu? Saya lihat baik-baik saja."
"Casingnya aja pak yang baik, dalamnya udah kronis. Otak saya nggak mampu, daripada mati muda, mau tanggung jawab?" Dhika sungguh ingin melumat gadis itu.
Dia melihat kearah wakil kurikulum, "besok saya bawa surat dokter pak, untuk tahun ini saya nggak bisa berpartisipasi." Tak lama mengatakan itu, Cia pingsan. Ini sungguhan, tapi bukan karena sakit beneran, melainkan dehidrasi karena kepanasan.
Dhika dengan cepat menggendong tubuh gadis itu, sontak semua orang terkejut dengan reaksi cepatnya.