Chereads / SHEILA : Skate Love / Chapter 23 - Hilang Satu, Hilang Keduanya

Chapter 23 - Hilang Satu, Hilang Keduanya

Brama kembali ke rumah dalam keadaan hancur. Hatinya ikut sakit ketika mengatakan hal yang tidak-tidak pada Sheila. Apa mungkin Brama sudah mulai jatuh cinta pada Sheila? Lalu bagaimana dengan Aji?

Laki-laki itu berjalan menaiki tangga menuju kamar. Rumahnya sepi, persis seperti hari-hari biasanya.

Sesampainya di kamar, Brama merebahkan tubuh. Menatap langit-langit kamar dan mengingat kembali kejadian yang baru saja terjadi.

"Maafin aku, She. Aku gak tau gimana caranya mengakhiri hubungan ini," ucap Brama dalam hati.

Meski begitu, ada rasa tidak ikhlas dalam diri Brama. Ia berhubungan dengan Sheila bukan satu atau dua bulan, melainkan tahunan. Brama tahu seperti apa hancurnya hati Sheila.

"Gak tau kenapa, liat kamu nangis kayak tadi ternyata bikin hati aku sakit, She. Aneh. Tapi aku nggak mungkin jatuh cinta sama kamu. Aku cuma sayang sama Aji."

Lagi, Brama menyangkal rasa cinta yang mungkin saat ini sudah tertanam di hatinya.

"Mending gue telpon Aji." Segera Brama menyambar benda pipih yang tergeletak di samping tubuhnya. Ia tersenyum kecut, tatkala melihat room chat di appwhats yang bertuliskan nama Sheila di bagian paling atas.

Laki-laki itu memang sengaja, menyematkan nama Sheila agar gadisnya tidak mencurigai gerak gerik Brama yang memiliki hubungan dengan Aji.

Dengan ragu, Brama menghapus seluruh percakapannya dengan Sheila dan beralih menghubungi Aji.

Terhitung sudah tiga kali ia mencoba menghubungi Aji, namun lelaki itu tidak menjawab sama sekali.

Brama pun melirik jam dinding, "Nggak biasanya dia sibuk jam segini," ucapnya seorang diri.

Khawatir dan takut menyatu, membuat Brama bangkit dari tempat tidur.

"Aji ke mana? Gak biasanya dia kayak gini." Brama berdiri di depan jendela kamarnya. Menatap kota Palembang yang mulai padat karena para pekerja yang hendak pulang.

"Apa gue samperin aja ke kosan nya, ya?," ucapnya terjeda, "Bodo ah. Gue ke sana aja."

***

"Adi, makasih ya udah nganterin gue. Maaf kalau gue udah ngerepotin lo."

"Nggak, She. Lo sama sekali gak ngerepotin gue."

Adi menyentuh kedua pipi Sheila. Ia mengusap kepala gadis itu dengan sayang.

"Kalau ada apa-apa, lo telpon gue, ya. Gue siap nemenin lo dalam keadaan apapun," ucap Adi.

"Lebay lo! Gue akan baik-baik aja, selalu. Gue pastiin sama lo," balas Sheila yang sudah bisa tersenyum kembali.

"Kalau gitu, gue pamit dulu. Bilang ke tante dan om ya, gue titip salam."

"Siap! Lo hati-hati, ya."

Adi mengangguk. Ia sudah mulai lebih tenang sekarang, karena Sheila tidak semurung tadi.

"Gue pergi."

Sheila mengangguk sebari melambaikan tangan ke arah Adi yang mulai menghilang di balik pagar rumahnya.

"Gue harus balasin dendam Sheila. Brama harus ngerasain apa yang Sheila rasain."

Berbohong pada Sheila. Adi tidak kembali ke rumahnya, melainkan ke rumah Aji. Ia harus memberitahu Aji tentang apa yang Brama lakukan hari ini pada Sheila.

Di perjalanan, Adi tak henti-hentinya mengepalkan kedua tangan. Ia tak bisa melihat sahabat yang paling ia sayang dilecehkan oleh Brama.

Adi berjanji akan membalas perlakuan Brama dengan balasan setimpal.

Tidak membutuhkan waktu lama, Adi pun sampai di pekarangan rumah Aji. Suasana terlihat sepi, untung saja tidak ada mobil Brama yang terparkir seperti biasanya.

"Lho, Adi. Tumben kamu ke sini?," tanya Aji yang kebetulan membukan pintu rumahnya.

"Ada yang mau aku omongin sama kamu."

Aji mengerti dengan raut wajah Adi yang tak terlihat biasa. Ia pun mempersilakan Adi masuk dan pergi ke dapur untuk menyiapkan minum beserta makanan ringan untuk laki-laki itu.

"Minum dulu."

Layaknaya seorang perempuan sungguhan. Aji bersikap begitu anggun dan manis kepada Adi.

"Makasih, ya," ucap Adi sambil menyeruput kopi hitam yang terlihat menggiurkan.

"Apa yang mau kamu omongin?."

"Brama tadi mutusin Sheila."

"Apa?! Terus? Gimana sama Sheila?." Aji terlihat cemas. Ia tidak pernah menyuruh Brama untuk meninggalkan Sheila.

"Sheila hancur. Tapi bukan karena Brama mutusin dia."

"Terus?."

"Brama udah sakitin hati Sheila dengan ucapan dia yang gak sopan. Brama melecehkan Sheila, dengan mencium bibir Sheila brutal. Dia juga bilang kalau Sheila udah tidur dengan banyak laki-laki."

Aji menutup mulutnya tidak percaya. Ia tak menyangka kalau Brama akan berbuat setega itu.

"Apa kamu yang udah suruh Brama buat ngelakuin hal ini sama Sheila?," lanjut Adi menatap Aji serius.

"Nggak, Di, sumpah. Aku nggak pernah suruh Brama buat ninggalin Sheila," ujar Aji bersumpah di depan Adi.

"Brama emang keterlaluan. Aku kasian sama dia, Ji. Dia nangis, hati dia hancur. Dia itu cewek baik-baik. Jangankan tidur sama cowok, ciuman aja dia belum pernah." Adi sedikit menitikkan air matanya. Ia menangis bukan karena menyukai Sheila, melainkan kasihan dengan sahabat terbaik yang ia miliki.

"Aku juga nggak nyangka dia bisa ngelakuin hal kayak gini sama Sheila. Sheila itu nggak salah apa-apa, dia cuma korban."

Walaupun Aji seorang pria, ia juga bisa merasakan seperti apa rasanya di selingkuhi. Apalagi Sheila memang tidak bersalah.

"Apa kamu masih mencintai Brama?."

Aji menoleh dengan cepat, lalu menggeleng.

"Aku udah niat mau ninggalin dia. Apalagi aku denger, kalau dia udah sakitin Sheila," jawab Aji mengungkapkan yang sebenarnya.

"J-jadi, kamu mau tinggalin Brama?," tanya Adi antusias penuh harapan.

"Iya, Di. Aku... Aku cintanya sama kamu."

Adi tersenyum sangat lebar. Akhirnya, ia merasa hidup kembali. Cintanya terbalas oleh Aji.

"Nggak! Kamu nggak boleh putusin aku!."

Keduanya menoleh. Di ambang pintu, Brama sudah berdiri dan menatap Adi dengan tatapan membunuh.

"Brama. Kamu ngapain di situ?," ujar Aji.

"Ji, hubungan kita itu udah lama. Nggak mungkin kita pisah gitu aja. Apalagi cuma karena cowok sialan ini." Brama menunjuk Adi yang berada di sampingnya.

"Brama, aku udah bilang dari kemarin. Kita ini nggak bisa bersatu. Apa pernyataan aku masih kurang jelas?."

"Apa dengan Adi kalian bisa bersatu? Nggak, kan? Dia juga laki-laki, sama seperti aku. Kita semua laki-laki yang memiliki kelainan." Emosi Brama memuncak. Nafasnya menderu naik turun.

"Nggak, Brama. Apa pun pembelaan kamu, aku nggak bisa lanjutin hubungan kita," ucap Aji tegas.

"Nggak bisa. Kamu gak boleh putusin aku." Brama mencekal tangan Aji sangat kencang, hingga membuat mantan kekasihnya itu menjerit kesakitan.

"Lo jangan kasar sama dia. Apa gak cukup lo sakitin Sheila, hah?." Adi bertindak. Ia mendorong tubuh Brama hingga terbentur tembok rumah Aji.

"Lo nggak usah ikut campur, brengsek!," hardik Brama pada Adi.

"Lo yang brengsek! Dasar bajingan!." Adi hilang kesabaran. Belum reda emosi akibat terlukanya Sheila, kini Brama mencoba menyakiti Aji.

Aji berjalan mundur hingga ke sudut ruangan. Ia bingung harus berbuat apa melihat dua orang yang sedang beradu tenaga di depannya kini.

Berteriak? Tidak mungkin. Bisa terbongkar semuanya bahwa mereka adalah gay.

"CUKUP! BERHENTI!." Teriakan Aji cukup menggelegar. Dan mampu memisahkan Adi dan Brama.

"Brama, mending kamu pulang. Aku nggak mau lagi liat muka kamu," kata Aji menatap Brama bengis.

"Tapi, Ji...."

"Atau aku teriakin maling."