"Cia, bisa kita bicara sebentar?" Fandi menahan langkah Arsyilla dan kedua sahabatnya.
"Lo bego atau tuli? Kurang jelas gue ngomong waktu itu?" Fandi kaget mendengar kalimat kasar dari Arsyilla begitupun Cecillia dan Zanetha.
"Please, kasi aku waktu sebentar aja," ucap Fandi yang masih keukeuh.
"Lima menit," jawab Arsyilla acuh.
"Tapi nggak di sini," ucap Fandi.
"Banyak maunya ya lo, gue nggak da waktu untuk pergi ketempat yang lo mau," ucap Arsyilla ketus.
"Please," lirih Fandi.
Cecillia dan Zanetha iba melihat raut wajah memohon Fandi, tapi membujuk Arsyilla bukan tindakkan yang bijak buat mereka, sudah tau jika Arsyilla sedang berada di fase singa betina ngamuk moden on.
Mereka tidak mau mengambil resiko dengan menerima amukkan Arsyilla.
"Ok di rooftop, abis gue makan." Arsyilla harus punya tenaga untuk memaki cowok ganteng sialan ini, pikirnya.
"Ok, aku tunggu." Dengan segera Fandi berlari meninggalkan ketiganya.
"Ci, lo serem amat tau, emang apa salah tu cowok sama lo?"
Kedua sahabatnya berpikir jika Arsyilla marah pada Fandi akibat tu cowok melindungi Maya dari lemparan bola basket beberapa hari yang lalu.
"Kesalahannya udah berani mainin perasaan gue," jawab Arsyilla cepat, setelah itu ia pergi kekantin dengan sedikit berlari, perutnya sudah meronta minta diisi bakso gratis.
****
"Waktu lo nggak banyak, lo bisa ngomong dari sekarang." Arsyilla menekan tombol stopwatch di ponselnya.
"Cia, kamu kenapa? Jangan seperti ini, aku menyukaimu." Jika Arsyilla tidak mendengar pembicaraan Fandi dan Maya di gudang waktu itu, maka sekarang hatinya sudah meleleh dengan pengakuan Fandi.
"Dan gue nggak suka sama lo!" Bentak Arsyilla kesal.
"Aku nggak percaya, respon kamu selama ini berbanding terbalik dengan apa yang kamu ucapkan saat ini," ucap Fandi.
"Itu masalah lo, tapi perasaan gue cuma gue yang paham, hati gue nggak pernah suka sama lo."
"Kamu bohong." Fandi tidak ingin mendengar kalimat menyakitkan ini tapi Arsyilla dengan teganya menegaskan perasaannya.
Bukan tanpa alasan, dia tidak ingin mengorbankan perasaannya di masa yang akan datang hanya karena dilema perasaan semu yang di tawarkan Fandi.
"Serah lo deh, gue capek ngomong sama lo. Yang jelas ini terakhir kali kita ngomong." Setelah mengatakan itu Arsyilla berbalik melangkah pergi walaupun masih ada waktu yang tersisa.
"Aku tau kamu suka sama aku, Cia!" Suara Fandi menggema bersamaan dengan angin yang berhembus di rooftop itu.
"Sorry gue udah buat lo salah paham sama perasaan gue, tapi selama lo masih jadi gebetan gue, perasaan gue belum berkembang sedikitpun, lo tetap nggak special bagi gue."
Arsyilla sangat lihai menutupi perasaannya.
"Apa tidak ada kesempatan untuk kita?" Arsyilla menggeleng.
"Kenapa?"
"Karena gue tau alasan lo ngedeketin gue, Fan. Jadi tolong berhentilah." Arsyilla meninggalkan Fandi yang terdiam membisu.
Saat Arsyilla pergi meninggalkan rooftop, dirinya tidak menyadari sedari tadi ada seseorang yang mendengar pembicaraannya, dia adalah Dhika.
Dia tidak berniat menguping, ia pergi kerooftop untuk melihat bagian sekolah yang menjadi tempat favorite beberapa siswa untuk ngumpul, tapi ia malah mendapati sepasang remaja yang sedang bertengkar.
Lebih anehnya gadis remaja itu adalah istrinya.
Dia pria matang yang cukup mengerti jika ada rasa kecewa yang di rasakan Arsyilla pada pemuda bernama Fandi itu.
Mungkin ini ada hubungannya dengan pernikahan mereka, tapi Dhika yakin bukan itu masalah utamanya.
Dhika kembali bersembunyi saat Fandi berjalan menuju pintu keluar.
***
Mood Arsyilla sangat buruk, tadinya ia berniat memaki Fandi dan mengatakan hal sebenarnya, tapi ia tidak setega itu untuk menjatuhkan harga diri orang lain.
Apalagi pemuda itu pernah ada di hatinya, meskipun hanya sesaat.
Untuk membuang kekesalannya, sepulang sekolah Arsyilla pergi ketempat orang berlatih menembak, olahraga itu cocok untuknya yang ingin melepaskan amarah.
Arsyilla menguasi beberapa cabang olahraga yang tidak begitu di sukai remaja putri pada umumnya.
Bahkan Cecillia dan Zanetha menilai jika di dalam tubuh Arsyilla bersemayam ruh laki-laki, itu hanya hipotesis kedua sahabat gilanya saja.
"Lagi kesal anak manis?" Tanya Goerge pelatih khusus Arsyilla
"Ya, ingin rasanya aku menembak orang saat ini Goerge," jawab Arsyilla kesal.
"Kau mengerikan jika sedang marah, Nak." Goerge adalah pria matang, ia sudah menganggap Arsyilla seperti putri sendiri.
"Belakangan ini cukup banyak kejadian yang menyulut emosiku, dan itu membuatk muak!" Jerit Arsyilla.
Ia menembakkan beberapa peluru dengan tepat sasaran.
"Wow, perkembanganmu sangat pesat," puji George.
"Terima kasih," jawab Arsyilla.
Merasa cukup dan perasaannya sedikit lebih baik, gadis itu bergegas pulang kemansionnya, ia tidak ingin bertemu pria itu yang selalu pulang malam.
Tombol pintu berbunyi, itu artinya salah satu penghuni penthouse telah pulang, sudah pasti itu Arsyilla, sebab Dhika sudah kembali saat sekolah telah selesai.
"Kamu pulang telat Syilla." Langkah Arsyilla terhenti dan dengan segera membalikkan tubuhnya mengahadap sumber suara.
Ia ingin memastikan jika yang bicara padanya bukanlah hantu yang sedang gentayangan.
"Ternyata benaran manusia, saya pikir Bapak hantu," ucap Arsyilla di luar pertanyaan Dhika.
"Jawab pertanyaan saya, Syilla!"
"Nggak usah besar suara juga!"
Suara Arsyilla tidak kalah besar.
"Bersihkan dirimu, lalu turunlah untuk makan malam." Seperti biasa, Arsyilla langsung pergi tanpa menyahut sepatah katapun.
Dhika hanya menatap dalam kepergian istrinya, ia harus banyak bersabar menghadapi sifat remaja yang labil.
Dhika pulang awal karena dirinya ingin masak untuk makan malam, ia bosan jika harus selalu makan makanan cepat saji.
Dia membuat dua piring nasi goreng beserta lauk dan makanan pendampingnya, tak lupa ia membeli minuman bersoda.
Dhika tidak menghiraukan suara Arsyilla yang membentaknya, ia paham jika saat ini emosi remaja itu sedang tidak stabil, yang terpenting gadis itu sudah pulang, pikirnya.
Arsyilla berendam dalam bathub satu jam lebih lamanya, selain lelah ia juga ingin meredam emosi yang masih membuncah di dadanya, melepas dengan cara menembak tidak sepenuhnya membantu.
Lebih lega memang langsung memaki sumber emosinya, tapi apa daya Arsyilla masih menjaga harga diri pemuda itu.
"Sekali lagi lo ngomong suka ke gue, abis lo gue maki sampek puas," gumamnya.
Gadis itu lupa waktu bahkan dirinya tertidur di dalam bathub, ia lupa jika ada seseorang yang memintanya turun untuk makan malam.
Di hidupnya segala sesuatu tentang Dhika tidaklah penting.
Sementara Dhika duduk dalam diam di meja makan, entah apa yang membuatnya tidak langsung makan dan memilih menunggu Arsyilla.
Ia menatap pias nasi goreng yang sudah dingin, selera makannya langsung hilang.
Setelah menenggak dua botol soda ia memilih masuk keruang kerjanya dan meninggalkan nasi goreng itu begitu saja.
Dia tidak akan pernah bisa memahami Arsyilla dengan baik, pernikahan ini hanya sementara buat mereka, tapi dia memiliki tanggung jawab yang besar terhadap Arsyilla.
'Sulitkah bagi dirimu berpura-pura menghargai aku, Syilla' batinnya.
Gadis itu bukan tipe orang yang bisa berpura-pura, semua yang dia katakan berasal dari hatinya, bagus memang tapi tetap saja terkadang berpura-pura baik, itu hal yang di butuhkan untuk menjaga perasaan orang lain.