Tidak ada lagi yang bisa Sheila lakukan di kota ini. Semuanya telah usai, kisah cintanya kandas dengan cara menyakitkan.
Sheila merenung di dekat jendela kamar. Ia menatao jalanan yang tidak cukup padat malam ini. Bintang-bintang kecil juga berhamburan di atas langit yang terang.
Sheila yakin, tidak akan ada hujan malam ini. Padahal ia berharap Tuhan berbaik hati dan menurunkan sedikit air untuk menyejukkan hatinya, namun tidak ada yang memihak padanya saat ini.
Ponsel gadis itu berdering. Menampilkan nama Aksa yang terpampang sangat jelas.
"Halo," sapa Sheila seperti tidak terjadi apa-apa.
"She, kapan lo mau ke sini?," tanya Aksa di seberang sana.
"Hmm.. Nggak tau. Tapi gue pengen sih secepatnya ke sana."
"Kalau lo mau ke sini, bilang gue dulu ya. Biar gue bisa jemput lo di bandara."
Sheila mengangguk pelan, walaupun Aksa tentu tidak akan melihat hal itu.
"Gue tutup ya telponnya."
"Tunggu! Lo lagi ada masalah?,"
Sheila diam beberapa saat. "Nggak. Gue cuma lagi capek aja," jawabnya.
"Oke. Kalau lo ada masalah, lo boleh curhat sama gue."
"Makasih." Sheila mengakhiri sambungan telponnya begitu saja. Padahal ia bisa membahas beberapa hal dengam Aksa dan berbincang di telpon sampai larut malam.
Kepala gadis itu menengadah, mengingat kenangan manis yang sudah ia lewati dengan Brama. Satu tahun bukanlah waktu singkat. Dua belas bulan telah mereka lewati.
Walaupun Sheila gadis yang cuek dan terkihat seolah tak peduli dengan sekitar, tapi ia sangat menikmati rangkaian kejadian dan perlakuan manis dari Brama.
Bibirnya menyunggingkan senyum tertahan. Bulir air matanya memaksa untuk keluar namun ditahan oleh sang empu.
"Jadi, gini akhir cerita cinta gue?," gumam Sheila sebari tersenyum miris.
"Gue kira, Brama adalah cinta pertama sekaligus terakhir. Tapi nyatanya, dia adalah orang pertama yang bikin gue sakit dan patah hati," lanjutnya.
Brama memang cinta sekaligus kekasih pertama Sheila. Mereka bertemu pada saat sama-sama berlatih skateboard dan rupanya Brama memiliki hati pada Sheila.
Ia yang memulai, ia pula yang mengingkari. Terdengar seperti lirik lagu lawas yang pernah populer pada masanya. Kini Sheila mengerti dengan pepatah yang mengatakan, orang yang paling menyakitimu adalah orang yang paling dekat denganmu.
"Sayang, makan malam dulu, Nak."
Suara Ratna yang terdengar dari balik pintu kamar Sheila tidak ia pedulikan. Bukan bermaksud tidak sopan, rasanya Sheila malas untuk menyuapkan nasi ke dalam mulut atau mengunyah makanan.
Tubuhnya seperti kehilangan nyawa. Tidak bisa bergerak dan malas untuk melakukan pergerakan lainnya. Apa memang seperti itu ciri orang patah hati?
Akhirnya pintu kamar terbuka. Rupanya Ratna sudah lelah berteriak.
"Sayang, kamu kenap?," tanya Ratna yang kini sudah berada di samping Sheila.
"Nggak, Ma."
Ratna merasa ada aura berbeda dalam diri putrinya. Tidak biasanya gadis itu melamun di depan jendela malam-malam begini.
"Hm.. Makan, yuk!," ajak Ratna.
"Mama sama papa duluan aja. Nanti Sheila nyusul."
"Kalau gitu, Mama keluar ya."
Ratna menatap khawatir putrinya yang melamun. Tatapannya kosong dan ia pergi pun, Sheila tidak menjawab atau mengucapkan sepatah kata pun.
"Aku harus kasih tahu mas Farel."
***
"Jadi, Sheila lagi ngelamun?."
"Iya, Pa. Aku khawatir banget sama keadaan dia. Kayaknya dia lagi patah hati."
Sebagai seorang orang tau, Farel dan Ratna pasti khawatir dengan kondisi Sheila saat ini. Gadis yang selalu ceria, dan penuh tawa itu sangat berbeda dari hari-hari kemarin.
"Kita harus tanya Adi, Ma," usul Farel.
"Iya, Pa. Biar Mama telpon Adi."
Ratna segera merogoh saku dan mengambil ponselnya.
"Halo, Di. Bisa ke rumah sekarang?."
"Iya. Ada yang mau Tante obrolin," lanjut Ratna.
Farel hanya bisa menatap istrinya yang sedang berbincang dengan sahabat Sheila yang paling dekat.
"Makasih, ya. Tante tunggu."
Panggilan terputus dan Ratna kembali meletakkan ponselnya di atas meja makan.
"Nanti Adi ke sini, Pa."
Farel mengangguk sebari menopang dagu dengan kedua tangannya. Makanan yang awalnya terasa nikmat kini berubah menjadi hambar. Semua itu karena memikirkan Sheila, putri mereka satu-satunya.
Tok.. Tok.. Tok
Pintu utama diketuk. Segera pasangan itu pun beranjak karena mereka tahu kalau itu adalah Adi.
"Adi. Masuk, Nak." Ratna menyambut kedatangan Adi dan langsung menyuruhnya duduk.
"Hm.. Ada apa ya, Tante, Om?," tanya Adi yang terlihat gugup.
"Ehm." Farel berdeham dan sedikit merubah posisi duduknya. "Gini Adi, tadi Tantemu ini melihat Sheila sedang melamun. Apa dia lagi ada masalah?," tanya Farel.
"Hmm.. Ngelamun gimana ya, Om?."
"Jadi Adi, Sheila itu nggak kayak biasanya. Dia keliatan kayak lagi mikirin sesuatu yang berat. Pandangannya kosong, Tante ajak makan juga nggak mau." Ratna memperjelas perkataan suaminya.
Adi bingung harus menjawab apa. Karena Sheila belum memberinya izin untuk memberitahu kedua orang tuanya itu.
"Maaf Tante, Om, apa Adi boleh ketemu Sheila?."
Farel dan Ratna saling menoleh lalu mengangguk.
"Dia ada di kamar," imbuh Ratna.
Adi mengangguk dan pamit untuk pergi ke kamar Sheila yang terletak di lantai dua bangunan ini.
Ia berjalan menyusuri tangga, dan terlihat kamar Sheila dengan pintu yang dihias secantik mungkin oleh gadis itu.
"She, ini gue Adi."
Tok.. Tok.. Tok
Adi mengetuk pintu sekali lagi, namun tidak ada sahutan dari dalam kamar.
"Apa gue masuk aja, ya?," pikirnya.
"Nggak dikunci."
Adi pun memutuskan untuk langsung masuk karena pintu yang tidak dikunci. Ia langsung melihat Sheila yang masih duduk di dekat jendela seperti tadi.
"She, gue masuk, ya." Adi berjalan mendekati sahabatnya yang mungkin mendengar namun enggan menjawab.
Ia memeluk tubuh Sheila dari samping. Membiarkan gadis itu menuangkan semua rasa sakit yang ia rasakan.
"Nangis, She. Nangis di pelukan gue," ucap Adi penuh perhatian.
Sheila menurut. Ia meluapkan semua air mata yang sejak tadi tertahan. Tubuhnya bergetar hebat dan ia menelungkupkan wajah di dada bidang milik Adi.
"Kenapa, Di? Kenapa kisah cinta gue berakhir tragis kayak gini? Gue salah apa?," kata Sheila diiringi tangis yang semakin terdengar pilu.
"She, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Lo harus percaya takdir. Lo nggak boleh salahin diri lo sendiri." Adi mengusap punggung Sheila. Tidak tahan rasanya melihat Sheila harus merasakan sakit akibat perbuatan Brama yang kurangajar.
Dibalik pintu kamar Sheila yang terbuka, Ratna dan Farel memperhatikan keduanya. Farel yang mengerti langsung mengusap bahu sang istri.
Ratna ikut menangis ketika bahu Sheila terguncang semakin kencang.
"Pa, Sheila kenapa?," tanya Ratna lirih.
"Papa yakin, Adi bisa bikin Sheila tenang. Mama jangan khawatir ya," jawab Farel.
"She, lo itu cantik, lo juga baik, gampang buat lo cari yang lebih baik dari Brama."
"Nggak, Di. Hati gue rasanya mati. Brama itu cinta dan pacar pertama gue. Dia yang udah kasih gue kebahagiaan," balas Sheila.
"Tapi dia juga yang udah bikin lo sakit. Iya, kan?."