Chereads / SHEILA : Skate Love / Chapter 15 - Day2 New York (Mimpi Buruk)

Chapter 15 - Day2 New York (Mimpi Buruk)

Pagi pun tiba. Seorang gadis yang masih meringkuk di dalam selimut tebalnya seperti tidak memiliki gairah untuk bangun dan beraktifitas di hari ini.

Sheila masih sibuk dengan mimpi yang sepertinya belum juga usai. Deringan kencang dari jam weker yang terletak di atas nakas pun tidak ia hiraukan, karena jiwanya masih berada di alam bawah sadar.

"TIDAK!!."

Gadis itu berteriak dan bangun dengan dada naik turun. Napasnya terengah dan tatapannya seperti orang yang sedang ketakutan.

"Minum. Gue butuh minum," ucap Sheila dengan napas yang masih terengah.

Tangan bergerak cepat, mengambil segelas air yang terletak di atas meja. Namun sepertinya air itu tidak cukup untuk menyegarkan tenggorokannya yang tiba-tina gersang.

"Ahh.. Lega banget tenggorokan gue."

Sheila duduk dengan posisi kaki terlentang di samping kulkas. Pintu kulkas yang masih terbuka menambah hawa dingin yang merembes ke dalam tubuhnya.

"Gila, gue mimpi kayak gitu artinya apa, ya?."

Pletak.. Bruk..

Suara yang terdengar aneh membuat Sheila penasaran. Ia berangjak dengan perasaan takut sebari berjalan mengendap-ngendap seperti maling.

"Itu suara apaan, ya?," gumam Sheila dengan suara yang sangat kecil.

"Waahh...."

Sheila memekik dengan kedua mata yang berbinar. Seketika ia langsung membuka jendela kamar hotelnya yang semula tertutup rapat.

"Salju!," seru gadis itu dengan riang gembira. Lalu matanya beralih ke aram jam weker yang sudah menunjukan pukul 5 pagi.

***

Di sebuah taman yang terbentang sangat luas, yang terdapat berbagai macam bunga dan berbagai macam warna.

Sheila berjalan seorang diri sebari menikmati sejuknya angin yang bersemilir di sore hari ini. Ia memetik satu tangkai bunga mawar merah yang masih basah dan menghirupnya dalam-dalam.

"Wangi." Satu kata dan berjuta makna.

Gadis itu menggenggam bunga yang tadi ia petik, seolah tidak ingin seorang pun mengambil bunga tercantik yang pernah ia lihat.

Kaki Sheila kembali melangkah, menyusuri taman bunga nan indah itu hanya seorang diri.

"Kenapa tamannya sepi banget, ya? Apa nggak ada yang mau berkunjung ke taman seindah ini?," ucapnya sambil mengedarkan pandangan.

Suasana masih terlihat sepi hingga sore tiba. Tapi Sheila sudah tidak peduli lagi, ia tengah asyik bermain dengan bunga-bunga indah yang tinggi pohonnya hanya selutut orang dewasa.

Membuat Sheila harus sedikit berjongkok hanya untuk memetik bunga-bunga tersebut.

"Bunga yang gue petik udah banyak banget. Apa nggak akan ada yang marah? Tapi di sini nggak ada papan peringatan," gumamnya lagi.

Tapi ia tidak mau ambil pusing. Selagi tidak ada yang melarangnya, Sheila tidak akan merasa takut.

Senyumnya mengembang tatkala melihat bunga matahari yang mekar dengan indah. Bentuknya bulat dengan warna kuning cerah yang akan membuat siapa saja pasti terpesona.

"Cantik banget!." Sheila berseru sambil menyentuh kelopak-kelopak bunga matahari yang tumbuh dengan indah dan terawat.

"Jadi pengen punya bunga matahari," ucapnya sebari terkekeh.

Sheila kembali melangkah. Tepat di ujung taman bunga tersebut, ia melihat dua orang laki-laki yang sedang duduk di sebuah kursi panjang.

Matanya menyipit agar dapat melihat lebih jelas lagi, siapa laki-laki yang berada di sana.

"Mereka siapa? Apa pengunjung taman ini juga?."

Namun sepertinya rasa penasaran Sheila semakin menjadi. Ia terus melangkah untuk mendekati dua orang laki-laki tersebut.

"Ngapain mereka? Cowok kok berduaan, di taman bunga lagi."

Langkahnya semakin lebar, dan jarak mereka semakin dekat.

"Badannya kayak...."

Deg!

Detak jantung Sheila seperti berhenti bekerja. Ia mematung di tempatnya berdiri, dan tepat di belakang dua orang lelaki yang saat ini terlihat sangat mesra.

"Gak, gak mungkin."

Tak hentinya Sheila menggelengkan kepala dengan derai air mata yang sedikit demi sedikit mencair.

"Brama, dia...."

Tak sanggup lagi ia berkata. Setelah melihat Brama, kekasihnya yang ternyata adalah salah seorang dari dua lelaki yang sedang duduk di taman.

Brama tengah mengecup kening laki-laki di sampingnya dengan mesra dan tatapan yang biasa ditujukkan kepadanya. Tatapan yang mengisyaratkan cinta dan kasih sayang.

Sheila membawa kakinya untuk mundur. Bibirnya tiba-tiba saja mengatup, tak mampu mengeluarkan suara atau bahkan teguran.

Padahal bisa saja saat ini ia menegur Brama dan memarahi laki-laki yang mendapat kecupan mesra dari sang pacar.

"TIDAK!!."

***

"Chaeny, tungguin gue!."

"Ayo kejar gue, She!."

Chaeny dan Sheila tengah bermain lempar bola salju di halaman hotel tempat mereka menginap.

Tidak disangka, Chaeny yang pada awalnya membuat tubuh Sheila terjatuh kini menjadi temannya di New York.

"Haha.. Mampus! Lo kena bola salju gue!," teriak Sheila dari belakang tubuh Chaeny.

"Sialan lo, She. Gue pasti bales!," sahut Chaeny yang teriakannya tak kalah kencang dari Sheila.

Mereka seperti dua orang sahabat yang sudah saling mengenal sejak lama. Berlarian ke sana ke mari dan tertawa layaknya anak kecil.

"Haha.. Stop, Cha. Gue capek." Sheila menjatuhkan tubuhnya di atas tumpukan salju. Napasnya terengah dan menghasilkan uap yang keluar dari mulutnya.

"Gue juga. Capek banget, gila," ucap Chaeny yang ikut berbaring di samping Sheila.

Kedua gadis itu mengenakan jaket tebal, penutup kepala serta penutup telinga untuk berjaga-jaga. Karena dinginnya salju kali ini mencapai titik terendah.

"Cha, lo udah lama di sini?," tanya Sheila untuk memecah keheningan.

"Nggak. Gue kuliah di sini baru satu tahun."

"Oh, gitu."

"Kalau lo?," tanya Chaeny berbalik.

"Gue baru sampe kemarin di sini, dan cuma tiga hari. Gue ke sini cuma kalau ada salju doang."

"Kenapa?."

"Kenapa apa nya?," tanya Sheila dengan alis mengkerut.

"Kenapa lo nggak kuliah di sini?."

Sheila tersenyum miring dan mendudukkan tubuhnya. "Sekolah SMA aja gue males, apalagi kuliah."

"Gue yakin, lo itu anak orang kaya. Tapi kenapa lo males sekolah? Padahal nih ya, banyak orang yang kmgak mampu kuliah tapi mereka pengen banget kuliah."

"Gue juga nggak tau. Gue lebih suka main daripada sekolah," jawab Sheila ringan.

"Emang hobi lo apaan?," tanya Chaeny yang masih dengan posisi berbaringnya.

"Main skateboard."

"What? Main skatebodard?!." Chaeny memekik sambil merubah posisinya menjadi duduk seperti Sheila.

"Ya. Emang kenapa? Ada yang salah?," tanya Sheila menatap tidak percaya ke arah Chaeny.

"Itu kan hobi cowok. Dan pasti, lo sering panas-panasan, kan?."

"Ya. Tempat main skate itu nggak ada yang sejuk kayak mall," sahut Sheila terkekeh.

"Lo nggak sayang sama kulit lo? Pasti banyak debu, apalagi sinar matahari itu gak baik buat kulit, Sheila."

Chaeny memperingati Sheila perihal menjaga kulit tubuh. Karena ia paling tidak suka pada orang yang kurang peduli dengan perawatan tubuhnya.

"Lo tenang aja, Cha. Biarpun gue sering panas-panasan, tapi gue selalu ngerawat badan dan wajah. Gini-gini gue juga cewek," sahut Sheila dan kembali merebahkan tubuh.

"Baguslah. Tapi saran gue ya, lo jangan banyak main di tengah sinar matahari. Nanti kulit lo rusak, kasar dan kayak kulit kadal. Iihh.. Kalau gue mah ogah."

Sheila terkikik geli sambil menggelengkan kepala karena melihat teman barunya yang sangat over protektif terhadap sinar matahari.

"Cha, gue mau cerita. Semalem gue mimpi, kalau cowok gue ternyata gay."