Chereads / SHEILA : Skate Love / Chapter 21 - Sahabat Jadi Cinta?

Chapter 21 - Sahabat Jadi Cinta?

Sheila menggeliatkan tubuhnya ketika ponselnya berbunyi. Satu pesan dari Brama berhasil masuk di saat langit malam semakin menghitam.

"Tumben Brama sms jam segini. Biasanya dia udah tidur," kata Sheila sebari melirik jam dinding yang sudah berada tepat di angka sebelas malam.

"Aku belim tidur, Ma," balas Sheila pada peaan yang sudah ia baca sekitar beberapa detik yang lalu.

"Aneh. Dia kirim pesan, tapi malah gak bales lagi," gumam Sheila yang tidak melihat ada tanda-tanda balasan dari sang kekasih.

"Bodo ah. Mending gue tidur."

Gadis itu memutuskan untuk tidur. Untuk apa ia menunggu sesuatu yang tidak pasti. Mungkin saja Brama sudah terlelap dalam tidurnya.

Sheila tidak ingin mengorbankan apapun untuk perihal cinta. Terlebih jika kesehatannya terganggu hanya untuk sebuah pesan yang ia nanti-nantikan hingga shubuh tiba.

Jiwanya telah larut di dalam mimpi. Melupakan semua yang terjadi pada hari ini. Nafas Sheila sudah terdengar lebih tenang. Pertanda raganya sudah melayang dan tidak dapat diganggu.

Sedangakan di seberang sana, Brama tengah bingung dengan perasaannya sendiri. Pesan yang ia kirim telah berbalas. Tapi entah apa yang terjadi, Brama sangat enggan untuk membalas.

"Kenapa gue nggak bisa cinta sama Sheila, ya? Gue tahu kalau gue ini laki-laki. Gue juga pengen banget jadi laki-laki normal, tapi setiap kali gue liat Aji, rasa cinta gue malah tambah besar sama dia."

Brama merutuki dirinya sendiri. Ia sadar jika nanti kedua orang tuanya mengetahui hal ini, mereka akan murka dan mungkin akan mencoret Brama dari daftar pewaris tunggal.

"Aji, kenapa lo tiba-tiba ragu sama kisah cinta kita? Apa karena gue masih berhubungan sa Sheila? Kalau emang kayak gitu, gue harus cepet-cepet putusin Sheila. Gimana pun caranya."

***

Sheila sudah siap dengan ransel yang telah menempel di punggungnya. Hari-harinya akan seperti ini terus, selalu dan selalu. Bermain skateboard sampai ia benar-benar bosan.

"She, kamu udah mau pergi latihan? Ini masih pagi, lho," ujar Ratna yang tengah meletakkan sarapan pagi di atas meja makan.

"Iya, Ma. Latihan pagi itu enak, seger. Jadi belum kerasa panas," jawab Sheila yang sudah duduk di kursi meja makan.

"Dijemput Adi, nggak? Mama udah kangen banget sama dia."

"Nggak, lah. Kalau berangkat kan Sheila suka sendiri. Nanti di sana baru deh ketemu Adi."

"Kamu nggak pacaran sama Adi, She?."

Sheila menoleh. Farel baru saja menuruni tangga dan menghampiri mereka untuk ikut sarapan bersama.

"Nggak lah, Pa. Aku sama Adi itu sahabat. Kita nggak mungkin pacaran," jelas Sheila apa adanya.

"Kenapa? Papa lihat, Adi itu cowok baik-baik. Dia selalu jagain kamu," ucap Farel lagi.

"Itu emang udah jadi tugas dia, Pa. Dia kan cowok, jadi dia emang udah harus jagain aku. Lagian aku udah anggap dia kakak sendiri."

"Kalau nggak sedarah masih bisa pacaran kok, She."

Sheila melirik Farel dan ratna bergantian. Ia tidak suka jika digoda seperti ini. Apalagi kedua orangtuanya saling melempar senyum jahil.

"Udah, ah. Sheila males sama Mama sama Papa. Sheila mau berangkat dulu."

"Eh, tunggu dulu dong. Ini rotinya belum abis, lho," ujar Ratna yang berusaha menahan Sheila.

"Nggak mau. Udah kenyang sama godaan kalian berdua."

"Hahaha.."

Farel dan Ratna kompak menertawakan putri sulungnya itu. Pasalnya wajah Sheila terlihat merona ketika mereka menjodohkan dirinya dengan Adi.

"Ya udah, kamu boleh pergi. Tapi nanti pulangnya harus di anter Adi, ya. Mama pengen ketemu sama dia."

"Hm," jawab Sheila singkat dengan wajah ditekuk.

"Sheila pergi dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Kehangatan keluarga Aksadana yang satu ini selalu terlihat sejuk dan membuat iri orang-orang di luar sana. Karena tidak banyak orang-orang kaya yang masih menerapkan salam menyalami ketika hendak pergi maupun pulang.

Ratna sadar dengan kesalahannya di masa lalu, yang telah memaksakan kehendaknya terhadap Sheila. Memaksa putrinya untuk menikah yang akhirnya menjadi bumerang untuk keluarganya sendiri.

Sheila sempat kabur dan tak ingin kembali. Untung saja Ratna sadar saat itu juga. Ia mengerti sekarang apa yang Sheila inginkan.

"Ma, bikin adik buat Sheila, yuk!."

***

Sheila baru saja menapaki teras rumahnya. Tiba-tiba saja terdengar suara motor yang memasuki pekarangan rumah Sheila.

"Adi. Ngapain lo di sini?," tanya Sheila pada Adi yang baru saja sampai dengan sepeda motor klasiknya.

"Emang kenapa? Gue ke sini mau numpang makan. Tante Ratna ada, kan?," tanya Adi sebari membuka helm nya.

"Ada di dalem. Ada papa juga," jawab Sheila malas.

"Wah.. Bisa dong gue numpang makan di sini?."

"Gak. Kita makan di jalan aja," jawab Sheila ketus.

"Kenapa? Gue kan udah jarang lagi makan di sini. Kangen juga gue sama masakan tante Ratna."

"Gue bilang nggak ya nggak. Kita makan di luar aja, gue yang traktir."

"Tapi, She..."

"Gak ada tapi-tapian, kita berangkat sekarang."

Adi mendengus kesal. Rencana sarapan pagi di rumah Sheila gagal total. Padahal ia sudah membayangkan betapa lezatnya roti bakar berpadu dengan selai cokelat buatan tante Ratna, mama Sheila yang sangat baik hati.

"Lo kenapa, sih? Gue kan kangen sama orang tua lo. Gue udah ngebayangin makan roti pake selai cokelat. Eh, lo malah gak ngijinin gue."

"Gue nggak mau dikecengin sama nyokap bokap, Di," batin Sheila menggerutu.

"She, lo denger gue, kan?."

"Hm," jawab Sheila.

"Dasar cewek aneh."

"Udah deh, lo jangan banyak omong. Sebagai gantinya kan gue traktir lo, Di," ucap Sheila.

"Iya-iya. Tapi besok gue harus nyicipin lagi masakan nyokap lo," ucap Adi tegas.

"Iya."

Persahabatan Sheila dan Adi bisa membuat siapa saja iri. Adi yang sangat menjaga Sheila dan Sheila yang selalu bertingkah seperti anak kecil.

Adi benar-benar menjadikan Sheila seperti ratu. Ia tidak pernah berbuat senonoh apalagi melecehka Sheila. Karena itulah Farel dan Ratna sangat mempercayai Adi untuk menjadi sahabat Sheila. Bahkan mereka berharap hubungan Adi dan Sheila lebih dari sekedar sahabat.

Kini mereka sudah tiba di tempat latihan. Setelah perut terasa kenyang, Adi dan Sheila memutuskan untuk segera membakar lemak-lemak yang mungkin akan tertimbun dan menjadi racun dalam tubuh mereka.

"Di, lo duluan aja. Gue mau pake sanblok dulu," ucap Sheila sebari menaruh ranselnya ke atas meja.

"Oke. Gue tunggu di sana."

Sheila mengangguk dan mulai membongkar isi tasnya. Ada beberapa jenis sanblok yang Sheila miliki. Perawatan tubuhnya sangat lengkap, itu mengapa kulit tubuh Sheila tetap terjaga walaupun terkena sinar matahari setiap harinya.

"She."

Sheila menoleh ketika mendengar namanya dipanggil.

"Brama," gumam Sheila dengan senyuman lebar dan menghampiri sang kekasih.

"Kamu ke mana aja? Aku kangen sama kamu."

GREP